Tradisi

Tiga Berpeci Menuju Ziarah Lokal ke Barat

Bertiga berpeci melangkahkan kaki dan melajukan kendaraanya, dari rencana bebeberapa hari yang lalu baru bisa terlaksana, Selasa (27/12/22) melakukan perjalanan ziarah, yang dimulai dari Mbah Rubi Klampok, Angkawijaya Losari, Mbah Idris Lumpur Losari, Sunan Gunung Jati Cirebon, Mbah Abas Buntet Pesantren Cirebon dan silahturahmi dengan penulis kisah-kisah dari Buntet Pesantren.

Perjalanan ziarah bagi penulis sendiri, sudah mulai dari kecil ketika diajak kedua orang tua, saat menjadi santri di Buntet dan di Pekalongan, sampai kuliah dan sekarang masuk didunia kerja, masih diberi kesempatan melakukan kegiatan ziarah walaupun hanya dengan teman kantor yang seprekuensi dan berjumlah tidak terlalu banyak.

Pertemanan dengan teman kerja yang sefrekuensi (kecocokan yang dimiliki seseorang dengan orang lain), membuat penulis kembali menemukan kehidupan dunia baru yang sudah dijalani sejak kecil. Ini mungkin yang disebut pertemanan dunia akhirat.

Perjalanan ziarah penulis yang dahulu dilakukan dengan sekarang sudah sangat berbedah jauh. Dulu masih bisa berjalan kaki berkilo-kilo meter dan tak terasa capai, mungkin karena masih muda atau sedang semangat-semangatnya. Kalau sekarang mudah capai dan terasa sakit kalau jalan agak jauh.

Ziarah kali ini (27/12/22) hanya bertiga, atau yang dapat disebut kelompok berpeci di tempat kerja (katanya-red).

Menelusuri para pejuang dan pendakwah, serta berusaha mentauladani jejak langkah-langkah yang dilakukan oleh para pendahulu yang sangat luar biasa dalam berdakwah disetiap daerahnya.

Mbah Rubi (1848-1908) Klampok, menjadi tujuan ziarah pertama, dengan rute dari timur menuju kebarat. Mbah Rubi dari informasi yang penulis dapatkan merupakan sosok ulama dan seorang bangsawan yang menjadi benteng pendopo Brebes, sehingga sagat ditakuti oleh penjajah.

Ziarah selanjutnya menuju Mbah Angkawijaya, sosok pengeran yang mengasihkan diri dari keraton dan hidup bersama  rakyat biasa. Mengajarkan dakwa Islam dengan sistem Tajug sebagai tempat dakwa dan ibadah sebagaimana yang diwariskan oleh Sunan Gunung Jati Cirebon.

Model bangunan makam Angkawijaya memiliki kekhasan bergaya benteng keraton dan bangunan  atapnya menggunakan anyaman dari daun alang-alang.

Dari makam Pangeran Angkawijaya, selanjutnya melangkah ke makam Mbah Idris, Pendiri Pondok Pesantren Lumpur Losari dan salah satu pendiri Pondok Pesantren pertama di Brebes, beliau juga adalah besan dari Mbah Shalih Darat Semarang.

Putra-putri Mbah Idris adalah orang-orang yang alim pada jamanya. Beliau pernah mukim di Makkah untuk belajar Islam dan berteman dengan para ulama besar disana saat itu pula.

Perjalanan selanjutnya ke Makam Sunan Gungjati. Dalam komplek makam tersebut sepertinya tidak ada bedanya antara malam dan siang disana. Tempat ziarah yang terus dipenuhi para peziarah yang tak kenal waktu datang dari berbagai daerah. Bacaan ayat-ayat suci alQuran, tahlil dan sholawat sepertinya tidak pernah berhenti sepanjang waktu

Penulis dan dua teman kerja, mengakhirin ziarah di Makam Mbah Abas Buntet Pesantren, Tokoh sentral yang dinanti oleh Mbah Hasyim Asy’ari untuk melakukan perang melawan portugis di Surabaya. Sosok ulama yang digjaya dan tetap selalu husnudhon pada siapapun yang datang kerumahnya.

Di Buntet Pesantren, penulis menuju Masjid kebetulan pas azan sholat Ashar dan mengikuti sholat Ashar berjamaah serta bertemu dengan teman MTs NU saat di pondok dulu dan bersilaturahim dengan ibu Nyai penulis yang dulu membimbing penulis agar mau melanjutkan untuk kuliah setelah tamat Aliyah.

Di tempat ibu nyai Liah, penulis mendapat kenang-kenangan buku karya putra ibu nyai yang berjudul “Kisah-kisah dari Buntet Pesantren,” buku yang sangat luar biasa menggambar kisah-kisah dari berbaga peristiwa yang terjadi di Buntet Pesntren.

Makasih Kang Dadi, panggilan akrab penulis dengan Munib Rowadi penulis buku “Kisah-kisah dari Buntet Pesantren.”  Perjalanan akhir ziarah penulis yang mendapatkan buku langsung dari Sang penulis.

Lukmanrandusanga, Selasa (27/12/2022)