Beranda Kajian Jika Rezeki Sudah Ditakar Tuhan, Lalu untuk Apa Manusia Berikhtiar?

Jika Rezeki Sudah Ditakar Tuhan, Lalu untuk Apa Manusia Berikhtiar?

153
Oleh: A. Miftahussalam (Himasal Muda Brebes)

Pertanyaan ini sering muncul di tengah masyarakat: jika rezeki sudah ditentukan oleh Tuhan, lalu apa gunanya manusia berikhtiar?

Untuk menjawabnya, kita perlu memahami dua pandangan ekstrem yang berkembang dalam sejarah pemikiran Islam: Jabariyah dan Qadariyah.

Pertama, aliran Jabariyah. Aliran ini meyakini bahwa manusia tidak memiliki kehendak bebas. Segala sesuatu yang dilakukan manusia sepenuhnya berada di bawah kendali Tuhan, termasuk soal rezeki. Maka, menurut Jabariyah, manusia tidak perlu berusaha; ia cukup menunggu rezeki datang karena semuanya sudah ditakar Tuhan.

Kedua, aliran Qadariyah. Sebaliknya, aliran ini berpandangan bahwa manusia memiliki kuasa mutlak atas dirinya. Segala perbuatan manusia sepenuhnya hasil kehendaknya sendiri, tanpa campur tangan Tuhan. Dalam hal rezeki, Qadariyah meyakini bahwa besarnya rezeki hanya bergantung pada usaha manusia; Tuhan tidak turut campur.

Kedua pandangan ini ekstrem dan tidak seimbang. Untuk itu, hadir jalan tengah yang diyakini oleh mayoritas umat Islam, yaitu Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja). Aswaja melihat hubungan antara takdir, usaha, dan rezeki secara proporsional dan moderat.

Aswaja meyakini bahwa rezeki sudah ditetapkan oleh Allah bahkan sebelum manusia lahir. Namun, pada saat yang sama, Allah juga memerintahkan hamba-Nya untuk berusaha mencari rezeki. Ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis Nabi menegaskan bahwa ikhtiar mencari rezeki adalah suatu kewajiban.

Lalu, jika rezeki sudah ditentukan, mengapa kita harus tetap berusaha? Aswaja menjawabnya melalui dua pendekatan:

Pertama, ikhtiar manusia tidak mengubah jumlah rezeki secara substansial, tetapi mempengaruhi keberkahannya. Artinya, takaran rezeki tidak bertambah atau berkurang, namun keberkahannya ditentukan oleh cara seseorang mencarinya. Jika diperoleh dengan cara halal dan penuh integritas, meskipun sedikit, rezeki itu bisa membawa banyak manfaat dan kebahagiaan.

Kedua, ikhtiar manusia bisa mengubah kadar rezeki secara substansial—dalam konteks takdir yang bersifat muallaq (takdir yang dapat berubah). Allah telah menetapkan rezeki manusia dalam ilmu-Nya (takdir mubram), yang tidak bisa berubah. Namun, dalam ilmu para malaikat, terdapat catatan takdir yang bisa berubah sesuai dengan usaha manusia. Maka, kualitas dan kuantitas rezeki bisa saja bertambah atau berkurang karena usaha yang dilakukan.

Oleh karena itu, sebagaimana dikatakan oleh Ahmad Abdul Majid:

رزق الإنسان مقدر ومكتوب قبل أن يولد، والسعي لتحصيله واجب
“Rezeki manusia sudah ditentukan dan ditulis sebelum ia dilahirkan, namun berusaha untuk mendapatkannya adalah kewajiban.”

Dengan memahami hal ini secara moderat, kita tidak jatuh dalam sikap pasrah fatalistik maupun angkuh karena merasa segalanya hasil kerja keras semata. Islam mengajarkan keseimbangan antara tawakal dan ikhtiar—dan di situlah letak kemuliaannya. ***


Eksplorasi konten lain dari aswajanews

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.