Di akhir tahun, momen-momen perayaan seperti Natal dan Tahun Baru sering menjadi sebuah sorotan, terutama dalam masyarakat yang multikultural dan multiagama. Natal dan Tahun Baru adalah momen istimewa yang tidak hanya dirayakan dengan sukacita, tetapi juga menjadi refleksi penting tentang keberagaman, toleransi, dan moderasi beragama.
Di Indonesia yang notabenenya sebagai negara dengan berbagai keyakinan, perayaan ini memiliki makna yang jauh lebih luas, bukan sekadar momen religius, tetapi juga simbol persatuan dalam keberagaman. Di tengah dinamika keberagaman, momen Natal dan Tahun Baru adalah kesempatan emas untuk mempererat hubungan antarumat beragama. Sikap saling menghormati dan kerja sama dalam merayakan hari-hari besar keagamaan ini menjadi cerminan dari moderasi beragama yang telah mengakar dalam budaya masyarakat Indonesia.
Dalam perspektif Islam, penting untuk selalu menjaga kedamaian dan saling menghormati meskipun terdapat perbedaan. Momen akhir tahun yang sering menjadi waktu refleksi bagi banyak orang adalah kesempatan bagi umat Islam untuk menunjukkan sikap penuh toleransi kepada orang lain. Ini bukan hanya mencerminkan nilai-nilai Islam yang penuh kasih, tetapi juga membantu membangun masyarakat yang lebih damai dan harmonis.
Toleransi beragama merupakan nilai penting dalam ajaran Islam yang mengajarkan umatnya untuk hidup berdampingan dengan damai meskipun berbeda agama.
Dengan demikian, melalui penerapan toleransi beragama yang tulus, umat Islam dapat menjadi contoh dalam menjaga persatuan dan kesatuan, menghormati perbedaan, serta menciptakan suasana kedamaian, terutama pada momen-momen seperti Natal dan hari besar lainnya bagi Agama lain. Hal ini bukan hanya mempererat hubungan antar umat beragama, tetapi juga menunjukkan bahwa Islam sebagai agama perdamaian menghargai kemanusiaan di atas segala perbedaan yang ada. Namun, dalam perayaan-perayaan agama lain seperti Natal, umat Islam dihadapkan pada dilema tentang sejauh mana toleransi ini boleh dilakukan tanpa mengorbankan prinsip-prinsip akidah yang menjadi dasar keyakinan mereka. Dalam konteks ini, penting untuk memahami garis batas toleransi Islam dalam merayakan atau mengucapkan selamat Natal.
Toleransi Beragama dalam Perspektif Islam
Islam mengajarkan umatnya untuk menghormati dan berbuat baik terhadap sesama, termasuk terhadap mereka yang beragama lain. Al-Qur’an dengan jelas menggarisbawahi pentingnya sikap saling menghormati antar umat beragama. Salah satu ayat yang menjadi dasar bagi toleransi beragama adalah Surah Al-Baqarah ayat 256, yang berbunyi: “Tidak ada paksaan dalam agama; sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dan jalan yang sesat.” (QS. Al-Baqarah: 256). Ayat ini menunjukkan bahwa setiap individu memiliki hak untuk memilih agama dan keyakinannya sendiri, dan Islam tidak memaksakan orang lain untuk mengikuti ajarannya.
Toleransi dalam Islam bukan hanya mengizinkan perbedaan agama, tetapi juga mendorong umat untuk menghormati hak orang lain dalam menjalani keyakinan mereka. Namun pada saat yang sama, Islam menegaskan prinsip dasar tauhid yakni keyakinan bahwa hanya Allah yang berhak disembah dan tidak ada Tuhan selain-Nya. Perayaan Natal yang merayakan kelahiran Yesus sebagai Tuhan atau anak Tuhan dalam ajaran Kristiani, berpotensi bertentangan dengan ajaran tauhid. Oleh karena itu, toleransi dalam Islam harus dipahami dalam konteks menjaga keutuhan akidah tanpa mengabaikan hubungan sosial antar umat beragama.
