Tradisi

Raffi Ahmad Hingga Pejabat Publik dan Tokoh Nasional Hadiri Haul ke-12 Gus Dur

Jakarta (Aswajanews.id) – Peringatan haul ke-12 Presiden ke-4 RI, KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur digelar oleh pihak keluarga dan turut dimeriahkan oleh sejumlah tokoh nasional pada hari ini, Kamis (30/12/2021) malam.

Dalam akun Twitter resminya, putri sulung Gus Dur, Alissa Qotrunnada Wahid, mengabarkan penyelenggaraan haul Gus Dur terbuka untuk umum secara daring. “Saudara-saudari sebangsa, Monggo saya aturi rawuh dalam acara #HaulGusDur2021 yang akan digelar secara online,” kata Alissa dalam akun Twitternya @AlissaWahid yang dikutip Kamis (30/12).

Alissa Qotrunnada Wahid, mengabarkan bahwa penyelenggaraan haul ke-12 ayahnya terbuka untuk umum, dan digelar di empat titik yaitu di kediaman Gus Dur di Ciganjur, Jakarta Selatan; PP Tebuireng, Jombang Jawa Timur; Kedutaan besar Indonesia di Jerman; dan Peace Village Yogyakarta.

Sementara Ketua Panitia Penyelenggara Haul Gusdur ke-12 Zannuba Ariffah Chafsoh atau Yenny Wahid mengatakan, Peringatan Haul Gus Dur kali ini meski dalam situasi pandemi namun tidak mengurangi khidmad nya acara yang digelar di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang Jawa Timur. Haul dihadiri sejumlah Duta Besar, Tokoh Nasional, Pemuka Agama, Sahabat Gus Dur, Seniman Nusantara, Ketua PBNU KH. Yahya Cholil Staquf, Eric Tohir, KH. Imam Hambali, Abah Topan, Lukman Hakim Saepudin (mantan Menteri Agama), Wakil Bupati Bandung Sahrul Gunawan, Najwa Shihab, Raffi Ahmad, Emil Dardak, Juragan 11 Indosiar dan masih banyak yang lainnya.

Masyarakat yang hendak berpartisipasi dalam Haul Gus Dur dapat mengakses melalui kanal media sosial resmi milik NU atau Wahid Foundation. Diketahui, Gus Dur meninggal dunia pada 30 Desember 2009 lalu di Jakarta pada umur 69 tahun. Gus Dur sempat menjabat sebagai Presiden Indonesia pada 1999-2001.

Napak Tilas Pendidikan Gus Dur dari Jawa hingga Eropa

Haul Gus Dur jatuh pada tanggal 30 Desember setiap tahunnya. Abdurrahman Wahid, begitu namanya, merupakan Presiden Republik Indonesia ke-4 periode 1999-2001. Setelah kepergiannya, Gus Dur masih menjadi sosok yang dihormati dan dikagumi berbagai kalangan, khususnya di kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Sebab, pencapaiannya sebagai bapak pluralisme dan presiden memberi banyak dampak bagi Indonesia.

Di samping itu, Gus Dur merupakan sosok yang tidak lelah menuntut ilmu. Seperti apa jejak pendidikan Gus Dur semasa kecil hingga dewasa? Napak tilas pendidikan Gus Dur

Menolak SD Elit

Gus Dur kecil memulai pendidikan dasar di SD KRIS, Jakarta Pusat. Setelah mengikuti pelajaran di kelas tiga dan empat, ia pindah ke SD Matraman Perwari dekat rumah.

Gus Dur tidak pernah sekolah di sekolah elit yang biasanya dimasuki anak-anak pejabat pemerintah seperti ayahnya saat itu Menteri Agama. Meskipun sudah ditawari, Gus Dur menolak dan menganggap sekolah elit membuatnya tidak betah, seperti dikutip dari Biografi Gus Dur oleh Greg Berton dan Lie Hua.

Perpustakaan di rumah

Wahid Hasyim membuatkan perpustakaan besar untuk Gus Dur kecil dan saudara-saudaranya agar tumbuh dengan cakrawala pikiran dan pengetahuan luas. Di sana, Gus Dur kerap membaca buku, majalah, dan koran.

Sang ayah juga menyediakan surat kabar yang diterbitkan orang Katolik dan orang-orang nonmuslim lainnya. Gus Dur dan saudara-saudaranya dianjurkan membaca apapun yang ia suka, lalu membicarakan ide-ide yang ditemukan lewat bacaan.

Meninggalkan Rumah Saat SMP

Pada 1954, Gus Dur tidak naik kelas satu di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP). Gus Dur kecil saat itu lebih memilih menonton sepak bola dan membaca buku ketimbang cramming belajar. Kendati menolak anggapan ini, orang-orang berpendapat, distraksi tersebut diduga karena kesedihannya setelah sang ayah wafat saat ia berusia 12 tahun.

