Kajian

Hubungan Manusia dengan Alam: Perspektif Prof. Dr. KH. Quraish Shihab

Prof. Dr. KH. Muhammad Quraish Shihab

Dalam pemikiran Islam, hubungan manusia dengan alam bukanlah hubungan yang terpisah atau berdiri sendiri, melainkan hubungan yang saling terkait dan harmonis. “Hablum minal alam” adalah ungkapan dalam bahasa Arab yang berarti “hubungan dengan alam” atau “hubungan dengan ciptaan-Nya.” Secara harfiah, “hablum” berarti “hubungan” atau “tali,” dan “minal alam” berarti “dari alam.” Dalam konteks agama atau filosofi, ungkapan ini bisa merujuk pada pentingnya menjaga hubungan yang baik dengan alam sebagai bagian dari tanggung jawab manusia terhadap ciptaan Tuhan.

Perspektif Quraish Shihab, seorang cendekiawan Muslim terkemuka Indonesia, memberikan pemahaman yang mendalam tentang pentingnya menjaga keseimbangan antara manusia dan alam semesta. Menurutnya, alam ini adalah ciptaan Allah SWT yang harus dihargai, dilindungi, dan dipergunakan dengan bijaksana oleh umat manusia. Dalam pandangannya, hubungan manusia dengan alam adalah bagian dari kewajiban untuk menjaga kelestarian bumi dan semua makhluk yang ada di dalamnya.

Prof. Quraish Shihab dalam karya-karyanya menekankan bahwa alam adalah bagian dari tanda-tanda kebesaran Allah (ayat-ayat kauniyah). Beliau menyebutkan dalam tafsirnya bahwa segala yang ada di alam semesta, mulai dari langit, bumi, hingga flora dan fauna, adalah bukti kekuasaan dan kebijaksanaan Tuhan yang patut disyukuri dan dijaga. Dalam bukunya yang berjudul “Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik atas Berbagai Persoalan Umat”, Quraish Shihab menulis bahwa Islam mengajarkan umatnya untuk melihat alam sebagai suatu amanah yang diberikan oleh Allah, yang harus dipelihara dengan penuh rasa tanggung jawab.

Dalam Al-Qur’an, Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman dalam Surah Al-Baqarah (2:164), yang artinya:

اِنَّ فِيْ خَلْقِ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضِ وَاخْتِلَافِ الَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَالْفُلْكِ الَّتِيْ تَجْرِيْ فِى الْبَحْرِ بِمَا يَنْفَعُ النَّاسَ وَمَآ اَنْزَلَ اللّٰهُ مِنَ السَّمَاۤءِ مِنْ مَّاۤءٍ فَاَحْيَا بِهِ الْاَرْضَ بَعْدَ مَوْتِهَا وَبَثَّ فِيْهَا مِنْ كُلِّ دَاۤبَّةٍۖ وَّتَصْرِيْفِ الرِّيٰحِ وَالسَّحَابِ الْمُسَخَّرِ بَيْنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ لَاٰيٰتٍ لِّقَوْمٍ يَّعْقِلُوْنَ ۝١٦٤

“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, silih bergantinya malam dan siang, kapal yang berlayar di laut dengan membawa apa yang bermanfaat bagi manusia, apa yang diturunkan Allah dari langit berupa air, yang menghidupkan bumi setelah mati, dan segala jenis binatang yang tersebar di bumi, dan peredaran angin serta awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, benar-benar terdapat tanda-tanda kebesaran Allah bagi orang yang memahami.”

Ayat ini menggambarkan bahwa segala ciptaan di alam semesta memiliki tujuan dan manfaat yang tidak hanya untuk kebutuhan manusia, tetapi juga untuk menunjukkan kebesaran Tuhan.

Prof. Quraish Shihab mengajak umat Islam untuk tidak hanya melihat alam sebagai sumber daya yang bisa dimanfaatkan semata, tetapi juga sebagai bagian dari keberadaan yang memiliki hak untuk dilindungi. Oleh karena itu, pemanfaatan alam harus dilakukan dengan prinsip keadilan, keseimbangan, dan kelestarian. Dalam pemikirannya, segala bentuk eksploitasi yang merusak lingkungan dan menyebabkan kerusakan alam adalah tindakan yang bertentangan dengan ajaran Islam.

Prof. Quraish Shihab juga menekankan pentingnya kesadaran spiritual dalam menjaga alam. Dalam pandangannya, kerusakan lingkungan terjadi karena ketidakpedulian manusia terhadap amanah yang diberikan oleh Allah. Sebagai contoh, dalam buku “Islam, Kebudayaan, dan Peradaban”, beliau  menyatakan bahwa manusia harus memperlakukan alam dengan penuh rasa syukur dan tidak boleh menyalahgunakan nikmat yang diberikan oleh Tuhan. Keterhubungan antara manusia dengan alam seharusnya membawa pada rasa tanggung jawab untuk menjaga dan merawat bumi sebagai tempat tinggal bersama.

Terakhir, Islam juga menganjurkan agar manusia secara aktif mengolah tanah agar tetap subur sebab dengan demikian akan dapat menjaga keberlangsungan kehidupan manusia dan satwa lainnya sehingga manusia dapat mengambil banyak manfaat daripadanya. Disebutkan dalam hadits Nabi Muhammad SAW:

وقال صلى الله عليه وسلم من أحيا أرضا ميتة فيه أجر وما أكلت العافية منها فهو له صدقة

Rasulullah Shalallahu Alaihi Wasallam bersabda: Barangsiapa menghidupkan tanah yang mati, maka baginya pahala tanah itu. Dan segala apa yang dimakan makhluk dari tanamannya, maka itu merupakan sedekah (HR. Ahmad, 14271).

Pelajaran yang bisa kita dapatkan pada hadits tersebut memaparkan bahwa terdapat sebuah pahala yang akan terus mengalir ketika tanah mati tersbeut dipergunakan untuk kebaikan. Bernilai amal jariyah yang pahalanya akan terus mengalir walaupun orang yang melakukannya telah meninggal dunia. Dalam Islam, manusia hidup hanyalah untuk mencari pahala dari amal ibadahnya dan keridhaan Allah semata. Tidak untuk yang lain, sehingga orang-orang akan terus berlomba-lomba dalam kebaikan agar mendapatkan kehidupan yang layak kelak di akhirat.

Sumber Referensi:

  1. Shihab, Quraish. Wawasan Al-Qur’an: Tafsir Tematik atas Berbagai Persoalan Umat. Mizan, 2002.
  2. Shihab, Quraish. Islam, Kebudayaan, dan Peradaban. Mizan, 2004.

*Penulis; A’isy Hanif Firdaus, S.Ag. (Mahasiswa Pascasarjana Fakultas Agama Islam Universitas Wahid Hasyim Semarang)