SEMARANG (Aswajanews.id) – Capaian Kota Salatiga (peringkat 3) dalam Indeks Kota Toleran (IKT) 2021 dan konsistensi prestasi IKT sebelumnya patut diapresiasi. Kota Surakarta (peringkat 9) melengkapi capaian Kota Salatiga, sekaligus membentuk raihan istimewa Jawa Tengah dalam Indeks Kota Toleran (IKT) 2021.
Capaian ini tentu tidak lepas dari kontribusi Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Jawa Tengah pada aspek insersi, adaptasi, dan pelaksanaan, moderasi beragama pada ranah pendidikan. Pasalnya, sesuai dengan amanah yang tercantum dalam RPJMN 2020 – 2024, pendidikan menempati posisi strategis terkait penguatan moderasi beragama di mana toleransi (tasamuh) menjadi salah satu nilai dasarnya.
Terkait hal tersebut, Direktorat Pendidikan Agama Islam berkesempatan menemui Kepala Kantor Kementerian Agama Jawa Tengah, Musta’in Ahmad, Selasa (12/4/2022), dalam kaitan penyusunan Feature Moderasi Beragama pada Pendidikan Agama Islam di Sekolah. Wawancara dipandu Kasubag TU Direktorat PAI dan tim media PAI.
“Majeng” menjadi motto Kanwil Kemenag Jateng. Bisa diceritakan apa sesungguhnya makna dan filosofi “Majeng” tersebut?
Majeng adalah spirit agama untuk menjadi lebih baik dari kemarin. Dalam konsep tersebut, status hari ini harus lebih maju dari kemarin. Untuk maju itu membutuhkan spirit dan etos. Kalau bekerja hanya sekedar bekerja, binatang juga bekerja dalam pengertian tersebut. Manusia bekerja dengan etos. Makna etos itu kemudian berkembang pada deret pengertian “Majeng” itu sendiri. Yang pertama adalah semangat untuk menjadi lebih baik, yang kedua adalah negara hadir. Dalam pengertian ini, negara hadir dalam keruwetan yang dihadapi masyarakat. Ketiga, kesediaan untuk berani berkompetisi; konsep ini mewujud di antaranya dorongan pada anak-anak kita untuk berkompetisi dalam kapasitas kependidikan mereka.
Dari akronimnya, “M” adalah moderat, yakni berada dalam posisi yang tidak berlebih-lebihan. Keseimbangan antara hak dan kewajiban adalah pengertian awalnya. Namun karena kita melayani umat beragama, ketepatan maknanya kemudian terletak pada sikap beragama yang moderat. Kita harus percaya diri bahwa beragama yang tepat adalah beragama yang moderat. Harapannya, aparatur Kanwil Kemenag di semua lini pelayanan, akan mampu menunaikan kewajibannya dengan baik. Sementara itu, “A” adalah akuntabilitas, “JE” adalah jernih, dan “NG” adalah ngayomi.
Kembali ke Salatiga. Dalam pemahaman saya, Salatiga itu kota yang spiritualistik yang didukung penerimaan terhadap cerita rakyat. Pada saat Sunan Pandanaran meninggalkan dunia keningratan, beliau menuju Tembayat untuk lengser keprabon madhep ing pandhito; menjadi ulama di Tembayat didampingi oleh istrinya.
Dalam perjalanan Sunan Pandanaran, terjadi friksi antara istri dan para perampok mengenai harta tersebut. Dari friksi tersebut timbul sikap saling menyalahkan. Tanpa menekankan kesalahan pada istri dan perampoknya, Sunan Pandanaran lebih melihat pada kesalahan pihak ketiga (ego duniawi) yang kemudian dipahami sebagai “salah tiga”, seterusnya menyatu menjadi “Salatiga”. Makna cerita rakyat ini begitu simbolik dan kuat.
Nama Salatiga, sesuai cerita rakyat yang bisa ditemukan dalam catatan sejarah, memiliki makna dan pesan kuat bahwa untuk menjadi rukun dan guyub itu mengalahkan materi. Ini merupakan alam bawah sadar dari pembentukan kota. Salah satu contoh dan dampaknya, kerelaan untuk menjadi guyub ini mendorong banyak pihak untuk bersekolah di Salatiga. Jadi, nilai spiritualitas warga ini menjadi dasar yang kuat membentuk semangat menerima keragaman pada diri warga Salatiga.
Salatiga dan Jawa Tengah, bagi saya adalah “kal-bunyaani al-marshuus”, satu tubuh yang membangun kebersamaan. Langit itu indah, bukan karena kesendirian lintang kemukus, melainkan karena keberadaan bermacam bintang dan rasi yang kita kenal. Semua harus bersinar. Itu artinya kita tidak bisa sendiri, harus bekerja sama. Pada saat Rasulullah meninggal, baju perang beliau masih tergadai di salah satu penganut Yahudi.
