Pesantren

Wagub Jabar Imbau Orang Tua Aktif Awasi Anaknya di Pesantren

Tasikmalaya (Aswajanews.id) – Wakil Gubernur Jawa Barat Uu Ruzhanul Ulum mengimbau orang tua lebih aktif mengawasi anaknya yang sedang belajar di pondok pesantren untuk lebih tahu setiap perkembangannya, termasuk bisa mencegah terjadinya tindakan melanggar hukum, seperti kasus asusila di Bandung.

“Kalau di pesantren yang benar orang tua ini tidak memberikan secara full, tetapi tetap harus ada ngalongok (menjenguk) ke pesantren. Pesantren saya ada libur setahun dua kali. Orang tua boleh menengok perkembangan anak di pesantren, sehingga terpantau pendidikan, kesehatan dan lainnya, tidak cukup dengan telepon,” kata Uu di Pondok Pesantren Al Ruzhan, Manonjaya, Kabupaten Tasikmalaya, Kamis (9/12).

Ia menyampaikan adanya imbauan itu sebagai tindak lanjut munculnya kasus santriwati yang menjadi korban asusila oleh seorang oknum guru ngaji di Kota Bandung.

Uu menyampaikan prihatin dengan adanya kasus tersebut. Untuk itu pelakunya harus diproses sesuai aturan hukum yang berlaku dan berharap kejadian serupa tidak terjadi lagi di lingkungan lembaga pendidikan. “Pertama saya berharap kejadian ini tidak terulang kembali. Kedua, saya merasa prihatin sebagai komunitas pondok pesantren, kejadian semacam ini,” katanya.

Ia menyampaikan dengan adanya kasus itu menjadi pelajaran bagi semua pihak untuk lebih meningkatkan pemantauan atas perkembangan anak, mulai dari kesehatan fisik, mental dan hal lainnya.

Selain itu, lanjut dia, orang tua perlu mengedepankan kehati-hatian sebelum anaknya dipercayakan menjadi peserta didik, seperti melihat dari aspek biaya, fasilitas, metode belajar, asal usul pendidikan guru, pendiri, yayasan, hingga legalitas lembaga, sampai lulusannya.

“Kemudian juga kita harus mewaspadai seandainya ada pesantren-pesantren yang aneh-aneh, dari pendidikannya, perilaku dan lainnya. Jangan sampai orang tua ini memberikan anak kepada pesantren, tetapi tidak tahu latar belakang lembaga tersebut,” katanya.

Mantan Bupati Tasikmalaya itu berharap masyarakat tidak menyamaratakan semua guru ngaji punya perilaku serupa dan orang tua tidak perlu takut terhadap putra-putrinya yang sedang menempuh pendidikan agama di pondok pesantren atau madrasah. “Harapan kami tidak disamaratakan,” katanya.

Ia menyampaikan pemerintah sudah memberikan pendampingan terhadap korban yang mengalami trauma, kemudian disiapkan pola pendidikan baru sesuai hak tumbuh kembangnya.

Selain itu, Uu mengimbau semua lembaga pendidikan, termasuk pondok pesantren, agar rutin memonitor setiap kegiatan di sarana pendidikannya dan lebih selektif memilih tenaga pengajar.

Uu juga berharap penerapan kegiatan belajar bagi santriwati dilakukan oleh guru perempuan, kemudian bagi santri laki-laki oleh guru laki-laki.

“Kecuali biasanya pimpinan umum pesantren atau pendiri sebagai syaikhul masyaikh baru bisa mengajar santri atau santriwati, tetapi itupun biasanya dibatasi dengan kelir pembatas antara laki-laki dan perempuan,” katanya. *(Ant)