Kajian

Baik dan Buruk dalam Prespektif Agama

Oleh : Akhmad Sururi (Alumni Lirboyo angkatan tahun 2000)

Pagi hari Minggu, 29 Desember 2024 kedatangan tamu seorang teman yang lama hidup di Semarang. Tidak terbayangkan dan terpikirkan akan kembali ke kampung halaman untuk melanjutkan kehidupan bersama dengan orang tua yang tinggal satu (Ibunya).  Itulah kehidupan, banyak misteri yang tidak terduga sebelumnya karena itu menjadi rahasia.

Terlepas hal tersebut ada sesuatu yang menarik saat obrolan di ruang tamu dengan tema spontan tentang kebaikan dan keburukan. Kedua kata tersebut merupakan kata yang berlawanan dan berkaitan dengan prilaku manusia di dunia. Hal tersebut karena manusia secara umum tidak bisa melepaskan dari perbuatan buruk, setidaknya pernah berbuat buruk atau jelek dalam hidupnya.

Dalam prespektif agama kebaikan dan keburukan bersumber dari Wahyu yang menjadi sandaran setiap muslim. Hal tersebut antara lain tesebut dalam Al Qur’an surat Asy-Syams ayat 7-10: “Demi jiwa dan apa yang menyempurnakannya, lalu Dia mengilhaminya tentang kejahatan (fujur) dan ketakwaan (taqwa), sungguh beruntunglah orang yang menyucikannya.” Sebagian Mufasir menegaskan bahwa jiwa manusia memiliki kemampuan (potensi) untuk memilih atau memahami perbuatan buruk (fujur) dan kebaikan (takwa). Disinilah Alloh memberikan perangkat akal untuk bisa membedakan antara baik dan benar. Perangkat tersebut tentu harus diisi Ilmu yang bersumber dari wahyu.

Melalui Wahyu itulah manusia bisa memahami baik dan buruk serta benar, dan salah. Oleh karena itu peran Wahyu (Qur’an) menunjukkan (Hudan) manusia kepada jalan kebaikan dan kebenaran. Tanpa kehadiran Wahyu yang dibawa oleh Utusan (Nabi Muhammad SAW), manusia akan sulit menemukan makna kebaikan dan kebenaran. Fungsi Wahyu sebagai petunjuk karena manusia memiliki potensi berbuat jelek sekaligus potensi berbuat baik. Oleh karena itu Wahyu sebagai sumber pengetahuan memberikan pemahaman kepada manusia mana yang baik dan mana yang buruk.

Menurut beberapa penelitian yang mengupas tentang kata khair dan syarr di dalam Al-Qur’an menyebutkan kata khair terdapat sebanyak 190 kali dalam 54 surah, sedangkan kata syarr terdapat sebanyak 31 kali dalam 22 surah. Dalam Al-Qur’an, kata khair dan syarr memiliki berbagai macam konteks dalam kehidupan manusia. Ini artinya bahwa pintu kebaikan lebih banyak dibandingkan dengan kejahatan atau kejelekan. Banyak kebaikan yang bisa kita lakukan di dunia ini dalam bentuk amal soleh baik yang berhubungan dengan Hablum mina Alloh atau sesama manusia.

Sementara itu kata “syarr” (54) dengan jumlah yang lebih sedikit dibandingkan dengan khoir    artinya  bentuk kejelekan dan kejahatan. Perkara manusia yang melakukan kejelekan lebih banyak kita belum menghitung secara pasti. Namun yang jelas banyak kebaikan sebagaimana bersumber dari wahyu yang bisa dilakukan oleh manusia.

Sehingga sangat masuk akan kalau penyembutan “Khoir” lebih banyak dibandingkan dengan “syarr.”

Sesungguhnya Allah banyak membuka peluang kebaikan untuk manusia yang berbuah pahala. Menyingkirkan duri di jalan merupakan kebaikan, membaca tasbih menjadi pahala, senyum juga merupakan kebaikan dan masih banyak lagi kebaikan lainnya. Semua kebaikan berbuah pahala meskipun hanya sekedar niat belum melakukan perbuatan baik tersebut. Saat melakukan kebaikan maka pahalanya akan dicatat oleh Malaikat dengan berlipat ganda. Berbeda halnya dengan keburukan sekedar niat akan melakukan keburukan atau kejelekan maka Malaikat belum mencatatnya sampai manusia itu melakukannya. Artinya setelah manusia melakukan kejelekan tersebut Malaikat baru mencatat menjadi sebuah dosa. Semoga kita terhindar dari perbuatan jelek dan buruk, dan Alloh SWT senantiasa memberikan kekuatan kepada kita semua untuk berbuat baik dan menebarkan kebaikan di dunia ini. ***

www.youtube.com/@anas-aswaja