Perayaan Tahun Baru telah menjadi tradisi yang melekat di tengah -tengah masyarakat, baik di negara Barat maupun Timur, termasuk juga di Indonesia. Perayaan Tahun Baru telah menjadi tradisi momen yang dirayakan oleh berbagai lapisan masyarakat di seluruh dunia, pun termasuk umat Islam. Merayakan tahun baru telah menjadi hal umum di berbagai kalangan, termasuk di tengah masyarakat Muslim. Namun, hal ini juga menjadi bahan diskusi di kalangan ulama. perayaan ini sering menjadi topik diskusi karena adanya berbagai aspek budaya, agama, dan syariat yang terlibat. Para Ulama memiliki pandangan yang berbeda terkait hukum perayaan tahun baru, tergantung pada perspektif syariat dan konteks sosial.
Dengan demikian muncul lah suatu pertanyaan dalam diri kita, Apakah kita selama ini merayakan tahun baru suatu hal yang keliru dalam Islam? Atau apakah merayakan tahun baru telah melanggar Syariat Islam? Apakah perayaan ini dapat dibenarkan dalam Islam, atau justru harus dihindari?
Nah sobat hukum, penulis akan menguraikan berbagai Bagaimana pandangan para ulama tentang perayaan Tahun Baru. Berikut adalah penjelasan dari berbagai ulama mengenai perayaan tahun baru.
Pandangan yang Membolehkan dengan Syarat
Sebagian ulama berpendapat bahwa perayaan Tahun Baru adalah mubah (diperbolehkan) selama tidak bertentangan dengan syariat Islam. Mereka melihat perayaan ini sebagai tradisi sosial yang bersifat netral, bukan bagian dari ritual keagamaan tertentu.
Salah satu ulama yang mendukung pandangan ini adalah Syekh Yusuf al-Qaradawi. Dalam salah satu fatwanya, beliau menyatakan bahwa umat Islam boleh ikut merayakan momen pergantian tahun asalkan dilakukan dengan cara yang tidak melanggar nilai-nilai Islam. Beliau menekankan pentingnya menjauhi kemaksiatan, seperti pesta minuman keras, musik yang berlebihan, atau perbuatan sia-sia lainnya. Al-Qaradawi juga menekankan agar umat Islam memanfaatkan momen Tahun Baru untuk introspeksi dan memperbarui niat dalam meningkatkan amal kebaikan.
Kemudian salah satu ulama yang juga mendukung pandangan ini adalah Imam Ibn Muflih. Dalam kitab Al-Adab Al-Syar’iyyah, Imam Ibn Muflih menyebutkan bahwa merayakan tahun baru diperbolehkan jika tidak mengandung unsur dosa atau melanggar syariat.
Para ulama yang mendukung pandangan ini juga sering menekankan pentingnya melihat perayaan Tahun Baru dari sudut pandang budaya. Mereka menilai bahwa selama sebuah tradisi tidak memiliki unsur kemusyrikan atau bertentangan dengan akidah Islam, tradisi tersebut dapat diterima. Dalam hal ini, perayaan Tahun Baru dapat dianggap sebagai bentuk ekspresi budaya yang bersifat universal.
Pandangan yang Melarang
Di sisi lain, terdapat juga ulama yang memandang bahwa perayaan Tahun Baru tidak sejalan dengan nilai-nilai Islam. Mereka menganggapnya sebagai bentuk tasyabbuh (meniru) tradisi non-Islam, yang dilarang dalam syariat.
Ibnu Taimiyah seorang ulama besar dalam sejarah Islam, dikenal dengan pendiriannya yang tegas terhadap tasyabbuh. Dalam bukunya Iqtidha’ al-Sirat al-Mustaqim, beliau menyatakan bahwa umat Islam seharusnya menjauhkan diri dari tradisi-tradisi yang berasal dari luar Islam, terutama jika tradisi tersebut memiliki akar dalam kepercayaan atau budaya yang tidak Islami. Menurutnya, perayaan Tahun Baru merupakan tradisi yang memiliki kaitan dengan perayaan keagamaan masyarakat non-Muslim, sehingga tidak sepatutnya diikuti oleh umat Islam.
