Beranda Kajian WALI HAKIM DARI MASA KE MASA

WALI HAKIM DARI MASA KE MASA

Sejarah Islam Pertama tentang Wali Hakim

Pada tahun kelima kenabian Rasulullah saw., menyuruh umat Islam untuk berhijrah ke daerah Habsyah suatu daerah yang dipimpin oleh seorang Raja yang bernama Negus al Habsyi yang sudah memeluk Agama Islam. Berangkatlah rombongan pertama empat belas orang yang terdiri dari sepuluh orang pria empat wanita diantaranya Ustman bin Affan, Siti Rukayah (Putri nabi saw.) Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf dan Jafar bin Abi Thalib. Kemudian rombongan kedua terdiri seratus orang 83 orang dari kaum pria 17 orang dari kaum wanita.

Dalam rombongan ini ada yang bernama Ubaidillah bin Jahasy beserta istrinya Siti Ramlah binti Abu Sofyan. Setelah beberapa bulan di Habsyi, Ubaidilah bin Jahasyi memeluk agama Nasrani dan tidak berapa kemudian ia meninggal.

Siti Ramlah menjadi janda tanpa ada yang membiyai. Kemudian Raja Negus mengirim surat kepada Rasulullah saw., agar bersedia menikah dengan Siti Ramlah binti Abu Sofyan dengan Maskawin berupa uang dinar sebanyak 4000. Lalu Rasulullah saw., menerimannya. Dalam pelaksanaan akad nikah Raja Negus lah langsung yang bertindak selaku Wali Hakim atas Siti Ramlah karena ia tidak mempunyai wali nasab di wilayah Habsyah. Baru kemudian pada tahun ketujuh hijrah, Surahbil bin Hasanah membawa Ramlah ke Madinah dan merubah namanya menjadi Ummu Habibah.

Imam Abu Daud dalam Sunan mengabadikan peristiwa ini dalam tiga buah riwayat yang diterimanya dari Ummu habibah. Inilah wali hakim pertama dalam catatan sejarah islam .

 Sejarah Wali Hakim setelah Kemerdekaan

Dalam kaitan persoalan ini, pada tahun 1954 di Cipanas  pernah diselenggarakan Komperensi Alim Ulama, yang membahas masalah Wali Hakim bagi seorang wanita yang tidak mempunyai wali. Yang menyimpulkan bahwa : Presiden, Kabinet dan lembaga Tertinggi dalam Negera Republik Indonesia (UUDS) adalah Waliyul Amri Ad Dlarury bis Syaukah. Waliyul amri berhak memberi ”tauliyah”, pelimpahan wewenang kepada pejabat dalam melaksanakan Hukum Islam. Seperti Wali Hakim.

Walaupun keputusan tentang Waliyul Amri ad Dlarury bis Syaukah telah ditanggapi dan difahami secara berbeda-beda oleh kalangan politik dan ahli hukum di waktu itu. Namun persoalan itu merupakan mata rantai yang menghubungkan sistematika Ilmu Fiqih dengan perundang-undangan yang kini berlaku di Indonesia.

Dengan adanya rasionalisasi dalam administrasi NTR semenjak revolusi, yakni ditetapkannya peraturan Wali Hakim, Pengadilan Agama mempunyai alasan yang kuat untuk membatalkan suatu pernikahan. Di sini Pengadilan Agama bertindak selaku pengawas bagi pelaksanaan NTR. Wali Hakim haruslah seorang pejabat yang ditunjuk oleh Kepala KUA. Penghulu mempunyai kedudukan lebih tinggi daripada kepala KUA. Sebab Kepala KUA hanya sebagai wali hakim biasa dan kepala administrasi kantor.

