Beranda Kajian Ketekunan Mengalahkan Kebodohan: Studi Kasus Al-Muzani dalam Tradisi Ilmiah Islam

Ketekunan Mengalahkan Kebodohan: Studi Kasus Al-Muzani dalam Tradisi Ilmiah Islam

132
Oleh: A Miftahussalam

Dalam sejarah intelektual Islam, ketekunan seringkali menjadi faktor penentu utama dalam keberhasilan seseorang menapaki jalan ilmu. Kisah Al-Muzani—murid terkemuka Imam Syafi‘i—merupakan bukti nyata bahwa kemampuan intelektual bukanlah satu-satunya kunci keberhasilan dalam menuntut ilmu. Justru, istiqamah dan komitmen yang konsisten terhadap belajar dan mengkaji dapat melampaui keterbatasan bawaan, bahkan mengalahkan apa yang disebut sebagai “kebodohan.”.

Al-Muzani dikenal di awal sebagai murid yang lamban memahami ilmu. Namun, Imam Syafi‘i melihat potensi besar dalam ketekunannya. Beliau berkata:

“كنت بليدًا، فخرجتك المواظبة”
“Dulu engkau lamban, tetapi ketekunanlah yang membuatmu berkembang.”
Pernyataan ini mengandung pesan penting bahwa prestasi intelektual bukanlah takdir yang statis, melainkan proses dinamis yang ditentukan oleh daya juang seseorang.
Lebih lanjut, Al-Muzani tidak berhenti pada kemampuan menyerap ilmu. Ia mengambil langkah sistematis untuk meringkas, menyusun ulang, dan menyederhanakan ajaran-ajaran gurunya. Ia menyusun kitab Al-Jami‘ Al-Kabir, lalu meringkasnya menjadi Al-Mukhtashar, dan bahkan memperluasnya kembali dalam bentuk kitab-kitab tematik. Proses ini menunjukkan kemampuan metodologis dalam berpikir sistematis dan kritis—kemampuan yang tidak bisa dicapai tanpa disiplin intelektual yang berkelanjutan.

Kitabnya yang paling terkenal adalah Al-Mukhtashar, ringkasan yang padat dan sistematis dari mazhab Syafi‘i. Syaikh Abu Zaid berkata:

“من تأمل في المختصر حق تأمله، تطلع على جميع الفروع والأصول…”
“Barangsiapa benar-benar merenungi Al-Mukhtashar, maka ia akan memahami seluruh cabang dan dasar ilmu fiqih.”
Ini menunjukkan bahwa ketekunan bukan hanya menghasilkan karya, tetapi juga melahirkan sistematika berpikir yang kokoh.

Senada dengan dawuh KH. Anwar Manshur—pengasuh Pondok Lirboyo—yakni:

“Santri iku kudu mempeng.”
Artinya: Santri itu harus tekun.

Kalimat ini tampak sederhana, namun menyimpan falsafah pendidikan pesantren yang sangat kuat: bahwa keberhasilan santri tidak ditentukan oleh kecerdasan semata, tetapi oleh ketekunan yang berkelanjutan, atau dalam bahasa Arab disebut muwdzabah (المواظبة) dan al-iltizam (الالتزام).

Keberkahan Ilmu karena Wara’ dan Keikhlasan

Menariknya, karya Al-Muzani bahkan lebih banyak diwarisi dan diajarkan daripada karya murid Imam Syafi‘i lainnya yang lebih banyak menulis. Para ulama menyebutkan bahwa keberkahan itu muncul karena sifat wara’ dan kefakiran Al-Muzani yang luar biasa:

“ولكن لكثرة ورع المزني، وفقره بارك الله تعالى في كتابه…”
“Namun karena besarnya wara’ dan kefakiran Al-Muzani, Allah memberkahi kitabnya.”

Ini menegaskan bahwa dalam tradisi Islam, kekuatan spiritual memiliki kontribusi penting terhadap keberkahan dan keberlangsungan ilmu.

Refleksi untuk Dunia Pendidikan Hari Ini

Kisah ini memberikan pelajaran yang dalam: bahwa siapa pun bisa mencapai puncak keilmuan asalkan memiliki tekad, disiplin, dan kesabaran. Bahkan yang “bodoh” sekalipun, jika bersungguh-sungguh, dapat menjadi rujukan ilmu hingga akhir zaman.

Ketekunan adalah cahaya yang menuntun akal yang lambat menuju pemahaman, dan hati yang tulus menuju keberkahan. Dalam istilah Arab klasik, al-ḥimmah taqlab al-qillah — semangat tinggi mampu mengalahkan kekurangan. ***


Eksplorasi konten lain dari aswajanews

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.