Dalam peradaban Islam, posisi guru ngaji sangatlah mulia. Mereka bukan hanya sekadar pengajar, tapi penjaga kemurnian iman, penyambung risalah Rasulullah ﷺ, dan pelita di tengah gelapnya zaman. Di balik kesederhanaan penampilan dan kadang kerasnya ucapan, mereka adalah sosok yang mengemban tanggung jawab luar biasa besar yakni mengupayakan dengan mendidik akhlak, menanamkan tauhid, dan menyemai cinta kepada Al-Qur’an dalam hati generasi umat Islam.
Namun sayangnya, di tengah gempuran dunia yang semakin materialistik, posisi mereka kerap terabaikan. Di saat guru lain dihormati karena titel dan gaji yang tinggi, para guru ngaji sering hanya dianggap pelengkap kegiatan masjid, berjuang di pondok pesantren. Mereka mengajar dengan bayaran minim, atau bahkan tanpa bayaran, hanya demi mengharap ridha Allah dan agar ilmu tak putus di tengah umat.
Ironisnya, penghormatan kita kepada guru ngaji terkadang terhenti hanya pada formalitas. Kita mengucap terima kasih, bahkan menyebut mereka pahlawan tanpa tanda jasa, tapi ketika bicara soal kesejahteraan, mereka jarang masuk dalam daftar prioritas. Di saat masjid berlomba-lomba membangun kubah indah dan pengeras suara canggih, masih banyak guru ngaji yang datang mengajar sambil menahan lapar, atau pulang dengan kantong kosong.
Ini bukan hanya soal keadilan sosial, tapi soal keberkahan. Islam mengajarkan bahwa keberkahan ilmu sangat berkaitan dengan sikap kita terhadap pengajarnya. Bagaimana bisa kita berharap anak-anak kita menjadi shalih dan cinta agama, jika guru yang membimbingnya harus mengajar sambil memikirkan utang atau kebutuhan makan hari itu?
Sudah saatnya umat ini bangkit dengan kesadaran baru: menyejahterakan guru ngaji adalah bagian dari ibadah. Memberi mereka hak yang layak, mencukupkan kebutuhan hidup mereka, adalah bentuk nyata cinta kita terhadap ilmu dan Islam. Jangan sampai kita menuntut kualitas pengajaran yang tinggi, sementara kita sendiri belum memberi dukungan yang memadai.
Lebih jauh dari itu, kita juga perlu membuka hati untuk memahami bahwa tidak semua guru ngaji akan selalu lembut dan manis tutur katanya. Ada kalanya mereka bersikap keras, suara meninggi, atau bahkan memberi teguran yang menyakitkan. Tapi mari kita jujur: berapa banyak dari kita yang justru berubah karena ketegasan mereka?
Maka jangan buru-buru menghakimi guru ngaji yang galak. Galaknya mereka bukan karena benci, tapi karena dilandasi rasa cinta. Mereka tahu bahwa jika mereka terlalu lembut, mungkin kita akan tetap terlena. Maka mereka memilih jalan yang berat: mengingatkan dengan tegas, membimbing dengan sabar meski menghadapi murid yang keras kepala.
Di sinilah pentingnya kesadaran bersama: guru ngaji perlu diperhatikan kesejahteraannya. Mereka bukan robot pengajar yang bisa terus menerus berdiri tanpa letih. Mereka punya keluarga yang perlu dinafkahi, kebutuhan hidup yang harus dipenuhi. Jangan biarkan mereka hanya dihargai secara spiritual, tapi abaikan kesejahteraan duniawinya. Umat yang ingin mendapatkan keberkahan ilmu, mestinya juga berlomba-lomba menyejahterakan para pengajarnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an:
وَاِذَا حُيِّيْتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوْا بِاَحْسَنَ مِنْهَآ اَوْ رُدُّوْهَاۗ اِنَّ اللّٰهَ كَانَ عَلٰى كُلِّ شَيْءٍ حَسِيْبًا
Artinya: “Apabila kamu dihormati dengan suatu penghormatan (salam), balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik daripadanya atau balaslah dengan yang sepadan. Sesungguhnya Allah Maha Memperhitungkan segala sesuatu..” (QS. An-Nisa: 86).
Kembali lagi, Menghormati guru ngaji bukan hanya dengan ucapan terima kasih, tapi dengan nyata: menghargai waktu mereka, mengupayakan dukungan finansial yang layak, dan menerima nasihat mereka meski kadang terdengar keras.
Kita tidak perlu menuntut guru atau ustadz kita selalu lembut dalam tutur kata, karena terkadang kerasnya mereka justru menjadi cambuk perbaikan. Bukankah Rasulullah ﷺ pun pernah menegur keras para sahabat ketika mereka salah? Dan para sahabat menerimanya, karena mereka tahu: teguran yang keras adalah bentuk kasih sayang yang mendalam.
Maka, marilah kita ubah cara pandang kita. Jangan nilai guru ngaji dari gayanya yang galak, tapi lihatlah dari niatnya yang ingin kita selamat di dunia dan akhirat. Terimalah teguran sebagai anugerah. Dan berkontribusilah dalam kesejahteraan mereka karena di sanalah ada kunci keberkahan yang sering kita lupakan.
Dalam sejarah Islam, para ulama terdahulu sangat menjunjung tinggi guru mereka. Imam Syafi’i, misalnya, sangat memuliakan Imam Malik, hingga berkata, “Aku membuka lembar demi lembar di depan guruku dengan sangat pelan, karena aku tak ingin suara kertas mengganggunya.” Lalu bagaimana dengan kita hari ini? Sudahkah kita mendengar nasihat guru dengan rendah hati, meski terdengar keras? Sudahkah kita memperjuangkan kesejahteraannya?
Mari koreksi cara pandang kita. Kerasnya suara guru ngaji bukanlah tamparan, melainkan peringatan agar kita terbangun dari kelalaian. Jangan jadikan kelembutan sebagai syarat kebenaran. Kadang, yang keras itulah yang menyelamatkan. Dan jika kita menerima teguran mereka dengan hati terbuka, di sanalah letak keberkahan dan manfaat yang tak terhingga.
Kesimpulannya:
Menghargai guru ngaji tak cukup dengan pujian dan tepuk tangan. Kita harus hadir untuk mereka, baik secara moral maupun finansial. Kita harus dukung mereka agar mereka bisa mengajar dengan tenang, tanpa dihantui beban hidup. Dan kita harus menerima didikan mereka lembut atau keras dengan penuh keikhlasan, karena mereka adalah jembatan menuju cahaya.
Semoga Allah SWT melimpahkan keberkahan kepada semua guru ngaji, menjadikan ilmu mereka bermanfaat, dan membuka hati kita untuk lebih menghormati dan memperjuangkan mereka, bukan hanya sebagai pengajar, tapi sebagai penjaga cahaya Islam dalam kehidupan kita.
Ilmu itu mahal, tapi keberkahan dari guru yang ikhlas mengajar kita, tak ternilai harganya. ***
Eksplorasi konten lain dari aswajanews
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.