Jika saja tidak ada covid19 yang mengakibatkan pandemic, Hari Santri Nasional tahun ini pasti diperingati dengan meriah. Tahun 2019 saya sedang berada di Tasikmalaya yang juga dijuluki kota santri dan menyaksikan sendiri kemeriahan itu. Hampir seluruh jalan “cettal”, macet total. Para santri turun gunung.
Mereka berpawai keliling. Berbagai alat transformasi digunakan. Mulai mobil besar,bus, truk, mobil kecil, sepeda motor. Bahkan ndelepak ceker alias berjalan kaki. Takbir dan shalawat bergema tak henti henti. Cekak aosnya para santri sejagat Nusantara sangat mengapresiasi Kepres Joko Widodo No. 22 tahun 2015 tentang HSN itu. Sejatinya HSN yang dikepreskan tanggal 22 Oktober 2015 itu merupakan realisasi janji kampanye Pilpres 2014.
Jokowi memang paham betul ada 4,1 juta santri dan ribuan kiyai ditambah masarakat pondok merupakan ladang suara yang besar. Maka setahun setelah menduduki singgasana Jokowi pun berbalas budi.Kepres HSN pun ditanda tanganya.
Setelah itu masih ada sederet kebijakan dan keputusan negara untuk komunitas pondok pesantren. Yang paling crusial adalah UU 18 tahun 2019 tentang Pesantren.
Seorang pengamat kebijakan politik, menganggap apa yang dilakukan pemerintah adalah wajar. Bahkan itu sebuah keniscayaan.
Selain komunitasnya yang besar, juga peran juangnya yang tinggi. Catatan sejarah menunjukkan para santri tentu dengan para kiyai bahkan masarakat pondok berperan besar dalam perjuangan melawan kolonial merebut kemerdekaan.
Berbagai perang melawan penjajah mulai dari perang Diponegoro, Aceh atau Padri sudah mulai melibatkan santri dan pondok pesantren.
Ratusan santri Sukamanah terbunuh. Bahkan kiyainya HZ Mustofa dan 22 santri nya dieksekusi mati di Tanjung Priok, oleh tentara Jepang.
Jauh sebelum itu ratusan santri Buntet Cirebon tewas dalam perang melawan serangan tentara Belanda sekitar tahun 1878.
Pada perang Surabaya yang penomenal itu ribuan santri gugurdiantara 6.000 pejuang yang tewas. Bahkan meski masih kontroversi Brigjen Mallaby komandan tempur sekutu mati kerena ledakan granat. Konon pelemparnya seorang santri bernama Anwar. Wallahu alam.
Yang harus diacungkan jempol kepada para santri adalah kemandirian. Berpuluh tahun mereka hidup tanpa gapaian tangan pemerintah. Meski terpinggirkan pondok pesantren tetap eksis. Dalam tahun tahun terahir ini minat masyarakat masuk perguruan Islám ini meningkat dengan signifikan. Bahkan ada pondok yang terpaksa melakukan testing masuk. Sebut saja di Jawa Barat Husnul Khatimah Kuningan atau Darun Najah kabupaten Bogor.
Jadi kata pengamat itu sudah niscaya pemerintah memanusiakan bahkan memanjatkan para santri dan atau pondok pesantren. Subhanallah wabihamdika. ***