Opini

Mengapa Usulan Soeharto Sebagai Pahlawan Nasional Ditolak di Mana-Mana?

62

Oleh: Bernard Simamora
Wacana pengangkatan Presiden Soeharto sebagai Pahlawan Nasional kembali mencuat ke ruang publik, seperti hantu masa lalu yang enggan pergi. Setiap kali isu ini dimunculkan, respons masyarakat tidak pernah tenang: gelombang penolakan datang dari aktivis, akademisi, korban pelanggaran HAM, hingga generasi reformasi. Pertanyaannya sederhana namun tajam: layakkah Soeharto diberi gelar Pahlawan Nasional?

Jawaban dari berbagai penjuru Indonesia tampaknya konsisten: tidak.

Jejak Berdarah dan Luka yang Belum Pulih

Tak dapat dimungkiri, Soeharto adalah pemimpin yang memegang kekuasaan terlama dalam sejarah Republik ini. Ia menegakkan Orde Baru dengan janji stabilitas dan pembangunan. Namun, stabilitas itu dibangun di atas tumpukan jenazah sejarah yang tak pernah diadili secara tuntas.

Tragedi pembantaian massal 1965–1966 yang menewaskan 3 jutaan orang orang, penculikan dan penghilangan paksa aktivis 1997–1998, serta berbagai kasus pelanggaran HAM berat seperti Tanjung Priok dan Talangsari adalah bagian tak terpisahkan dari narasi kekuasaannya. Korban dan keluarganya masih hidup—masih menanti keadilan yang tak kunjung datang.

Rezim Otoriter dan Korupsi Sistemik

Soeharto bukan sekadar tokoh militer yang menjabat sebagai presiden. Ia adalah simbol rezim otoriter. Di bawah pemerintahannya, pers dibungkam, oposisi dilumpuhkan, dan demokrasi dikooptasi melalui sistem “Demokrasi Pancasila” yang dikendalikan militer. Kekuatan sipil hanya menjadi pelengkap.

Lebih dari itu, Soeharto dianggap tokoh sentral dari praktik Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) yang merajalela. Transparency International pada tahun 2004 menyebut Soeharto sebagai koruptor terbesar dunia, dengan dugaan penggelapan dana negara hingga puluhan miliar dolar AS. Sebagian besar kekayaan tersebut mengalir ke yayasan-yayasan milik keluarga dan kroni, bukan untuk rakyat.

Bagaimana mungkin bangsa ini memberikan penghargaan tertinggi kepada tokoh yang bertanggung jawab atas kerusakan moral dan ekonomi institusional semacam itu?

Pahlawan Nasional Adalah Simbol Moralitas

Menurut Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009, seorang Pahlawan Nasional harus memiliki integritas moral, tidak tercela, dan berdampak positif bagi perjuangan bangsa. Pertanyaannya: apakah Soeharto memenuhi kriteria itu?

Jika pahlawan nasional dimaknai sebagai panutan moral dan simbol keadilan, maka pengangkatan Soeharto akan menjadi paradoks sejarah. Ia mungkin berjasa membangun jalan dan irigasi, tetapi sejarah bangsa tidak bisa diukur dengan panjangnya aspal saja.

Luka Sosial yang Belum Sembuh

Penolakan terhadap gelar ini tidak hanya datang dari aktivis atau akademisi, tetapi juga dari kalangan korban dan keluarga korban pelanggaran HAM. Bagi mereka, usulan ini adalah penghinaan atas luka lama yang belum ditambal. Ini bukan sekadar soal politik, tetapi soal hati nurani.

Penghargaan terhadap pahlawan bukan hanya soal jasa, tapi juga tentang simbol pemersatu bangsa. Jika tokoh yang diajukan justru membelah masyarakat menjadi dua kubu ekstrem—antara pengagum fanatik dan korban yang masih menjerit—maka jelas, belum saatnya bicara soal gelar kehormatan.

Kesimpulan: Sejarah Tidak Bisa Didekorasi

Soeharto adalah bagian dari sejarah bangsa, tapi bukan semua bagian dari sejarah layak diabadikan sebagai simbol kebanggaan nasional. Kita bisa mempelajarinya, mengevaluasinya, bahkan mengakui peran-perannya dalam pembangunan. Tapi menjadikannya pahlawan?

Itu soal lain.

Pahlawan sejati bukan hanya yang berjasa besar, tetapi yang berani menanggung akibat moral dan hukum dari perbuatannya. Hingga hari ini, Soeharto tidak pernah mempertanggungjawabkan segala bentuk kekerasan dan korupsi di bawah pemerintahannya. Maka publik berhak berkata: tidak, bukan sekarang—dan mungkin, tidak pernah.

Bernard Simamora, S.Si., S.IP., S.H., M.H., M.M. ; seorang advokat, pegiat pendidikan dan aktivis di berbagai organisasi

https://aswajanews.id/wp-content/uploads/2025/04/muakhi-313.jpg