Seperti yang dikutif dari Daniel S.Lev. yang diterjemahkan oleh Zaini Ahmad Noeh (1980:197) ; ”Pada dasarnya wali hakim adalah jabatan atas dasar ”tauliyah” dari waliyul amri. Dalam peraturan-peraturan yang berlaku, ada dua kategori mengenai tugas wali hakim. Wali hakim biasa, yaitu bagi wanita yang tidak mempunyai wali atau wali berada di tempat yang jauh. Tugas ini diberikan kepada semua Kepala KUA Kecamatan di Jawa dan Madura dan Pembantu NTR-P3NTR yang ditunjuk di luar Jawa Madura. Wali hakim adlal yaitu dalam keadaan seorang wali tidak mau atau menolak untuk bertindak sebagi wali hakim. Tugas ini dibebankan kepada PENGHULU pada KUA Kabupaten Jawa Madura dan semua Kepala KUA kecamatan di luar Jawa Madura. Demi ketertiban tugas-tugas itu tidak boleh dicampur aduk, sehingga seorang penghulu tidak dianggap sah apabila bertindak sebagai wali hakim biasa”.

Sejarah Wali Hakim Jaman Orde Baru dan Reformasi

Seiring perkembangan jaman banyak perubahan yang mencolok yaitu, tugas pelimpahan kepenghuluan dan konotasi istilah penghulu ’pun baik ditingkat Kabupaten/Kota, atau di tingkat KUA Kecamatan dilimpahkan langsung kepada PPN/Kepala KUA dan Wakil PPN.   Namun di jaman reformasi istilah Penghulu muncul lagi dalam PMA No. 477 tahun 2004 tentang Pencatatan Nikah, pasal 19.  menganti PMA No. 2 tahun 1990 tentang Pencatatan Nikah : Kedudukan Wali Hakim dilimpahkan kepada Penghulu Kecamatan dalam hal wanita yang tidak mempunyai wali nasab, juga diberi wewenang menandatangi Buku Akta Nikah.

Namun, peratuan tersebut tidak begitu lama diganti dengan PMA No. 11 tahun 2007 kedudukan Wali Hakim ditegaskan kembali dalam, pasal 18 ayat 4. Kemudian seiring waktu diganti lagi dengan PMA No 20 tahun 2019 tentang Pencatatan Pernikahan ; Bahwa yang berhak selaku Jabatan Wali Hakim adalah Kepala/PPN. Dan berhak menandatangani Buku Akta Nikah

Mengangkat Kepala KUA/PPN dihukumi Fardlu Kifayah karena sangat penting dalam kehidupan masyarakat Islam walau hanya sebagai Katib/Madzun asy syar’I ”Pegawai Pencatat Nikah” namun, dalam kaitan statusnya sebagai tauliyah wali hakim, Kepala KUA termasuk kriteria pegawai yang diberi Haq Wilayah Hukmi Tajwiz oleh Peraturan perundang-undangan. Meskipun tidak disejajarkan dengan Hakim/Qadli karena tidak memiliki kewenangan dalam wilayah mengadili dan memutuskan. Namun, peranan sosial masyarakat Islam dalam hal Ahwal As Syakhshiyah dan Ibsos ikut andil dan berperan penting dalam mendukung program keagamaan khususnya Agama Islam di Negara Indonesia.

Presiden RI atau Menteri Agama adalah Waliyyul Amri Adl Dlarury bis Syaukah, yang pada dasarnya wilayah hakim berada di tangan presiden atau Menteri Agama. Namun dalam teknis pengangkatan seorang Kepala KUA harus melalui mekanisme birokrasi pemerintahan, agar tertib hukum Administrasi Negara.

Penunjukan “tauliyah’ wali hakim kepada Kepala KUA pada hakikatnya secara tidak langsung diangkat oleh presiden melalui Menteri Agama. Namun, dalam pelaksanaannya langsung oleh pejabat yang berwenang yakni Kepala Kanwil Provinsi atas usulan Kemenag Kota/Kab. Jenjang prosedural ini tidak mengurangi legalitas Kepala KUA sebagai Wali Hakim. Jika di dalam suatu daerah  tidak memiliki Kepala KUA/Wali Hakim, maka, perwalian wali hakim ini tidak otomatis langsung dilimpahkan kepada Kasie Urais lalu kepada Kepala Kemenag, atau Kabid Urais, atau Kepala Kanwil, dan seterusnya. Akan tetapi langsung diserahkan kepada Presiden atau Menteri Agama yang harus melaksanakan ketetapan roda perwalian “tauliyah” wali Hakim bagi perempuan yang tidak mempunyai wali nikah.

