Penyebaran Agama Islam di Pulau Jawa pada abad ke-14 tidak luput dari peran ulama dan wali atau yang lebih dikenal dengan sebutan Wali Songo (Wali Sembilan). Mereka cepat dikenal masyarakat luas karena kerap berdakwah tanpa memaksa harus masuk Islam. Model dakwah yang mereka gunakan lebih kepada pendekatan kultural atau kebudayaan tanpa menghilangkan adat istiadat masyarakat setempat.
Perjalanan dakwah Wali Songo telah dicatat dalam sejarah penyebaran agama Islam di Indonesia. Mereka telah meninggalkan banyak jejak dalam berdakwah. Wali Songo membawa perubahan besar terhadap peradaban masyarakat Jawa yang dulunya belum mengenal Islam.
Salah satu anggota Walisongo yang terkenal akan dakwahnya adalah Sunan Kalijaga (Raden Sahid). Ia merupakan anak dari adipati Tuban, Tumenggung Wilatikta. Ia dikenal sebagai budayawan dan seniman seni suara, seni ukir hingga seni busana. Ia juga menciptakan aneka cerita wayang yang bercorak keislaman.
Dilansir dari berbagai sumber, alasan Sunan Kalijaga memakai model dakwah kultural sebagai jalan dakwahnya karena beranggapan bahwa lebih mudah menyebarkan agama Islam dengan cara memadukan dengan unsur kebudayaan masyarakat setempat yang tidak bertentangan dengan ajaran Islam. Pelaksanaan dakwah kultural ini diharapkan dapat segera menarik hati masyarakat setempat yang masih banyak memeluk agama lama yaitu Hindu dan Budha.
Dalam berdakwah, mengenalkan ajaran agama Islam Sunan Kalijaga memperkenalkan bentuk wayang yang terbuat dari kulit kambing atau biasa dikenal sebagai wayang kulit. Sebab, pada masa itu wayang populer dilukis pada semacan kertas atau wayang beber. Dalam seni suara, ia menciptakan lagu Dandanggula. Bahkan, Sunan Kalijaga juga mengarang sebuah tembang Jawa yang sangat terkenal sampai saat ini, yaitu Ilir-Ilir.
Gus Mus, sapaan akrab KH Ahmad Mustofa Bisri Ulama Khos Nahdlatul Ulama (NU) Pimpinan Pondok Pesantren Raudlatut Thalibin, Leteh, Rembang seperti dilansir laman NU Online mengatakan, wayang adalah di antara seni budaya lokal yang digunakan Walisongo untuk media dakwah.
Meski ceritanya dari Mahabharata, wayang mampu dielaborasi oleh para Wali dengan memasukan banyak nilai-nilai kebijaksanaan Islam. Di antaranya, kisah konflik antara Pandawa dan Kurawa. Jika dipahami dengan jernih, sebenarnya Pandawa dan Kurawa bukan simbol untuk menggambarkan secara berlawanan antara golongan yang baik dan buruk. Dari sudut pandang kemanusiaan, Pandawa adalah simbol dari golongan yang telah mencapai kebenaran, atau dalam istilah tasawuf, mereka sudah wushul ila al-Khaqq. Sedangkan Kurawa menyimbolkan golongan yang masih berproses atau mencari, bergerak dan menuju kebenaran.
Penulis hanya ingin menyampaikan, ada pepatah mengatakan Bangsa yang besar adalah bangsa yang mau menghargai budayanya. Tapi apakah kita bisa menghargai budaya jika kita tidak mengerti dengan budaya itu sendiri. Islam mengajarkan bahwa cinta kepada tanah air adalah bagian dari iman. Tanah air kita adalah Indonesia. Mencintai Indonesia adalah bagian dari iman (Hubbul Wathan Minal Iman). Oleh karena itu, siapa saja yang mengkhianati Tanah Air Indonesia berarti telah kehilangan imannya, minimal sebagian besar imannya telah musnah, Naudzubillahimindzallik.
*Elisa Nurasri, S.Sos. Aktivis Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung.