Kitab kuning, sebagai salah satu kitab turats dalam dunia Islam di Indonesia, isinya beraneka ragam. Di dalamnya terkandung berbagai pengetahuan, mulai dari cara baca tulisan Arab, gramatika (Nahwu-Sharaf), teori hukum Islam (Usul Fiqh), sastra Arab (balagah), hingga apa yang sudah ada dalam praktik pemahaman teks dan konteks di dunia Islam, seperti tafsir, hadis, hingga tarikh (sejarah Islam). Kekayaan pengetahuan yang ada dalam kitab kuning tersebut ibarat tumpukan bebatuan kuno, yang siap dibongkar sesuai kebutuhan.
Kitab kuning, sebagai bagian dari khazanah berbahasa Arab, Turats Islam, mempunyai beberapa jenis. Pertama, teks awal atau yang biasa disebut matan. Kedua, syarah atau penjelas atau komentar dari kitab teks awal. Ketiga, komentar atas komentar yang disebut dengan hasyiyah. Seringkali ketiga jenis turats ini terdapat dalam satu kitab kuning. Untuk melakukan rekontekstualisasi atas kitab kuning ini, tulisan ini mencoba mengungkap sedikit melalui bidang lomba pada kitab tauhid.
Untuk memulai rekontekstualisasi, interpretasi makna atas isi kekayaan pengetahuan kitab kuning, khususnya yang dilombakan pada Musabaqah Qiraatil Kitab Nasional (MQKN), penulis mencoba dengan melakukan pembacaan, penerjemahan, dan pemahaman teks yang benar dan konteks yang relevan. Disadari atau tidak, hal itu menjadi bagian dari memaknai kerukunan atas pengetahuan santri.
Maksudnya apa? Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kerukunan diartikan sebagai perihal hidup rukun, rasa rukun; kesepakatan. Dengan pembacaan, penerjemahan, dan pemahaman dari bahasa Arab ke bahasa Indonesia yang baik dan benar, tentu saja dapat dimaknai bahwa seorang santri dapat hidup dengan benar lalu rukun, sesuai dengan kesepakatan sosial berbasis ilmu pengetahuan. Ketepatan membaca, menerjemah dan memahami teks ke dalam realitas sosial harus dilakukan seorang santri agar dapat hidup rukun. Jika seorang santri salah membaca, menerjemah, dan memahami dari teks terhadap realitas sosial, dimungkinkan terjadi gejolak di tengah masyarakat. Lomba kitab kuning tingkat nasional ini semacam laboratorium para santri sebelum terjun ke dalam dunia nyata dan global.
Pembagian tingkatan dalam lomba MQKN, juga dapat dimaknai bahwa kitab-kitab kuning di pesantren itu tidak serta merta dapat dibaca, dipahami oleh semua santri dalam pendidikan pesantren. Sebab, isi kitab kuning juga disesuaikan dengan pengetahuan para santri, dan pemahamannya. Kenyataan ini, seringkali dianggap pendidikan pesantren terlalu lambat, kurang dapat dirasakan hasilnya secara langsung. Padahal tahapan-tahapan ini merupakan cerminan dari sanad keilmuan dan tingkatan penguasaan pengetahuan.
Hal lainnya lagi, perlu juga diperhatikan secara teknis, pada musabaqah (perlombaan) kitab kuning melalui MQKN ini, para santri akan membacakan beberapa halaman atau baris dari kitab tertentu (maqra’) sesuai nomor undian atau keberuntungan atau nasib dari perolehan maqra’ tersebut. Jika seorang santri memperoleh maqra’ yang biasa dibaca atau pernah dibaca, alias bukan sesuatu yang baru, maka tidak akan mengalami kesulitan bacaan atau pertanyaan kontekstualisasi teks. Berbeda jika maqra’ yang diperoleh itu belum pernah dibaca, maka kembali pada keahlian dari seorang santri pada penguasaan gramatika (tata bahasa) dan alih bahasa/terjemahan (mufradat). Dalam konteks lomba, tentu saja hal itu menjadi tantangan tersendiri, sekaligus ilmu pengetahuan baru.