Setelah tidak naik kelas, Gus Dur dikirim ke Yogyakarta untuk melanjutkan SMP. Ia tinggal di rumah teman ayahnya, Kiai Junaidi, ulama gerakan Muhammadiyah.

Belajar Bahasa

Untuk melengkapi pendidikannya, jadwal sekolah Gus Dur diatur agar dapat belajar di Pesantren A-Munawwir di Krapyak, dekat Yogyakarta, tiga kali seminggu. Ia belajar bahasa Arab di pesantren itu dengan K.H. Ali Ma’shum.

Sebelumnya di Jakarta, Gus Dur sudah dapat berbahasa Arab pasif, menguasai bahasa Inggris, dan membaca tulisan dalam bahasa Prancis dan Belanda. Dengan bantuan tambahan buku-buku bekas di Yogyakarta, kecakapan bahasanya berkembang.

Pendidikan Pesantren

Gus Dur masuk pesantren secara penuh di Pesantren Tegalrejo, Magelang setelah lulus SMEP di Yogyakarta pada 1957-1959. Di bawah asuhan Kiai Khudori, ia lulus pendidikan 2 tahun saja dari umumnya 4 tahun, kendati banyak menghabiskan waktu di luar kelas dengan membaca buku-buku Barat. Puluhan tahun kemudian, lemari buku Gus Dur jadi peninggalan kebanggaan penduduk setempat.

Menjadi Guru

Gus Dur pindah ke pesantren Tambakberas, Jombang pada 1959-1663. Dengan dorongan Kiai Bisri Syansuri, ia didorong untuk mengajar. Ia pun mulai mengajar di madrasah modern milik pesantren sebagai guru dan kepala sekolah.

Kecewa Kuliah di Al Azhar Kairo

Gus Dur mengenyam pendidikan tinggi pertama dengan beasiswa di Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir. Dengan predikat sebagai kota tujuan menuntut ilmu bagi muslim Indonesia pada 1960-an, Gus Dur semula sangat semangat untuk kuliah. Namun sesampainya di Al Azhar, ia harus mengikuti kelas pemula bahasa Arab karena tidak punya ijazah bahasa. Padahal, ia punya sertifikat yang menunjukkan lulus studi yurisprudensi Islam, teologi, dan pokok pelajaran lain yang butuh dasar bahasa Arab sangat baik.

Alih-alih masuk kelas, Gus Dur lebih banyak memilih menonton pertandingan sepak bola yang ramai digelar di Kairo, membaca di perpustakaan besar Amerika di Kairo, menonton film Prancis, dan ikut diskusi di berbagai kedai kopi. Kendati demikian, Gus Dur yang sudah menguasai bahasa Arab dapat lulus ujian dan masuk Institut Studi Islam dan Bahasa Arab.

Namun, ia makin kecewa karena di samping menunggu setahun untuk kuliah S1, kelas kuliah mengajarkan teks klasik yang sudah ia baca di Jombang dan Magelang sebagai kitab kuning. Di samping itu, pendekatan menghafal ketimbang analisis yang diterapkan di perkuliahan membuatnya bosan. Gus Dur pun melamar dan diterima sebagai pegawai tetap di kedutaan besar Indonesia di sana.

Pemeriksaan keterlibatan mahasiswa dengan komunis saat Gerakan 30 September membuat Gus Dur juga tertimpa pekerjaan ini di kedutaan besar. Tekanan pelajaran dan kerja membuat Gus Dur terancam kehilangan beasiswa, sehingga ia tidak lanjut kuliah di Al Azhar.

Kuliah di Irak hingga Eropa

Gus Dur lalu mendapat beasiswa kuliah lagi pada 1966 di Universitas Baghdad. Sambil kuliah, ia aktif di Asosiasi Pelajar Indonesia. Kecewa pendidikannya di Universitas Baghdad di 1970 kurang diakui, Gus Dur lanjut kuliah di Universitas Leiden, Belanda. Pendidikannya berlanjut hingga ke Jerman dan Prancis.

Saat pulang ke Indonesia pada 1971, ia semula ingin lanjut kuliah di Universitas McGill, Kanada. Namun, ia lalu bergabung ke Lembaga Penelitian, Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES), organisasi kaum intelektual muslim progresif dan sosial demokrat.

Gus Dur juga menyempatkan diri menjadi guru di Pesantren Tambakberas dan guru kitab Al-Hikam. Kelak pada 1977, Gus Dur bergabung sebagai dekan Fakultas Praktik dan Kepercayaan Islam di Universitas Hasyim Asy’ari. Di sana, ia juga mengajar syariat Islam dan misiologi.

Nah, itu dia lika-liku jalan pendidikan Gus Dur yang mungkin kamu belum tahu. ***