Di Salatiga, Katolik dan Protestan itu membentuk harmoni dan kerja sama yang baik. Mereka saling melengkapi kekurangan guru agama, karena anak-anak butuh pelajaran agama. Kerja sama ini menginspirasi umat agama lain untuk membentuk kerja sama dan kolaborasi. Dalam analogi kapak 212 Wiro Sableng, saya sendiri dulunya (sewaktu kecil) menyukai komik, saya menggambarkan bahwa kapak dibutuhkan untuk menyelesaikan berbagai masalah. Potensi konflik dan intoleransi perlu diredam dengan kapak 267. Dalam konsep guru kesenian, 267 ini terbaca sebagai notasi re – la – dan si. Kita bisa menyebutnya sebagai kapak relasi.
Bagaimana pandangan Bapak mengenai penguatan moderasi beragama di Jawa Tengah, khususnya Kota Salatiga, dalam kaitan capaian pada Indeks Kota Toleran 2021?
Penguatan moderasi beragama merupakan hal penting yang senantiasa diupayakan oleh Pemerintah Kota Salatiga bersama dengan instansi pemerintah, tokoh agama, tokoh masyarakat beserta seluruh anggota masyarakat. Dengan tingginya keberagaman di Salatiga, penguatan moderasi beragama yang dilakukan semua pihak dapat memperkuat toleransi di antara berbagai umat beragama.
Dalam upaya penguatan moderasi beragama yang ditempuh Kantor Kementerian Agama Jawa Tengah, di antaranya, bersama dengan Pemerintah Kota Salatiga dan FKUB, bersama-sama menggelorakan konsep moderatisme dalam setiap kegiatan yang bersentuhan dengan agama atau keagamaan. Selain itu, kita juga menjalankan kerja sama lintas agama dengan prakarsa Rumah Moderasi yang terbentuk melalui Badan Kerja Sama Gereja-Gereja Salatiga (BKGS). Langkah ini seterusnya melahirkan Forum Komunikasi Penyuluh Lintas Agama (FKPLA).
Keberagaman sesungguhnya sudah menjadi warna dasar bangsa Indonesia, dengan segala dinamikanya. Dalam konteks kontestasi warna keragaman tersebut, apa sesungguhnya yang menjadi, katakanlah, niché (titik beda), di Salatiga khususnya atau Jawa Tengah pada umumnya, dari khazanah keragaman lainnya?
Di Salatiga, tinggal bersama lebih dari 30 suku bangsa Indonesia dengan 6 agama. Dalam kehidupan bersama di Salatiga, sikap toleran, menghargai perbedaan, dan senantiasa mengupayakan kemanfaatan bersama merupakan kondisi yang dapat dilihat sehari-hari. Salatiga, bagi saya, sekali lagi, adalah selayaknya pelangi dengan keberagamannya yang membentuk sebuah keindahan yang dipancarkannya karena kehendak untuk menjaga dan merawat harmoni di dalamnya.
Dalam pelangi yang indah itu, saya bisa mengambil contoh tentang kegiatan pawai atau parade tahunan yang melibatkan semua agama. Jangan lupa dan silakan dinilai bersama, betapa peran serta dan kehadiran negara dari unsur apapun yang mencerminkan dan menyajikan pelayanan tanpa membedakan agama.
Sebagaimana arahan dan target capaian moderasi beragama yang dicanangkan Menag Yaqut Cholil Qoumas pada launching aksi moderasi beragama, bisa Bapak sampaikan peta jalan insersi, adaptasi, dan pelaksanaan moderasi beragama pada Kanwil Wilayah Kementerian Agama Jawa Tengah? Bagaimana kiat dan perangkat kebijakan yang disiapkan dalam mewujudkan peta jalan tersebut?
Kepada seluruh jajaran Kantor Wilayah Kementerian Agama Jawa Tengah, saya selalu menekankan langkah insersi moderasi beragama. Dalam konteks pendidikan Islam, khususnya Pendidikan Agama Islam, kami selalu dalam posisi siaga dan adaptif dalam upaya penguatan moderasi beragama dalam pengembangan kurikulum mapel Pendidikan Agama Islam dan budi Pekerti (PAI) Kurikulum 2013 dan juga Kurikulum Merdeka.
Dalam konteks praksis, kami juga menginsersi moderasi beragama dalam kegiatan Kemah Rohis Tahun 2019, kegiatan Kemah Rohis Virtual Tahun 2020 dan Tahun 2021 bekerja sama dengan DPW Asosisasi Guru PAI Indonesia (AGPAII) Provinsi Jawa Tengah.
