Ketika hari-hari menjelang Idul Adha datang, dua malam yang sunyi tiba: Tarwiyah dan Arafah. Di antara gema takbir yang mulai naik ke langit dan kaki-kaki jamaah haji yang melangkah ke padang pasir suci, umat Islam di seluruh dunia memungut kembali serpihan-serpihan keheningan dalam puasa yang tak sekadar menahan lapar.
Puasa Tarwiyah dan Arafah bukan hanya ritual ia adalah pengingat bahwa kita ini lemah, fana, dan sedang terus mencari jalan pulang.
Tarwiyah hari ketika Nabi Ibrahim merenung dalam kebimbangan. Sebuah malam yang diwarnai tanya dan keraguan: benarkah ini perintah dari Tuhan? Haruskah seorang ayah benar-benar mengorbankan anaknya sendiri? Lalu datang Arafah hari ketika segalanya menjadi jelas. Hari puncak kesadaran spiritual di padang luas tanpa hijau, hanya debu, batu, dan harap.
Bagi mereka yang sedang wukuf di Arafah, bumi menjadi sajadah dan langit menjadi atap pengampunan. Bagi kita yang tidak berhaji, puasa di dua hari ini menjadi ikhtiar untuk ikut merasakan getirnya perjalanan jiwa. Namun jujur saja seberapa dalam kita sungguh-sungguh memahami makna itu?
Di Hadapan Tuhan, Kita Sama-sama Menangis
Puasa Tarwiyah dan Arafah bukan tentang angka, bukan tentang pahala semata yang dilipatgandakan. Ini tentang kemanusiaan yang sedang belajar menangis di hadapan Tuhan.
Lihatlah dunia kita hari ini perang, kelaparan, pengungsi, kehilangan orang tersayang karena wabah atau bencana. Saat kita menahan lapar karena puasa, jutaan saudara kita di Gaza, Sudan, Rohingya, atau bahkan tetangga kita sendiri menahan lapar bukan karena ibadah, tapi karena tidak ada yang bisa dimakan. Tarwiyah dan Arafah mengajari kita untuk tidak membiarkan diri berpuasa tanpa empati. Apa artinya menahan diri jika tak melahirkan belas kasih? Apa gunanya Arafah, jika tak menjadikan kita lebih rendah hati di hadapan derita manusia lain?
Arafah: Titik Paling Sunyi antara Dosa dan Ampunkan
Di Arafah, semua jamaah haji berdiri dengan kain putih tanpa nama, tanpa gelar, tanpa kasta. Hanya manusia dan Tuhannya. Di sanalah kita belajar: pada akhirnya, kita semua akan kembali dalam keadaan serupa tak membawa apa-apa selain hati yang bersih dan jiwa yang jujur.
Mereka yang tidak mampu naik haji, tetap bisa mendekat kepada-Nya lewat puasa dan doa. Tapi betapa banyak yang melewatkan hari-hari ini tanpa rasa? Betapa banyak yang hanya melihatnya sebagai “puasa sunnah biasa”?
Tarwiyah dan Arafah seharusnya membelah dada kita, membuka luka-luka yang sudah lama kita kubur, dan memaksa kita berkata, “Ya Allah, aku lelah jadi manusia yang penuh topeng penuh dengan beraneka ragamnya.”
Hari-hari Tarwiyah dan Arafah adalah saat paling tepat untuk memaafkan, meminta maaf, menangis dalam diam, dan memeluk manusia lain yang juga sedang mencari Tuhan dalam hidupnya.
Mari kita puasa bukan karena ikut-ikutan, tapi karena kita sadar: kita sedang hilang, dan sedang mencari arah pulang.
Dan semoga pada kesempatan Ibadah Haji Tahun 2025 ini di tengah langit Arafah yang tenang, tangisan kita tak hanya terdengar oleh langit. Akan tetapi juga menjelma kasih bagi bumi. ***
Eksplorasi konten lain dari aswajanews
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.