Kiai Nawawi Banten menulis karya dari berbagai bidang keilmuan, mulai dari gramatika bahasa Arab, fikih, tafsir, tawhid hingga tasawuf. Di bidang yang disebut terakhir ini, Kiai Nawawi Banten menulis kitab Maroqil Ubudiyah, komentar (syarah) atas salah satu karya Imam al-Ghazali, Bidayatul Hidayah.
Kitab Bidayatul Hidayah secara umum tebagi menjadi dua bagian. Bagian pertama menjelaskan tentang ketaatan seperti niat mencari ilmu, memulai aktivitas dari bagun tidur hingga menjelang tidur dan ibadah sehari-hari seperti wudhu, salat, dan puasa. Namun tak seperti kitab fikih pada umumnya, Imam al-Ghazali menambahkan spirit yang tak menjadi fokus dari pada kebanyakan kitab fikih. Bab salat misalnya, oleh Imam al-Ghazali ditambahkan perihal khusu’ dan tips untuk mencapai itu.
Berbeda dengan bagian pertama, bagian kedua fokus menjelaskan tentang menjauhi ragam maksiat. Di bagian ini Imam al-Ghazali menjelaskan perihal menjaga anggota badan seperti lisan dari maksiat dan menerangkan pula penyakit-penyakit hati seperti dengki dan cara menyembuhkannya. Bagian kedua ini juga dilengkapi dengan tata cara bergaul dengan Allah, orang tua, dan pertemanan dengan sesama.
Dalam kitab Bidayatul Hidayah ini, kita juga akan disuguhi berbagai klasifikasi dan perumpaan yang menjadi salah satu keistimewaan tulisan-tulisan Imam al-Ghazali. Salah satu contohnya bisa kita dapati ketika Imam al-Ghazali menjelaskan macam hamba perihal hubungannya dengan Allah, dan macam hamba perihal hubungannya dengan sesamanya.
Kata Imam al-Ghazali, seorang hamba dalam pemenuhan agamanya terbagi menjadi tiga: orang yang untung (robih), orang yang pas-pasan (salim), dan orang yang rugi (khosir). Orang yang untung adalah yang melaksanakan ibadah wajib, menjauhi larangan, dan menambah dengan berbagai amal sunnah. Sedangkan orang yang pas-pasan, kata Imam al-Ghazali, adalah yang menjauhi larangan, menjalankan ibadah wajib, namun tak menambahnya dengan amal sunnah. Adapun orang yang rugi adalah kebalikan dari pada orang yang untung. Alih-alih menambah amal sunnah, yang disebut terakhir ini justru bolong-bolong dalam melaksanakan ibadah wajib, dan menerjang apa yang dilarang.
Posisi kitab Maroqil Ubudiyah, yang ditulis oleh Kiai Nawawi Banten ini, menjelaskan apa yang telah ditulis oleh Imam al-Ghazali sebagaimana telah disinggung. Kiai Nawawi menjelaskan beberapa hal dari kitab Bidayatul Hidayah. Diantaranya adalah term-term seperti definisi Hujjatul Islam, dan menjelaskan arti dari huruf-huruf dalam basmalah.
Kiai Nawawi juga menjelaskan dengan bahasa lain apa yang ditulis Imam al-Ghazali. Kata Imam al-Ghazali, hidayah itu ada permualaannya (bidayah) dan ada akhirnya (nihayah), ada zahirnya ada batinnya. Orang tak akan sampai kepada akhir tanpa melalui permulaan, dan tak akan sampai pada batin sebelum melewati zahir. Oleh Kiai Nawawi Banten, nihayah ini diartikan sebagai buah dari syariat dan thariqat sekaligus (dengan mengutip Syaikhul Islam) atau buah dari thariqat saja (dengan mengutip Imam al-Shawi). Lebih lanjut Kiai Nawawi Banten juga menjelaskan secara detail apa itu syariat, thariqat dan hakikat. Kiai Nawawi juga mengetengahkan perumpaan tentang hubungan syariat, thariqat dan hakikat. Jika diibaratkan, syariat itu perahu, thariqat itu laut, dan hakikat merupakan mutiara yang tersimpan dalam laut.
Kiai Nawawi dalam menjabarkan kadang juga mengutip kisah. Kisah salah satu teman Imam Abu Hanifah yang diampuni Allah lantaran berbelas kasih kepada para santri, kisah seorang anak kecil menggugat pendapat seorang syaikh dalam sebuah forum ilmu, dan kisah alim yang fasik versus ahli ibadah yang bodoh adalah sekian dari kisah yang diketengahkan Kiai Nawawi dalam kitabnya.
Selain menjelaskan, Kiai Nawawi Banten kadang juga mengetengahkan pendapat yang menurut pemahaman penulis berbeda dengan Imam al-Ghazali. Yang demikian ini penulis jumpai ketika Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa orang bodoh yang enggan belajar itu akan celaka (wail) satu kali, sedangkan orang alim yang tak mengamalkan ilmunya akan celaka (wail) seribu kali. Menurut Kiai Nawawi Banten, kata “wail” bisa bermakna siksa (adzab). Oleh karenya siksanya orang alim yang tak mengamalkan ilmunya lebih berat dari pada orang bodoh yang enggan belajar. Namun, kata Kiai Nawawi Banten, yang demikian ini jika melihat kuantitas (‘adad) bukan kualitas (haiah). Karena bisa jadi satu kali siksaan untuk orang bodoh yang enggan belajar, lebih berat kualitasnya dari pada seribu kali siksaan untuk orang alim yang tak mengamalkan ilmunya. Menguatkan pendapat ini, Kiai Nawawi mengutip beberapa riwayat dan suatu hikayat.
Kitab Bidayatul Hidayah yang ditulis Imam al-Ghazali ini bisa dikatakan sebagai sebuah kitab tasawuf untuk pemula. Isinya menuntun seseorang untuk bertasawuf seiring dengan syari’at. Ini tampak dalam perumpaannya tentang hidayah yang memliki bidayah dan nihayah, zahir dan batin. Kiai Nawawi sepertinya juga demikian, menekankan pentingnya tasawuf yang tak meninggalkan syariat. Hal ini terjelaskan dengan kutipannya di akhir kitab atas perkataan Imam al-Sirri kepada Imam Junaid:
“Semoga allah menjadikanmu ahli hadis yang sufi, dan tidak menjadikamu sufi yang ahli hadis”.
Maksud kalimat ini menurut Kiai Nawawi Banten adalah bahwa orang yang belajar hadis dan ilmu lalu bertasawuf, maka ia akan beruntung, namun jika sebaliknya, bertasawuf dulu sebelum belajar ilmu, maka keadaan dirinya mengkhawatirkan. Begitu kira-kira ulasan kitab karya ulama asal Tanara Banten ini. (*)