Di atas semuanya, lantas, bagaimana memaknai lomba kitab kuning dalam konteks rekontekstualisasi turats atau kitab kuning untuk peradaban dan kerukunan Indonesia? Ambil salah satu kitab aqidah, tauhid (teologi Islam) misalnya.
Pada marhalah ula, kitab yang dilombakan ‘Aqidatul Awwam, karya Syaikh Ahmad Marzuki al-Maliki. Kitab ini berbentuk nadham (puitis), kurang lebih 56 bait jumlahnya. Isinya terkait dengan sifat 20 wajib, 20 mustahil dan ja’iz Allah Swt. Jumlah dan nama 25 Nabi Allah Swt yang wajib diyakini, serta 10 nama Malaikat yang wajib diimani. Di bagian akhir juga dijelaskan sejarah ringkas Nabi Akhir zaman, Rasulullah Muhammad Saw. termasuk istri dan anak-anaknya. Penjalasan tauhid demikian, tentu memudahkan bagi anak-anak, karena nadham ini sering disampaikan dengan lagu-lagu yang menarik.
Pada marhalah wustho, nama kitabnya, Risalah Ahlus Sunnah Wal jama’ah, karya Hadlratusy Syaikh Hasyim Asy’ari, muassis NU dari PP Tebuireng Jombang. Sebagai produk ulama Indonesia, tentu saja kitab ini kait kelindan dengan tradisi yang berkembang di masyarakatnya, seperti silang pendapat terkait bid’ah dan sunnah. Terkait sunnah sudah jelas, untuk ini tulisan pendek ini hanya mengupas sedikit tentang bid’ah saja.
Mengutip Imam Ibnu Abd as-Salam, bid’ah itu terbagi dalam beberapa kategori. Pertama, bid’ah wajibah (mempelajari ilmu nahwu belum ada pada masa Rasulullah Saw. tetapi untuk kebutuhan ilmu, maka wajib dipelajari dan itu boleh). Jensi bid’ah lainnya adalah muharramah, mandubah, makruhah, dan bid’ah mubahah (bersalaman usai shalat maktubah). Dengan penjelasan ringkas dan apa adanya itu, Mbah Hasyim dapat memberikan penjelasan yang mudah dicerna bagi orang Islam Indonesia untuk memahami praktik keislaman yang sudah berjalan selama ini dan tetap dalam koridor Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Terakhir, pada marhalah Ulya, titel kitabnya Syarh Umm al-Barahain, karya Imam Abi ‘Abd Allah Muhammad bin Yusuf al-Husain al-Husaini al-Sanusi al-Asy’ari. Kitab ini masih tergolong tipis juga, bentuknya prosa, dengan penjelasan cukup singkat dari teks aslinya. Misalnya ketika menjelaskan sifat 20 wajib bagi Allah, terdapat penekanan yang sudah mulai menggunakan mantiq (logika) atau rasionalitas. contoh sifat al-‘ilm. Disebutkan dalam teks bahwa ilmu itu terkait dengan semua hal yang wajib, jaiz dan mustahil. Lalu, syarah (penjelasannya) bahwa dengan sifat ilmu ini, Allah Swt. akan mengetahui segala hal yang dirasa tidak mungkin manusia sendiri tahu.
Dengan demikian, lomba kitab kuning ini, disadari atau tidak, jika memperolah maqra’ yang ditentukan, seperti kitab-kitab tauhid sesuai jenjangnya dapat memberikan pemahaman santri untuk dapat bersikap toleran, menanamkan kerukunan bagi bangsa Indonesia. Terjadinya perbedaan-perbedaan pandangan, apalagi jika sudah tingkatan Ulya yang sudah menggunakan nalar dan rasionalitas, maka insya Allah, santri akan lebih memahami konteks dari teks yang dibacanya. Karena itu, rekontekstualisasi turas untuk peradaban dan kerukunan Indonesia sebagai tema MQKN tahun 2023 insya Allah dapat sesuai target dan sasarannya. Wallahu a’lam. (*)