Nusantara

Model-Model Pemilihan Pimpinan PBNU

Model pemilihan pimpinan Pengurus Besar Nahdlatul ulama (PBNU) baik untuk jabatan Ro’is Aam maupun Ketua Umum dari masa kemasa berubah-ubah. Belum ada aturan dalam bentuk keputusan Muktamar yang menetapkan aturan baku yang bisa berlaku standar dari masa kemasa, dari Muktamar ke Muktamar.

Pada pemilihan Ro’is Aam dan Ketua Umum di Muktamar 1952 (Palembang) dilakukan secara aklamasi, melalui mekanisme musyawarah mufakat. Demikian juga halnya pada Muktamar 1956 (Medan) dan Muktamar 1959 (Jakarta).

Pada Muktamar 1962 (Solo) pemilihan Ro’is Aam dilakukan melalui mekanisme musyawarah mufakat, aklamasi. Tetapi pemilihan Ketua Umum, Ketua I, Ketua II, Ketua III dan Ketua IV dilakukan satu persatu melalui mekanisme pemungutan suara.

Pada Muktamar 1967 (Bandung), pemilihan Ro’is Aam melalui pemungutan suara.  Demikian juga halnya dalam pemilihan Ketua Umum, Ketua I, Ketua II, Ketua III dan Ketua IV.

Pada Muktanar 1971 (Surabaya), pemilihan Ro’is Aam dilakukan secara aklamasi tetapi pemilihan Ketua Umum, Ketua I, Ketua II, Ketua III dan Ketua IV melalui pemungutan suara.

Pada Muktamar 1979 (Semarang) pemilihan Ro’is Aam dan Ketua Umum dilakukan secara aklamasi, tetapi Muktamar juga menetapkan lima orang made formatur untuk membantu Ro’is Aam dan Ketua Umum didalam menyusun kepengurusan PBNU yang terdiri dari sembilan orang Ro’is (dibawah Ro’is Aam) dan sembilan orang Ketua (dibawah Ketua Umum) plus Sekjen dan beberapa orang Wakil Sekjen dan Bendahara Umum beserta beberapa orang Bendahara. Tetapi pada Muktamar 1984 (Situbondo) pemilihan Ro’is Aam dan Ketua Umum melalui AHWA.

Demikian juga pada Muktamar-Muktamar berikutnya aturan nya kemudian kembali berubah-ubah. Kedepan mungkin perlu menjadi pemikiran bersama bagaimana mekanisme terbaik untuk menentukan pemilihan kepemimpinan dari  tingkat PB dan level dibawahnya. Rasanya bagus jika model AHWA yang menjadi pilihan.

Muktamar bisa memilih (misalnya 17 orang) AHWA yang akan menyusun kepengurusan PBNU. Dan secara berjenjang kebawa h yang menjadi AHWA jumlahnya lebih mengecil. Pemilihan kepemimpinan di NU dengan model seperti ini tidak mengorbankan prinsip musyawarah dan pemungutan suara secara demokratis karena AHWA juga dipilih melalui pemungutan suara oleh para pemilik suara. Kalau di Muktamar ya PWNU dan PCNU.

Bisakah ini menjadi agenda pembahasan di Muktamar NU ke-34 yang bisa berlaku mulai Muktamar ke-35 pada tahun 2026? Goncangan bisa diminimalisir dan turbulensi bisa dihindari. (Zainaldi Zainal)