Ekonomi, Bisnis dan UMKM

Kebijakan Moneter di Tengah Ketidakpastian Global

Penulis; M. Luki Faturrakhman, Laila Fitria Nur Rahma, Ayu Lestari

Ketidakpastian global saat ini menjadi tantangan terbesar yang dihadapi oleh bank sentral di seluruh dunia. Gejolak ekonomi akibat konflik geopolitik, pandemi yang belum sepenuhnya usai, serta perubahan iklim yang semakin nyata telah menciptakan tekanan besar pada sistem keuangan internasional. Kebijakan moneter memainkan peran penting dalam menjaga stabilitas ekonomi dan melindungi kesejahteraan masyarakat.

Lonjakan inflasi menjadi salah satu tantangan utama yang harus dihadapi bank sentral yang dialami banyak negara. Kenaikan harga energi dan pangan, yang sebagian besar dipicu oleh konflik geopolitik, telah membantu daya beli masyarakat. Menurut laporan dari Bank Indonesia, inflasi di Indonesia tercatat sebesar 2,51% pada Juni 2024, dengan target inflasi yang ditetapkan dalam kisaran 2,5±1%. Namun, di banyak negara berkembang, inflasi diperkirakan tetap tinggi, dengan beberapa negara mencatat inflasi di atas 5%. Kebijakan ini memiliki konsekuensi serius, terutama bagi negara berkembang. Peningkatan suku bunga dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi sekaligus meningkatkan beban utang luar negeri. Bank Indonesia (BI) mempertahankan suku bunga acuan (BI Rate) pada 6% untuk menjaga stabilitas inflasi dan nilai tukar. Kenaikan suku bunga ini bertujuan untuk menarik aliran modal asing dan mengendalikan inflasi yang dipicu oleh masuknya harga energi dan pangan. Namun, langkah ini memiliki risiko, terutama bagi negara berkembang, karena dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan beban utang luar negeri. Kenaikan suku bunga yang berkelanjutan dapat menyebabkan penurunan investasi dan konsumsi, yang pada gilirannya dapat memperlambat pemulihan perekonomian pascapandemi.

Volatilitas nilai tukar mata uang juga menjadi perhatian utama dalam kebijakan moneter di tengah ketidakpastian global. Ketika mata uang negara-negara berkembang melemah terhadap dolar AS, biaya impor menjadi lebih tinggi, yang pada akhirnya memperburuk inflasi domestik. Bank sentral dalam situasi ini sering kali melakukan intervensi di pasar valuta asing untuk menjaga stabilitas nilai tukar. Ketika mata uang negara-negara berkembang melemah terhadap dolar AS, biaya impor menjadi lebih tinggi, yang pada akhirnya memperparah inflasi domestik. Pada akhir Juli 2024, nilai tukar Rupiah menguat 0,52% dibandingkan dengan posisi akhir Juni 2024, meskipun masih melemah 5,48% dibandingkan akhir Desember 2023. Hal ini menunjukkan adanya tekanan dari nilai tukar yang dapat mempengaruhi biaya impor dan inflasi domestik. Namun, langkah ini harus ditempuh dengan hati-hati agar tidak menguras cadangan devisa, yang juga merupakan penopang utama stabilitas ekonomi.

Kebijakan intervensi di pasar valuta asing menjadi salah satu opsi yang dapat ditempuh. Bank Indonesia melakukan intervensi di pasar valuta asing untuk menjaga stabilitas nilai tukar Rupiah, termasuk melalui transaksi spot dan pembelian/penjualan Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder. Namun, langkah ini harus dilakukan dengan hati-hati untuk menghindari terkurasnya cadangan devisa. Intervensi yang tidak terencana dapat menciptakan lebih banyak pasar, sehingga mempengaruhi kepercayaan investor. Fleksibilitas dan adaptabilitas menjadi kunci dalam merumuskan kebijakan moneter yang efektif. Bank sentral perlu terus memantau data ekonomi terkini dan proyeksi jangka pendek untuk mengambil keputusan yang tepat. Transparansi dalam komunikasi kebijakan juga sangat penting untuk menjaga kepercayaan pasar. Apabila masyarakat dan pelaku ekonomi memahami arah kebijakan dengan baik, stabilitas akan lebih mudah terwujud. Transparansi juga berkontribusi dalam mengurangi spekulasi yang berpotensi memperburuk kondisi pasar keuangan.