Kewenangan kinerja Kepala KUA tidak diperkenankan melampaui tugas kewenangannya dengan cara mewakilkan wali hakim kepada orang-orang yang ditunjuknya. Padahal aturan kenegaraan sebagaimana diatur dalam PMA No. 30/2005 tentang Wali Hakim yang kemudian diganti dengan PMA No. 20 tahun 2019 tentang Pencatatan Pernikahan, yakni tidak memberi kewenangan kepada seorang Kepala KUA untuk mewakilkan dalam hal Wali Hakim. Aturan ini banyak dijelaskan dalam Ilmu Fiqih sehingga orang yang menerima perwakilan wali hakim dari seorang Kepala KUA tidak sah menikahkan.

Namun, penggantian atau pelimpahan posisi wali hakim yang memiliki udzur syar’I disahkan dalam tinjauan Fiqih apabila disahkan dalam ketentuan aturan Pemerintah.

Penjelasan peraturan diatas adanya suatu kebolehan tentang pelimpahan tugas atau pengganti posisi wali hakim kepada Penghulu di Kecamatan tetapi harus diketahui oleh Kasie Urais atas nama Ka Kemenag.  (*)

Sumber Rujukan

1 Tarikhu Islam al Syiasi I:90

2 Laporan kementerian Agama tahun 1954 Jilid II. Hal. 802-810

3 Zaini Ahmad Noeh, Peradilan Agama Islam di Indonesia., hal. 197

[1] Ibnu Hajar Al Haitami, Tuhfah Muhtaz fi Syarhil Minhaz, Kitab Nikah :

(قَوْلُ الْمَتْنِ زَوَّجَ السُّلْطَانُ) أَيْ سُلْطَانُ بَلَدِهَا أَوْ نَائِبُهُ لا سُلْطَانُ غَيْرِ بَلَدِهَا وَلا الأَبْعَدُ عَلَى الأَصَحِّ

 Ucapan matan, maka, sulthanlah yang menikahkan) yakni sulthan beserta wakil-wakilnya yang berada didaerah tempat tinggal catin wanita. Bukan sulthan yang berada diluar daerah tempat tinggal catin wanita., jika keadaan tidak demikian maka, perwalian jatuh kepada wali ab’ad menurut pendapat yang lebih shahih.

 [1] (Sunan Darul Quthni, Kitab Nikah, 3/158).Musnad Ahmad, Manarul Sabil, Juz.2/146 :

(ثم السلطان أو نائبه) لقوله (فإن اشتجروا فالسلطان ولي من لا ولي له ) وتقدم. قال الإمام أحمد: والقاضي أحب إلي من الأمير في هذا.

Kemudian sulthan atau wakil-wakilnya, sebagaimana sabda Rasulullah saw., apabila berselisih paham maka, sulthan selaku penguasa menjadi wali catin wanita yang tidak mempunyai wali. Lebih dahulu perkataan Imam Ahmad : kedudukan qadli lebih aku cintai ketimbang seorang amir dalam masalah ini (pernikahan).

[1] Kitab Zaitunah al Ilqah Hal. 169 :

Ulama Syafiiyah menetapkan diperbolehkannya orang lain mengganti posisi hakim apabila pemerintah memberi kewenangan dengan penetapan yang tidak tertolak. Apabila izin bagi pengganti hakim dalam menikahkan didapatkan, kemudian pengganti hakim ini menikahkan, maka sah akad nikahnya tanpa ada halangan.