Mengucapkan Selamat Natal: Batasan dalam Islam
Garis batas toleransi Islam dalam Natal, terutama terkait dengan mengucapkan “Selamat Natal,” telah menjadi perdebatan di kalangan ulama. Beberapa ulama berpendapat bahwa mengucapkan selamat Natal tidak diperbolehkan karena berpotensi menunjukkan persetujuan terhadap keyakinan umat Kristiani yang bertentangan dengan tauhid. Hal ini berdasarkan pada prinsip bahwa dalam Islam, umat dilarang untuk mengakui atau merayakan perayaan yang berkaitan dengan klaim ketuhanan selain Allah.
Sebagian ulama berpendapat bahwa umat Islam tidak diperbolehkan mengucapkan “Selamat Natal” kepada umat Kristiani. Pendapat ini didasarkan pada beberapa alasan teologis dan akidah yang mendalam. Mereka berpendapat bahwa mengucapkan selamat Natal mengandung pengakuan terhadap keyakinan umat Kristiani tentang kelahiran Tuhan atau anak Tuhan, yang dalam pandangan Islam adalah ajaran yang bertentangan dengan prinsip tauhid (keesaan Tuhan).
Terdapat beberapa dalil yang digunakan oleh ulama yang melarang ucapan Natal diantaranya:
QS Al-Baqarah (2:120): “Dan tidak akan pernah ridha orang-orang Yahudi dan Nasrani kepadamu hingga kamu mengikuti agama mereka.”
Ayat ini sering digunakan untuk menekankan bahwa umat Islam tidak boleh mengikuti atau mendukung ajaran agama lain, karena mereka (Yahudi dan Nasrani) tidak akan puas kecuali umat Islam mengikuti agama mereka. Dalam konteks ini, mengucapkan selamat Natal dianggap sebagai bentuk dukungan terhadap keyakinan agama yang bertentangan dengan Islam.
Hadits dari Abu Hurairah (HR. Muslim): “Barang siapa yang menyerupai suatu kaum, maka ia termasuk golongan mereka.
Hadits ini dipahami oleh sebagian ulama bahwa mengucapkan selamat Natal berarti menyerupai orang Kristen dalam perayaan agamanya, yang dapat menyebabkan seseorang terjerumus dalam kesesatan jika tidak hati-hati.
Fatwa Ibn Taymiyyah
Ulama besar Ibn Taymiyyah menegaskan bahwa umat Islam seharusnya tidak ikut serta dalam perayaan agama lain. Dalam beberapa fatwanya, ia menyatakan bahwa mengucapkan selamat Natal atau ikut merayakan hari besar agama lain bisa dianggap sebagai bentuk pengakuan terhadap keyakinan mereka yang bertentangan dengan akidah Islam.
Namun ada pula pandangan yang lebih moderat, yang memperbolehkan umat Islam mengucapkan selamat Natal dengan niat untuk menjaga hubungan baik dan menghormati hak sesama manusia. Dalam hal ini, ucapan selamat dianggap sebagai bentuk penghormatan terhadap kebahagiaan orang lain tanpa mengorbankan prinsip tauhid. Pandangan ini mengedepankan nilai-nilai akhlak dan etika dalam berinteraksi dengan orang lain, meskipun mereka beragama berbeda.
Sebagian ulama yang lebih moderat berpendapat bahwa mengucapkan “Selamat Natal” tidaklah haram, asalkan dilakukan dengan niat untuk menjaga hubungan baik dan menghormati hak orang lain untuk merayakan hari besar agamanya. Dalam pandangan ini, ucapan selamat Natal tidak mengandung pengakuan terhadap doktrin agama lain yang bertentangan dengan ajaran Islam, tetapi lebih sebagai bentuk saling menghargai dan menjaga kedamaian antar umat beragama.
Beberapa dalil yang mendasari pendapat diatas antara lain:
QS. Al-Mumtahanah (60:8): “Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik dan berlaku adil kepada orang-orang yang tidak memerangi kalian karena agama dan tidak mengusir kalian dari kampung halaman kalian. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.”
