Kajian

Orientasi Menjadi Intelektual dan Peran yang Menantinya

Oleh: A. Miftahussalam
‎(Catatan Kajian Kitab Bidayatul Hidayah 1)

Ada dua hal yang menjadi perhatian penulis di pembukaan kitab Bidayatul Hidayah karya Imam al-Ghazali. Pertama ‎tentang orientasi atau niat seseorang dalam mencari ilmu dan yang ke dua perannya ketika telah menjadi orang ‎berilmu atau seorang intelektual.‎

Pada poin pertama, sebelum Imam al-Ghazali menjelaskan orientasi yang tepat dalam mencari ilmu, lebih dulu ‎beliau mengemukakan orientasi yang salah dalam mencari ilmu. Namun walaupun begitu, alih-alih menggunakan ‎kalimat larangan yang jelas, Imam al-Ghazali mengajak pembaca kitabnya untuk menentukan pilihannya sendiri ‎setelah diberitahu perihal resiko dari pilihannya. ‎

Kata Imam al-Ghazali, jika niat kita mencari ilmu untuk mengistimewakan diri dari yang lain, berbangga, mendahului ‎teman sejawat, mencari perhatian manusia, mencari harta dunia, maka kita sedang merobohkan agama, ibarat ‎orang yang berdagang, kita rugi, dan guru kita laiknya orang yang menjual pedang kepada perampok. ‎

Peringatan Imam al-Ghazali ini menjadi penting untuk dirunungkan bersama. Mungkin kenapa tak sedikit orang ‎pintar, alih-alih membantu orang lain, justru menindas atau melegistimasi penindasan dan banyak intelektual ‎populer (seleb istilahnya) yang hanya berhenti pada popularitas, salah satunya lantaran orientasi awalnya yang ‎salah. ‎

Poin Imam al-Ghazali tentang niat mencari ilmu supaya bisa mendahului teman sejawat mengingatkan penulis ‎kepada film 3 Idiot yang menggambarkan bagaimana para murid dididk untuk bersaing satu sama lain, alih-alih ‎saling membantu. Murid-murid pun akhirnya mengejar nilai dan gelar, bahkan dengan tega berbuat curang untuk ‎mendapat itu. Dalam benak mereka, dipatrikan slogan “hidup adalah persaingan, yang tak mampu akan gagal”. ‎

Setelah menjelaskan macam orientasi yang salah itu, Imam al-Ghazali mengemukakan, bahwa niat yang benar ‎dalam mencari ilmu adalah merengkuh hidayah dari Allah. Seperti penjelasan sebelumnya, alih-alih menggunakan kata perintah, al-Ghazali menempatkan pembaca sebagai orang yang merdeka memilih. Beliau hanya ‎menjelaskan akibat dari orientasi yang dipilih.

Kata beliau, jika niat kita dalam mencari ilmu adalah memperoleh hidayah dari Allah, maka malaikat mengepakkan ‎sayap-sayapnya untuk kita, dan ikan-ikan laut memintakan ampun pula. ‎

Oleh Kiai Nawawi Banten, niat merengkuh hidayah ini dijelaskan lebih lanjut, seperti niat menghilangkan ‎kebodohan diri dan orang lain, menghidupkan agama, memperkokoh Islam dengan ilmu, akhirat, ridha Allah dan ‎bersyukur atas nikmat akal. ‎

Dari beberapa yang dijelaskan Kiai Nawawi Banten, poin menghilangkan kebodohan orang lain, walaupun tak ada ‎pembahasan tentang kewajiban, tampaknya bisa diperluas maknanya, dalam arti bagi mereka yang diberi ‎kesempatan mencari ilmu tertuntut untuk mengajari dan berusaha membebaskan masyarakat dari belenggu ‎kebodohan. ‎

Peran Intelektual

Selain membebaskan orang lain dari belenggu kebodohan di atas, ada peran orang alim atau intelektual yang ‎secara tersirat dijelaskan oleh Kiai Nawawi Banten di kitab Maroqil Ubudiyah (penjelas dari Bidayatul Hidayah) saat ‎memberikan komentar perihal ikan laut yang memintakan ampun. ‎

‎”Karena baiknya alam (dunia) itu tergantung orang alimnya,” tulis Kiai Nawawi, “dengan menyampaikan hukum-‎hukum syariat yang salah satunya adalah larangan menyiksa hewan”‎.

Penjelasan Kiai Nawawi Banten ini menegaskan bahwa seorang intelektual turut bertangung jawab atas ‎keberlangsungan dunia ini. Penjelasan ini bisa diartikan bahwa seorang intelektual harus turut aktif menumpas ‎kezaliman yang merusak kehidupan. Kalau melihat keterangan di atas, kezaliman yang dimaksud tak terbatas atas ‎apa yang menimpa manusia, tapi juga lingkungan yang dalam keterangan tersebut direpresentasikan oleh ikan ‎laut.‎

Perihal larangan menyiksa hewan, kalau kita melihat beberapa pemberitaan, tak sedkit hewan-hewan laut yang ‎menderita akibat sampah. Saya pernah melihat dalam sebuah video seokor hewan laut yang salah satu lobang ‎diatubuhnya kemasukan sedotan plastik, dan juga pernah membaca sebuah pemberitaan tentang ikan yang mati ‎dan perutnya penuh dengan sampah plastik.  Tentang kasus ini saya pernah bediskusi dengan teman yang aktif di ‎kegiatan lingkungan, katanya, persoalan sampah ini tak hanya masalah membuang sampah sembarangan, namun ‎kita juga harus melihat ke skema yang lebih besar, misalnya tentang produksi plastik itu sendiri. Begitu kira-kira refleksi singkat dari kajian kitab karya Sang Hujjatul Islam ini. (*)

* A. Miftahussalam adalah Staf MHM Pondok Pesantren Lirboyo Kediri Jawa Timur

www.youtube.com/@anas-aswaja