Beranda Nasional Ekonomi, Bisnis dan UMKM Urgensi Pengadilan Khusus Pertanahan dalam Memberantas Mafia Tanah dan Sengketa Agraria

Urgensi Pengadilan Khusus Pertanahan dalam Memberantas Mafia Tanah dan Sengketa Agraria

52

Bandung (pelitaindonews): Fenomena mafia tanah telah menjadi salah satu masalah agraria paling serius di Indonesia dalam satu dekade terakhir. Mereka bukan hanya sekumpulan individu yang memalsukan dokumen, tetapi sindikat terorganisir yang melibatkan oknum aparat desa, notaris, pejabat agraria, hingga penegak hukum. Dengan dokumen palsu dan jaringan kekuasaan, mereka dapat merebut tanah sah milik warga, bahkan mengajukan gugatan hukum yang justru memenangkan pihak pelaku. Dalam situasi seperti ini, banyak warga merasa keadilan hukum tidak lagi berpihak pada kebenaran, tetapi pada siapa yang memiliki akses terhadap sistem.

Sengketa pertanahan pun menjadi kasus dominan di pengadilan. Berdasarkan data Komisi Yudisial dan Kementerian ATR/BPN, lebih dari 60% perkara perdata di pengadilan negeri berkaitan dengan tanah. Ironisnya, sistem peradilan yang menangani perkara ini adalah peradilan umum, yang seringkali tidak memiliki spesialisasi teknis dalam hal agraria, pendaftaran tanah, sejarah hak milik, dan konflik adat. Kondisi ini memunculkan pertanyaan mendasar: apakah sistem hukum saat ini cukup memadai untuk menangani kompleksitas konflik pertanahan di Indonesia?

Dalam konteks inilah gagasan pembentukan Pengadilan Adhock Pertanahan menjadi relevan dan mendesak. Pengadilan ini dimaksudkan sebagai forum yudisial khusus yang menangani perkara-perkara yang berkaitan dengan konflik tanah, termasuk pemalsuan dokumen pertanahan, tumpang tindih hak, konflik tanah adat, hingga praktik mafia tanah. Pembentukan pengadilan ini tidak hanya rasional secara kebutuhan sosial, tetapi juga sah secara konstitusional. Pasal 24 UUD 1945 memberikan kewenangan pembentukan pengadilan khusus melalui undang-undang, sementara Pasal 15 UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman mengatur bahwa pengadilan khusus dapat dibentuk untuk menyelesaikan perkara tertentu secara cepat dan tepat.

Argumen pertama yang mendasari pembentukan Pengadilan Adhock Pertanahan adalah kebutuhan akan spesialisasi dalam penyelesaian perkara tanah. Sengketa pertanahan bukan sekadar konflik kepemilikan, melainkan juga mencakup persoalan teknis seperti sejarah tanah, letak fisik dan peta, bukti yuridis dan administratif, serta struktur waris dan adat. Hakim-hakim umum yang tidak memiliki latar belakang pertanahan cenderung kesulitan memahami kerumitan ini. Dengan pengadilan khusus, hakim dapat direkrut berdasarkan keahlian atau dilengkapi dengan panel ahli dari kalangan agraria, geodesi, notariat, dan hukum adat, sehingga menghasilkan putusan yang lebih akurat dan adil.

Argumen kedua adalah perlunya respon institusional terhadap sindikat mafia tanah yang bekerja sistematis. Kasus-kasus mafia tanah tidak dapat dipandang sebagai kejahatan perorangan biasa, karena sering kali melibatkan pemalsuan dokumen resmi, manipulasi data Letter C atau SKAW, serta kolusi dengan oknum pejabat publik. Proses penyidikan dan pembuktian perkara seperti ini membutuhkan kerja hukum yang holistik dan berani, tidak cukup hanya dengan prosedur hukum umum yang seringkali lambat dan rentan intervensi. Pengadilan khusus dapat memberikan fokus, keberanian, dan kecepatan dalam menangani kasus-kasus seperti ini, sekaligus menjadi simbol keberpihakan negara kepada korban ketidakadilan agraria.

Argumen ketiga adalah manfaatnya bagi kepastian hukum dan iklim investasi nasional. Banyak proyek infrastruktur strategis, kawasan industri, dan pembangunan perumahan rakyat tertunda karena konflik lahan yang tidak kunjung selesai. Pengusaha enggan menanamkan modal di kawasan yang rawan konflik kepemilikan. Di sisi lain, warga kecil juga menjadi korban penggusuran paksa karena tanahnya diduduki atau dibeli dari pihak-pihak yang bukan pemilik sah. Dengan pengadilan pertanahan yang tegas dan terfokus, baik masyarakat maupun investor akan mendapatkan kepastian hukum yang adil dan seimbang.

Contoh dari negara lain memberikan preseden yang kuat. India memiliki Land Tribunals yang menyelesaikan konflik agraria secara mandiri dengan kekuatan yuridis khusus. Filipina membentuk Department of Agrarian Reform Adjudication Board (DARAB) untuk menyelesaikan konflik agraria dengan proses yang cepat dan pro-rakyat. Bahkan di negara seperti Thailand, lembaga Agricultural Land Reform Office (ALRO) memiliki yurisdiksi terbatas dalam menyelesaikan masalah tanah masyarakat. Jika negara-negara lain mampu menghadirkan sistem peradilan agraria yang tangguh, Indonesia pun seharusnya tidak tertinggal.

Tentu, pembentukan Pengadilan Adhock Pertanahan tidak lepas dari tantangan. Salah satunya adalah resistensi dari pihak-pihak yang selama ini diuntungkan oleh ketidakpastian hukum tanah. Selain itu, perlu ada pengaturan yang jelas mengenai yurisdiksi, kompetensi hakim, serta hubungan kerja dengan lembaga lain seperti BPN, Kepolisian, dan Kejaksaan. Namun, dengan kemauan politik (political will), dukungan masyarakat sipil, dan sinergi antar lembaga, maka pengadilan ini dapat menjadi tonggak reformasi agraria yang sesungguhnya.

Pada akhirnya, keadilan agraria tidak cukup ditegakkan dengan slogan atau peraturan, melainkan perlu dibangun melalui struktur institusi hukum yang kuat, responsif, dan berpihak pada kebenaran. Pengadilan Adhock Pertanahan bukan hanya kebutuhan teknis, tetapi juga bentuk konkret dari keberanian negara untuk menegakkan keadilan di bidang yang selama ini dikuasai oleh mafia dan ketimpangan.

Referensi Hukum:

  • Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Pasal 24 dan Pasal 28D.
  • Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
  • Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA).
  • Peraturan Mahkamah Agung No. 1 Tahun 2008 tentang Prosedur Mediasi.
  • Laporan Tahunan Kementerian ATR/BPN dan Komisi II DPR RI (2023–2024).
  • Putusan Mahkamah Agung No. 3106 K/Pdt/2018 (sebagai contoh yurisprudensi konflik tanah yang berlarut-larut).

Oleh : Bernard Simamora, S.Si., S.IP., S.H., M.H., M.M., Advokat & Konsultan Hukum Perdata Pertanahan