Adapun dalil yang digunakan yaitu Hadits Riwayat Abu Dawud dan Ahmad “Barang siapa menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.”
Menurut Ibnu Taimiyah, perayaan Tahun Baru, terutama yang berasal dari budaya Barat atau non-Islam, tidak sesuai dengan prinsip menjaga identitas keislaman.
Pendapat yang senada juga disampaikan oleh para ulama Salafi kontemporer. Seperti Syekh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin dan Syekh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz. Mereka menegaskan bahwa umat Islam harus memprioritaskan identitas keislaman dan menjauhkan diri dari perayaan-perayaan yang tidak memiliki dasar dalam syariat. Mereka mengingatkan umat untuk lebih mengutamakan perayaan-perayaan Islam, seperti tahun baru Hijriyah, yang memiliki nilai spiritual dan sejarah dalam Islam.
Pendekatan Tengah: Mengedepankan Kebijaksanaan
Selain pandangan yang membolehkan dan melarang, terdapat juga ulama yang mengambil pendekatan tengah. Mereka berpendapat bahwa perayaan Tahun Baru tidak bisa dinilai secara hitam putih, tetapi harus dilihat berdasarkan konteksnya.
Salah ulama yang mengambil pendekatan tengah ini adalah Syekh Muhammad Abduh. Syekh Muhammad Abduh merupakan seorang tokoh pembaru Islam, pernah menyatakan bahwa Islam tidak menolak tradisi selama tradisi tersebut tidak bertentangan dengan prinsip dasar agama. Dalam konteks perayaan Tahun Baru, beliau berpendapat bahwa yang terpenting adalah niat dan cara pelaksanaannya. Jika perayaan ini digunakan untuk mempererat hubungan sosial atau introspeksi, maka hal tersebut dapat bernilai positif. Namun, jika perayaan ini mengarah pada kemaksiatan atau pemborosan, maka sebaiknya dihindari.
Fatwa Ulama Indonesia di Indonesia, Majelis Ulama Indonesia (MUI) tidak mengeluarkan fatwa resmi yang melarang atau membolehkan perayaan Tahun Baru. Namun, beberapa tokoh MUI menekankan pentingnya umat Islam menjaga akhlak dan menghindari hal-hal yang bertentangan dengan syariat selama perayaan tersebut. Umat Islam juga dianjurkan untuk memanfaatkan momen ini dengan kegiatan positif, seperti muhasabah, doa bersama, atau kajian keislaman.
Dari berbagai pandangan ulama di atas, dapat disimpulkan bahwa perayaan Tahun Baru memiliki berbagai sudut pandang dalam Islam. Perbedaan pendapat ini mencerminkan kekayaan khazanah pemikiran Islam yang memberikan ruang bagi umat untuk memilih berdasarkan keyakinan dan situasi mereka masing-masing. Yang terpenting, umat Islam diharapkan untuk tetap menjadikan syariat sebagai pedoman utama dalam merayakan tradisi apa pun. Jika perayaan Tahun Baru dijadikan sebagai momen untuk introspeksi, memperbaiki diri, dan meningkatkan hubungan dengan Allah SWT, maka hal itu dapat bernilai positif. Sebaliknya, jika perayaan ini dilakukan dengan cara yang melanggar syariat, maka sebaiknya dihindari.
Sebagai umat Islam, kita juga diingatkan untuk tidak melupakan identitas keislaman dan tetap memprioritaskan perayaan-perayaan yang memiliki makna spiritual, seperti tahun baru Hijriyah. Dengan cara ini, perayaan Tahun Baru dapat menjadi momen yang bermakna tanpa mengabaikan nilai-nilai agama.
Pada akhirnya, pandangan ulama tentang perayaan Tahun Baru menunjukkan pentingnya bersikap bijak dalam menyikapi tradisi dan budaya. Islam adalah agama yang fleksibel, tetapi tetap memiliki prinsip-prinsip yang harus dijaga. Oleh karena itu, perayaan Tahun Baru tidak hanya menjadi sebuah seremoni, tetapi juga momen yang dapat dimaknai lebih mendalam sesuai dengan ajaran Islam. Mari kita jadikan momen pergantian tahun sebagai waktu untuk memperkuat iman, memperbaiki diri, dan memberikan manfaat bagi orang lain. ***