Pada momen Ramadan seperti sekarang, kami juga menjadikan moderasi beragama sebagai tema utama dalam kegiatan Pesantren Ramadhan Virtual 2022 yang diselenggarakan oleh Musyawarah Guru Mata pelajaran (MGMP) PAI jenjang SMA/SMK Provinsi Jawa Tengah Tahun 2022.
Dalam pandangan Bapak sendiri, apa makna dan pesan dasar moderasi beragama beserta sembilan nilainya?
Makna moderasi beragama (sembilan nilai: tengah-tengah, tegak lurus, toleransi, musyawarah, perbaikan, kepeloporan, kewarganegaraan, anti kekerasan, dan ramah budaya) adalah memahami dan mengamalkan ajaran agama dengan tidak ekstrem, baik ekstrem kanan maupun ekstrem kiri.
Kita tahu, bentuk ekstremisme terejawantahkan dalam dua kutub pembelahan yang berlebihan. Dalam pembelahan tersebut terdapat dua kutub yang saling berlawanan. Terdapat satu kutub kanan yang sangat kaku dalam beragama, yakni memahami ajaran agama dengan membuang jauh-jauh penggunaan akal, sementara di pihak yang lain justru sebaliknya, sangat longgar dan bebas dalam memahami sumber ajaran agama.
Menjadi moderat bukan berarti menjadi lemah dalam beragama, dengan sikap cenderung terbuka dan mengarah kepada kebebasan. Menjadi moderat juga bukan berarti tidak memiliki militansi, tidak serius, atau tidak sungguh-sungguh dalam mengamalkan ajaran agamanya.
Dalam perspektif kebijakan dan implementasi moderasi beragama Kanwil Kementerian Agama Jawa Tengah, apa dan bagaimana pendekatan yang ditempuh Kanwil Kemenag Jawa Tengah dalam konteks Pendidikan Agama Islam di sekolah?
Dalam mengimplementasikan moderasi beragama di tingkat satuan pendidikan, secara struktural posisi Kementerian Agama, harus diakui, teramat lemah. Kementerian Agama tidak mempunyai otoritas struktural untuk melakukan pembinaan di satuan pendidikan sekolah. Otoritas yang dimiliki Kementerian Agama sebatas pada penguatan kompetensi Guru dan Siswa (Pengurus Kerohanian Islam/ROHIS jenjang SMA/SMK).
Pada lingkup yang terbatas tersebut, peluang mengimplementasikan penguatan moderasi beragama dimaksimalkan dengan memperkuat jalinan koordinasi dengan Forum Kerja Sama Guru (FKG) PAI jenjang TK, Kelompok Kerja Guru (KKG) PAI jenjang SD, dan Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) PAI jenjang SMP dan SMA/SMK, serta menjalin kerja sama dengan Asosisasi Guru PAI Indonesia (AGPAII) untuk menginisisasi kegiatan-kegiatan keagamaan Islam, sebagai media insersi moderasi beragama di kalangan siswa sekolah yang memeluk agama Islam.
Apa harapan Bapak pada pemangku kepentingan Pendidikan Agama Islam dalam kaitan insersi, adaptasi, dan implementasi moderasi beragama?
Pemilihan penguatan moderasi beragama sebagai program prioritas idealnya didukung pula dengan prioritas anggaran. Anggaran dibutuhkan dalam rangka mengimplementasikan program kerja dalam bentuk aksi dan serangkaian kegiatan.
Dalam lingkar relasi seperti itu, perlu ada sinkronisasi program dan kegiatan antara Kemenag Pusat dan Daerah yang didukung dengan alokasi anggaran yang memadai. Dengan adanya sinkronisasi program, kegiatan, dan anggaran, maka upaya pencapaian target dan indikator penguatan moderasi beragama akan lebih terukur dan efektif.
Dalam upaya tersebut, saya menilai dan terus mengupayakan secara bersama, peran berbagai pihak, baik pada ranah pendidikan (guru dan pengawas) maupun kepenyuluhan berbagai agama, untuk terus menghadirkan sajian layanan pendidikan yang diminati anak-anak dan kepenyuluhan yang baik.
Sajian layanan pendidikan terkait moderasi beragama ini kami tempuh dengan menghadirkan standar minimal pengetahuan dan praktik keberagamaan dan keberagamaan sesuai jenjang dan tingkat pendidikan mereka, semacam basic standards, misalnya bagaimana agar anak-anak mengetahui konsep berwudhu dan guru mengawasinya dalam rutinitas. Standar pengetahuan agama harus disertai dengan bimbingan praktik dalam keseharian mereka.
Mari, kita terus menumbuhkan rasa keterpanggilan bekerja sama dan membangun harmoni, makin memperindah pelangi dan langit keberagamaan dan keberagaman Jawa Tengah pada khususnya, dan Indonesia pada umumnya. (Sumber: Kemenag Jateng/Moh Khoeron)