Ada dua hal yang menjadi perhatian penulis di pembukaan kitab Bidayatul Hidayah karya Imam al-Ghazali. Pertama tentang orientasi atau niat seseorang dalam mencari ilmu dan yang ke dua perannya ketika telah menjadi orang berilmu atau seorang intelektual.
Pada poin pertama, sebelum Imam al-Ghazali menjelaskan orientasi yang tepat dalam mencari ilmu, lebih dulu beliau mengemukakan orientasi yang salah dalam mencari ilmu. Namun walaupun begitu, alih-alih menggunakan kalimat larangan yang jelas, Imam al-Ghazali mengajak pembaca kitabnya untuk menentukan pilihannya sendiri setelah diberitahu perihal resiko dari pilihannya.
Kata Imam al-Ghazali, jika niat kita mencari ilmu untuk mengistimewakan diri dari yang lain, berbangga, mendahului teman sejawat, mencari perhatian manusia, mencari harta dunia, maka kita sedang merobohkan agama, ibarat orang yang berdagang, kita rugi, dan guru kita laiknya orang yang menjual pedang kepada perampok.
Peringatan Imam al-Ghazali ini menjadi penting untuk dirunungkan bersama. Mungkin kenapa tak sedikit orang pintar, alih-alih membantu orang lain, justru menindas atau melegistimasi penindasan dan banyak intelektual populer (seleb istilahnya) yang hanya berhenti pada popularitas, salah satunya lantaran orientasi awalnya yang salah.
Poin Imam al-Ghazali tentang niat mencari ilmu supaya bisa mendahului teman sejawat mengingatkan penulis kepada film 3 Idiot yang menggambarkan bagaimana para murid dididk untuk bersaing satu sama lain, alih-alih saling membantu. Murid-murid pun akhirnya mengejar nilai dan gelar, bahkan dengan tega berbuat curang untuk mendapat itu. Dalam benak mereka, dipatrikan slogan “hidup adalah persaingan, yang tak mampu akan gagal”.
Setelah menjelaskan macam orientasi yang salah itu, Imam al-Ghazali mengemukakan, bahwa niat yang benar dalam mencari ilmu adalah merengkuh hidayah dari Allah. Seperti penjelasan sebelumnya, alih-alih menggunakan kata perintah, al-Ghazali menempatkan pembaca sebagai orang yang merdeka memilih. Beliau hanya menjelaskan akibat dari orientasi yang dipilih.
Kata beliau, jika niat kita dalam mencari ilmu adalah memperoleh hidayah dari Allah, maka malaikat mengepakkan sayap-sayapnya untuk kita, dan ikan-ikan laut memintakan ampun pula.
Oleh Kiai Nawawi Banten, niat merengkuh hidayah ini dijelaskan lebih lanjut, seperti niat menghilangkan kebodohan diri dan orang lain, menghidupkan agama, memperkokoh Islam dengan ilmu, akhirat, ridha Allah dan bersyukur atas nikmat akal.
Dari beberapa yang dijelaskan Kiai Nawawi Banten, poin menghilangkan kebodohan orang lain, walaupun tak ada pembahasan tentang kewajiban, tampaknya bisa diperluas maknanya, dalam arti bagi mereka yang diberi kesempatan mencari ilmu tertuntut untuk mengajari dan berusaha membebaskan masyarakat dari belenggu kebodohan.
Peran Intelektual
Selain membebaskan orang lain dari belenggu kebodohan di atas, ada peran orang alim atau intelektual yang secara tersirat dijelaskan oleh Kiai Nawawi Banten di kitab Maroqil Ubudiyah (penjelas dari Bidayatul Hidayah) saat memberikan komentar perihal ikan laut yang memintakan ampun.
”Karena baiknya alam (dunia) itu tergantung orang alimnya,” tulis Kiai Nawawi, “dengan menyampaikan hukum-hukum syariat yang salah satunya adalah larangan menyiksa hewan”.
Penjelasan Kiai Nawawi Banten ini menegaskan bahwa seorang intelektual turut bertangung jawab atas keberlangsungan dunia ini. Penjelasan ini bisa diartikan bahwa seorang intelektual harus turut aktif menumpas kezaliman yang merusak kehidupan. Kalau melihat keterangan di atas, kezaliman yang dimaksud tak terbatas atas apa yang menimpa manusia, tapi juga lingkungan yang dalam keterangan tersebut direpresentasikan oleh ikan laut.
Perihal larangan menyiksa hewan, kalau kita melihat beberapa pemberitaan, tak sedkit hewan-hewan laut yang menderita akibat sampah. Saya pernah melihat dalam sebuah video seokor hewan laut yang salah satu lobang diatubuhnya kemasukan sedotan plastik, dan juga pernah membaca sebuah pemberitaan tentang ikan yang mati dan perutnya penuh dengan sampah plastik. Tentang kasus ini saya pernah bediskusi dengan teman yang aktif di kegiatan lingkungan, katanya, persoalan sampah ini tak hanya masalah membuang sampah sembarangan, namun kita juga harus melihat ke skema yang lebih besar, misalnya tentang produksi plastik itu sendiri. Begitu kira-kira refleksi singkat dari kajian kitab karya Sang Hujjatul Islam ini. (*)
* A. Miftahussalam adalah Staf MHM Pondok Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur