Secara definitif guru adalah pendidik profesional yang memiliki tugas mendidik, mengarahkan, melatih, menilai dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan usia dini dan jalur pendidikan formal, pendidikan dasar dan pendidikan menengah. Tugas tersebut menjadi tugas profesional yang menuntut keahlian di bidangnya dengan mendapatkan imbalan yang layak. Definisi ini sebagaimana termaktub di UU Guru dan Dosen pada bab ketentuan umum tersebut menutut kompetensi seorang pendidik yang secara akademik harus memiliki pendidikan minimal Sarjana. Lebih dari itu tentu harus memiliki beberapa kompetensi termasuk pedagogik, sosial, kepribadian dan profesional.
Sedangkan menurut teori pendidikan Islam guru adalah pendidik yang memiliki tugas menunjukkan peserta didik kepada jalan yang benar (hidayah) dengan sekian persyaratan yang harus dimiliki. Tentu definisi ini termasuk beberapa komptensi yang telah disebutkan di atas. Hanya persoalan keikhlasan dengan tidak menuntut bayaran dari murid atau honor ini yang menjadi salah satu kepribadian seorang guru. Definisi ini sebagaimana disampaikan Imam Ghozali.
Dalam konteks regulasi UU No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, Guru MDT tidak termasuk dalam nomenklatur sebagai guru. Sehingga tidak bisa dikategorikan dengan pendidik yang profesional. Hal tersebut karena istilah guru dalam UU tersebut hanya berlaku pada jalur pendidikan formal dengan sekian tugas sebagai pendidik, minimal pada pendidikan Diniyah formal.
Sementara peningkatan keimanan, ketaqwaan dan akhlak mulia untuk generasi menjadi tanggungjawab bersama termasuk guru MDT yang bersentuhan dengan ilmu agama Islam. Peran penting Guru MDT juga mengantarkan pemahaman generasi terhadap Islam yang ramah dan santun dalam kehidupan berbangsa bernegara dan berbangsa.
Di sinilah jelas terjadi persimpangan regulasi UU Guru dan Dosen dengan tidak memasukkan Guru MDT sebagai status guru dalam regulasi tersebut. Sehingga terjadi diskriminasi antara pendidik pada lembaga formal dengan Ustadz sebagai guru yang mengajar pada lembaga pendidikan non formal.
Ada beberapa asumsi yang mendasari ketimpangan (diskriminasi) pemerintah terhadap guru MDT. Pertama, status MDT sebagai lembaga pendidikan non formal yang sedikit melemahkan untuk mengangkat guru MDT pada pusaran regulasi. Meski demikian jalur pendidikan baik formal atau non formal tentu bertujuan sama mencerdaskan kehidupan bangsa (amanat Pembukaan UU 1945). Oleh karena perlakuan yang seimbang antara pendidikan formal dan non formal mestinya harus di wujudkan di Negeri Indonesia. Namun fakta guru MDT masih tertinggal jauh dari sisi Kesejahteraan dengan guru pada lembaga pendidikan formal.
Kedua, status pendidikan guru MDT yang sebagian besar alumni Pesantren dengan gelar akademik yang bukan sarjana. Kendatipun dalam kapasitas ilmu agama Islam tidak diragukan namun secara formal tidak memiliki legalitas (ijazah) sebagai pendidik yang sesuai dengan UU Guru dan Dosen. Sehingga hal ini menjadi salah satu yang mengunci guru MDT tidak masuk dalam definisi guru sebagaimana termaktub dalam UU Guru dan Dosen.
Munculnya kebijakan dari Kementerian Agama tentang Bea Siswa Perkuliahan Jarak Jauh untuk Guru MDT hanya sebagian kecil yang bisa mengakses. Ini merupakan perhatian Kemenag kepada guru MDT untuk peningkatan kualifikasi pendidikan. Melalui program ini guru MDT bisa mendapatkan gelar sarjana tanpa harus setiap hari ke Kampus Perguruan Tinggi. Hal ini menjadi peluang pada satu sisi untuk meningkatkan kapasitas. Disisi yang lain tantangan apakah setelah lulus sarjana dari bea siswa akan tetap bertahan di MDT, apa kemudian beralih profesi menjadi guru pada lembaga pendidikan formal.
Ketiga, ada sebagian guru MDT yang paginnya bertugas di lembaga pendidikan formal. Tugas pagi sebagai profesi utama sementara untuk sore di MDT sebagai kegiatan tambahan. Hal ini yang menurut pemerintah bisa terjadi doubel akun ketika berhubungan dengan anggaran atau insentif. Sehingga status guru MDT sebagai profesi tambahan.
Tentang insentif menjadi kebijakan daerah baik propinsi atau kab/ kota dengan jumlah yang tidak sama (tidak ada standar secara nasional) tapi lebih mempertimbangkan PAD dan faktor politik lokal. Beberapa daerah yang memberikan insentif kepada guru Madin di Kota Tegal Rp 1.8 jt / guru setiap tahun , Kab Tegal Rp 1,7 juta / guru setiap tahun dan Kab Brebes Rp 600.000/.guru setiap tahun, Kota Pekalongan Rp 1,8 jt / guru per tahun dan beberapa Kab/Kota di Jawa Tengah termasuk Kota Semarang dan Kudus.
Di daerah atau provinsi lain seperti DKI Jakarta, Kab/Kota di Jawa Barat dan Banten guru MDT sudah mendapatkan tunjangan dengan angka yang variatif. Namun masih ada juga beberapa Kab/kota yang belum tersentuh oleh kebijakan daerah setempat.
Adapun untuk insentif dari APBN dalam hal ini Kementerian Agama melalui aplikasi SIKAP belum semuanya mengakomodir jumlah guru MDT se Indonesia. Namun demikian persebarannya di Kab/Kota dengan nominal Rp 3 jt per Guru / tahun sebagian sudah mewakili guru MDT.
Keempat, regulasi tingkat daerah dalam bentuk Perda yang belum diterapkan di seluruh daerah. Sehingga kebijakan anggaran yang berpihak kepada Guru MDT tidak semuanya sama. Pemerintah daerah dalam menentukan kebijakan anggaran tentu berlandaskan pada aspek yuridis (Perda dan ketentuan lainya)
Kelima, para pengambil kebijakan di tingkat propinsi dan Kab/Kota belum semuamya memahami tentang MDT. Pengetahuan dan pemahaman tentang MDT belum semuanya utuh (komprehensif). Sehingga kadang muncul tafsir yang berbeda dengan hakekat sebenarnya MDT yang seluruhnya dikelola oleh masyarakat mandiri.
Minimnya pemahaman tersebut bisa karena faktor keterbatasan literasi tentang MDT. Karena selama ini banyak yang kita temukan literasi tentang pesantren dan pendidikan umum (formal). Sementara pembahasan ilmiah tengah MDT masih sangat sedikit.
Oleh karena itu peran FKDT untuk memberikan pemahaman dengan kecerdasan komunikasinya sangat dibutuhkan. Dengan komunikasi baik formal maupun informal maka lambat laun kebijakan daerah akan menyentuh guru MDT khususnya bagi yang belum terjangkau oleh anggaran daerah.
Untuk mengakhiri persimpangan yang menempatkan MDT pada posisi pinggir jalan dalam kebijakan pemerintah, maka sudah saatnya pergerakan penguatan regulasi MDT di tingkat nasional kita suarakan. Meyuarakan kepentingan MDT secara nasional di perlukan perwakilan di Senayan (legislatif) yang berpihak dan memahami MDT. ***