Ayat ini digunakan untuk menunjukkan bahwa Islam mengajarkan umatnya untuk berlaku baik dan adil kepada orang yang tidak memusuhi mereka, meskipun berbeda agama. Dalam konteks ini, mengucapkan selamat Natal dianggap sebagai bentuk sikap saling menghormati dan menjaga hubungan baik antar sesama manusia.
Hadits Nabi Muhammad SAW: Nabi Muhammad SAW bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak.” (HR. Ahmad).
Hadits ini mengajarkan umat Islam untuk selalu menunjukkan akhlak yang baik, termasuk dalam berinteraksi dengan orang yang berbeda agama. Dalam hal ini, mengucapkan selamat Natal bisa dianggap sebagai bentuk akhlak yang baik, sepanjang itu tidak bertentangan dengan ajaran tauhid.
Fatwa Ulama Kontemporer Beberapa ulama kontemporer, seperti Syaikh Ali Jumu’ah, seorang ulama besar dari Mesir kemudian seperti Yusuf Al-Qardhawi seorang ulama di Qatar berpendapat bahwa mengucapkan selamat Natal adalah tindakan yang diperbolehkan, asalkan dilakukan dalam konteks menjaga kedamaian dan menunjukkan sikap toleransi terhadap sesama manusia. Menurutnya, perayaan Natal adalah perayaan yang tidak mengandung unsur yang bertentangan langsung dengan ajaran Islam, sehingga umat Islam bisa memberikan ucapan selamat dengan niat baik dan untuk menjaga hubungan yang harmonis.
Pendekatan Islam Terhadap Toleransi Sosial
Pendapat yang lebih moderat juga menekankan pentingnya menjalin hubungan yang harmonis antar umat beragama. Islam mengajarkan umatnya untuk menjaga perdamaian dan saling menghormati yang mencakup saling memberikan ucapan selamat dalam perayaan agama lain sebagai tanda kedamaian dan toleransi.
Adapun dalil yang mendukung pandangan ini adalah:
QS. Al-Hujurat (49:13): “Hai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku, agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.”
Ayat ini mengajarkan umat Islam untuk saling mengenal dan menghormati satu sama lain, meskipun berbeda-beda agama, suku, dan ras. Ini bisa dijadikan dasar untuk menerima perbedaan dan menjaga hubungan baik antar umat beragama.
Menjaga Akidah dan Keharmonisan
Garis batas toleransi dalam Islam terkait dengan perayaan Natal harus dilihat dalam konteks menjaga keseimbangan antara menjaga akidah dan menghormati keberagaman sosial.
Sebagai umat Islam, kita diajarkan untuk tidak terjerumus dalam praktik yang bisa merusak keyakinan atau akidah, namun pada saat yang sama, kita juga diharapkan untuk tidak mengabaikan prinsip kemanusiaan dan saling menghormati. Mengucapkan selamat Natal, jika dilakukan dengan niat untuk menjaga hubungan baik dan tidak menyentuh esensi ajaran agama bisa dipandang sebagai bentuk toleransi yang tidak melanggar prinsip Islam. Namun, umat Islam harus berhati-hati agar tidak terjebak dalam persetujuan atau pengakuan terhadap ajaran yang bertentangan dengan tauhid.
Islam mengajarkan bahwa toleransi beragama bukan berarti mengikuti atau merayakan perayaan agama lain, tetapi lebih kepada menghargai hak setiap individu untuk beribadah sesuai dengan keyakinannya. Umat Islam diharapkan untuk tetap menjaga akidah mereka dengan teguh, sementara pada saat yang sama, menghormati hak orang lain untuk merayakan perayaan agama mereka.
Toleransi dalam Islam tidak berarti mengorbankan prinsip ajaran agama, melainkan berusaha untuk menjaga keseimbangan antara akidah dan hubungan sosial yang harmonis. Dalam konteks ini, sikap saling menghormati dan menjaga kedamaian tetap menjadi dasar dalam berinteraksi dengan orang yang berbeda agama. ***