BANDUNG (Aswajanews.id) – Di sebuah kontrakan sempit di Majalengka, seorang ayah duduk lesu. Sepuluh anaknya sedang berjualan kue di alun-alun, sementara istrinya hamil anak ke-11. Pemandangan itulah yang membuat Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi geram.
“Ini darurat. KB harus jadi syarat bansos,” tegasnya.
Namun, rencana tersebut berbenturan dengan fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Barat yang menyatakan bahwa vasektomi — atau sterilisasi pria — hukumnya haram karena bersifat permanen. MUI merujuk pada Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia IV di Cipasung, Tasikmalaya, tahun 2012.
Meski demikian, Dedi bersikukuh. Menurutnya, masih ada metode lain dalam program Keluarga Berencana (KB) yang tidak melanggar fatwa. “Yang penting berhasil menekan angka kelahiran,” ujarnya.
Pernyataan itu memicu perdebatan, terutama karena rencana menjadikan KB sebagai syarat penerima bantuan sosial (bansos) menuai pro dan kontra di tengah masyarakat.
Wakil Ketua DPRD Jawa Barat, Ono Surono, dalam tayangan di salah satu stasiun TV nasional, menanggapi rencana Dedi dengan nada kritis. Ia mengingatkan pentingnya kehati-hatian dalam merumuskan kebijakan.
“Kita perlu solusi yang menghargai pandangan agama dan tetap menjawab masalah kemiskinan. Tidak bisa hitam putih,” kata Ono.
Lebih jauh, politisi tersebut menilai Dedi hanya mencari sensasi di media sosial. “KDM hanya ingin viral dengan konten seperti itu. Saya yakin dia tidak akan berani menjalankan program tersebut,” ujarnya.
Ono juga mengingatkan bahwa bantuan sosial dari Pemprov Jawa Barat sebenarnya hanya diperuntukkan bagi korban bencana alam, dengan nilai yang sangat kecil.
Kini, perdebatan soal KB tak lagi sekadar membahas alat kontrasepsi, tetapi menyentuh soal masa depan anak-anak keluarga miskin: apakah mereka akan hidup lebih baik atau justru mewarisi kemiskinan yang tak pernah selesai. (Redaksi)