Membincangkan peran legislatif terhadap madrasah di lingkungan Nahdlatul Ulama, khususnya yang bernaung di bawah LP Ma’arif NU, merupakan bagian dari amanat moral dan politik warga nahdliyyin sebagai konstituen setia dalam setiap pemilu lima tahunan. Wakil rakyat, khususnya dari partai yang berakar pada tradisi dan nilai-nilai ke-NU-an seperti PKB, idealnya memiliki keberpihakan ideologis yang nyata terhadap penguatan pendidikan keagamaan dan kelembagaan NU. Namun, realitas politik kerap kali menghadapkan idealisme pada arus pragmatisme kekuasaan.
Beberapa hari lalu, penulis berkesempatan berdiskusi dengan anggota Fraksi PKB DPRD Jawa Tengah dalam forum audiensi bersama DPW FKDT Jawa Tengah. Dalam pertemuan tersebut, disampaikan bahwa dalam rentang lima tahun terakhir, alokasi bantuan aspirasi untuk komunitas nahdliyyin belum sebanding dengan kontribusi suara yang diberikan saat pemilu. Ada ketimpangan yang perlu menjadi bahan evaluasi bersama: mengapa dukungan politik dari basis nahdliyyin tidak berbanding lurus dengan keberpihakan anggaran dan program?
Fakta politik hari ini memperlihatkan realitas tersebut. Di Kabupaten Brebes, PKB kehilangan satu kursi di DPRD kabupaten dan DPR RI. Situasi ini tentu menjadio bahan renungan sekaligus koreksi politik ke dalam. Dalam konteks ini, forum Halal bi Halal LP Ma’arif NU Kabupaten Brebes yang akan menghadirkan Gus Syafa (Anggota DPRD Provinsi Jawa Tengah) dan Ir. Nasirul Umam (Anggota DPRD Kabupaten Brebes), dengan moderator Nyai Nafisatul Khoiriyah (juga dari DPRD Brebes), menjadi ajang strategis untuk merumuskan sinergi baru antara kekuatan politik dan pendidikan.
Politik dan pendidikan ibarat dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Ketika keduanya bersinergi dalam kerangka ideologis dan konstitusional, maka akan lahir kebijakan publik yang berpihak kepada kepentingan rakyat, termasuk dalam hal ini madrasah dan lembaga pendidikan NU. Salah satu bukti nyata perjuangan politik dalam bidang pendidikan adalah ketika Fraksi PKB DPRD Jawa Tengah berhasil mempertahankan anggaran untuk guru keagamaan dan lembaga swasta saat terjadi transisi kepemimpinan dari Gubernur ke Pj Gubernur. Upaya ini bukan semata-mata urusan teknis anggaran, melainkan bagian dari keberpihakan ideologis yang menyentuh hajat hidup warga NU.
Secara legislasi, kita tidak boleh melupakan bahwa UU Pesantren adalah buah dari perjuangan para politisi PKB di Senayan. Demikian pula dalam upaya melahirkan Peraturan Daerah (Perda) yang menjadi turunan dari UU tersebut, PKB turut menjadi pelopor di berbagai daerah. Meski di Brebes Perda Madin belum berhasil diwujudkan karena konstelasi kekuatan politik di DPRD, namun kita patut bersyukur dengan terbitnya Peraturan Bupati (Perbup) No. 12 Tahun 2025 tentang Fasilitasi Pengembangan Madrasah Diniyah Takmiliyah (MDT), sebagai langkah maju yang perlu diapresiasi.
Momentum Halal bi Halal PC LP Ma’arif NU Brebes kali ini menjadi panggung strategis untuk menguatkan kembali komitmen ideologis para legislator terhadap masa depan pendidikan madrasah. Kekuatan politik nahdliyyin, bila dikelola dengan kesadaran kolektif dan konsisten, akan mampu mendorong lahirnya kebijakan yang berpihak pada pendidikan yang berakar pada nilai-nilai Aswaja.
Kehadiran para politisi PKB dalam forum Halal bi Halal ini adalah bentuk nyata dari keterpanggilan nurani, bukan sekadar urusan elektoral. Ini adalah ikhtiar bersama untuk membangun peradaban bangsa melalui jalur pendidikan. LP Ma’arif NU sebagai entitas strategis bangsa harus terus bersinergi dengan kekuatan legislatif yang lahir dari rahim Nahdlatul Ulama. Dengan demikian, akan terbangun generasi yang tangguh, berdaya saing, dan berakhlak mulia dalam bingkai ideologi Ahlussunnah wal Jamaah an-Nahdliyyah. ***