Beranda Nasional Ekonomi, Bisnis dan UMKM Dirut Pertamina Nicke Akhirnya Buka-bukaan Penyebab Solar Langka

Dirut Pertamina Nicke Akhirnya Buka-bukaan Penyebab Solar Langka

Jakarta (Aswajanews.id) – Pasokan Bahan Bakar Minyak (BBM) khususnya jenis Solar bersubsidi yang dijual PT Pertamina (Persero) belakangan ini mengalami kelangkaan di sejumlah daerah.

Menanggapi kondisi ini, Direktur Utama PT Pertamina (Persero) Nicke Widyawati turut membeberkan penyebab terjadinya kelangkaan Solar bersubsidi ini.

Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR RI, Nicke mengungkapkan kelangkaan Solar subsidi ini terjadi karena permintaan masyarakat atas Solar subsidi naik, namun di sisi lain kuota Solar subsidi pada 2022 ini dipangkas dibandingkan tahun lalu.

Nicke menyebut, peningkatan permintaan Solar subsidi mencapai 10%, sementara kuota Solar subsidi pada 2022 ini turun 5% dibandingkan 2021.

“Dengan kita lihat pertumbuhan ekonomi naik sekitar 5%, maka dampak terhadap mobilitas dan aktvitas usaha bisa terlihat dari peningkatan demand, termasuk dari Solar. Produksi full capacity dan logistiknya, kalau kita lihat peningkatan ini sekitar 10% dari sisi demand,” tuturnya dalam RDP Komisi VI DPR RI, Senin (28/03/2022).

“Bagaimana dengan suplai, kuota dari Solar subsidi lebih rendah 5% dibanding tahun lalu, gap ini lah yang menyebabkan masalah di suplai, jadi demand naik 10% tapi dari sisi suplainya kuota turun 5%. Oleh karena itu, kami nanti memohon dukungan jika memang Solar subsidi adalah bisa meningkatkan lagi pertumbuhan ekonomi, kuotanya perlu disesuaikan sesuai kebutuhan,” paparnya.

Dia mengatakan, kuota Solar subsidi pada 2022 ini ditargetkan 14,9 juta kilo liter (kl). Namun perseroan memprediksi, permintaan Solar subsidi ini bisa naik hingga 16 juta kl.

“Sampai akhir tahun ada kenaikan 14%. Tapi suplainya turun 5%,” ujarnya.

Selain itu, Nicke juga menjelaskan kelangkaan Solar bersubsidi ini terjadi karena selisih harga dengan Solar non subsidi semakin jauh.

Dia menyebut, selisih harga Solar bersubsidi dan non subsidi kini mencapai Rp 7.800 per liter.

“Kedua, disparitas harga makin jauh (Solar subsidi dan non subsidi). Ini yang mendorong shifting konsumsi juga. Kami lakukan pengendalian dan monitoring di lapangan. Volume jatah diturunkan, gap harga tinggi,” jelasnya.

Dari total penjualan Solar perseroan, dia mengatakan, 93% merupakan penjualan Solar subsidi dan 7% Solar non subsidi.

Menurutnya, antrean Solar bersubsidi banyak terjadi di daerah industri sawit dan pertambangan.

“Antrian ini banyak yang dari industri sawit dan tambang. Kita duga banyak yang pakai Solar subsidi. Dan ini kelihatannya, penjualan Solar non subsidi turun, Solar subsidi naik, padahal industri naik,” tuturnya.

Oleh karena itu, menurutnya butuh petunjuk teknis dari pemerintah terkait siapa saja yang berhak mengonsumsi Solar subsidi dan volumenya.

“Industri kan tumbuh, kita tetap suplai, meski sudah overkuota. Februari sudah 10% naiknya, sudah overkuota (Solar subsidi),” pungkasnya. (*)