Kerja sama internasional juga menjadi elemen penting dalam menghadapi ancaman global. Forum-forum seperti G20 dan IMF memberikan platform bagi negara-negara untuk berdiskusi dan merumuskan kebijakan bersama yang dapat memitigasi dampak krisis global. Pada saat ini, negara-negara berkembang perlunya bersuara lebih aktif agar kebijakan global juga mencerminkan kebutuhan mereka. Kerja sama dalam hal pertukaran informasi dan pengalaman dapat membantu negara-negara dalam merumuskan kebijakan yang lebih efektif dan responsif terhadap tantangan yang ada. Kerja sama ini tidak hanya mencakup aspek moneter, tetapi juga kebijakan fiskal dan strategi pembangunan ekonomi yang lebih luas.

Sinergi Kebijakan Fiskal dan Kebijakan Moneter tidak dapat bekerja sendirian. Keduanya  bersinergi untuk menciptakan pondasi ekonomi yang lebih kuat. Realisasi belanja negara Indonesia pada tahun 2024 mencapai Rp1.398 triliun, tumbuh 11,3% dibandingkan tahun sebelumnya yang mencakup program perlindungan sosial dan dukungan untuk proyek strategis nasional yang bertujuan untuk menjaga daya beli masyarakat dan mendorong pertumbuhan ekonomi. Investasi pada infrastruktur, teknologi, dan pendidikan dapat menjadi langkah jangka panjang untuk mengurangi kerentanan ekonomi terhadap guncangan global. Pemerintah berkomitmen untuk meningkatkan investasi di sektor-sektor prioritas, termasuk penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) yang mendukung pengelolaan kas dan investasi.

Kebijakan moneter di tengah global harus bersifat fleksibel dan adaptif, dengan mempertimbangkan data ekonomi terkini dan proyeksi masa depan. Sinergi antara kebijakan moneter dan fiskal, serta kerja sama internasional, akan menjadi kunci dalam menjaga stabilitas perekonomian dan mendukung pertumbuhan yang berkelanjutan. Dengan pendekatan yang terintegrasi, tantangan yang dihadapi dapat dikelola dengan lebih efektif, memastikan kesejahteraan masyarakat tetap terjaga di tengah gejolak global.

Era digital mendorong digitalisasi sistem keuangan yang menjadi salah satu solusi untuk meningkatkan efisiensi dan inklusivitas. Teknologi finansial dapat membantu memperluas akses masyarakat terhadap layanan keuangan, sekaligus meningkatkan transparansi dalam pengelolaan keuangan negara. Namun, adopsi teknologi ini harus diiringi dengan penguatan regulasi dan pengawasan untuk mengantisipasi risiko yang mungkin timbul, seperti keamanan data dan stabilitas sistem keuangan secara keseluruhan.

Kebijakan yang inklusif dan berorientasi pada kesejahteraan masyarakat akan menjadi kunci dalam menciptakan ketahanan ekonomi di tengah tantangan yang terus berkelanjutan. Bank sentral dan pemerintah harus bekerja sama untuk merumuskan kebijakan yang tidak hanya berfokus pada stabilitas jangka pendek, tetapi juga pada pembangunan jangka panjang yang berkelanjutan. Hanya dengan cara ini, kita dapat memastikan bahwa perekonomian global dapat pulih dan tumbuh meskipun di tengah pertahanan yang kompleks dan beragam. ***

(Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN K.H. Abdurrahman Wahid Pekalongan, GenBI Tegal)

www.youtube.com/@anas-aswaja