Dalam kehidupan yang serba cepat, penuh tekanan, dan kerap dilanda perpecahan, ucapan damai menjadi lebih dari sekadar sapaan atau basa-basi. Ia adalah harapan, doa, dan pernyataan nilai luhur yang merangkul kemanusiaan kita. Ketika seseorang mengucapkan, “Damai bagimu,” ia sesungguhnya sedang mewartakan niat baik kepada sesama, sebuah keinginan tulus agar hidup yang kita jalani bisa lebih tenteram, seimbang, dan penuh makna.
Namun damai sejati tidak cukup hanya diucapkan—ia harus dihidupi. Di sinilah kasih memainkan peranan utama. Dalam banyak tradisi spiritual dan agama, kasih merupakan inti dari ajaran suci: kasih kepada Tuhan, kasih kepada sesama manusia, bahkan kasih kepada ciptaan dan semesta. Mengenakan kasih berarti menjadikan kasih sebagai dasar berpikir, merasa, dan bertindak. Ia memampukan kita untuk memandang sesama bukan sebagai lawan, pesaing, atau orang asing, melainkan sebagai sesama peziarah dalam perjalanan kehidupan ini.
Ketika kasih dikenakan sebagai laku hidup, maka ucapan damai tak lagi hampa. Ia menjadi nyata dalam sikap kita yang lebih sabar mendengarkan, dalam keberanian kita untuk mengampuni, dalam keikhlasan untuk membantu tanpa berharap imbalan. Dalam kasih, kita belajar melepas dendam, menyembuhkan luka, dan menjembatani perbedaan. Kasih menuntun kita untuk tidak menghakimi berdasarkan latar belakang, agama, ras, atau status sosial, melainkan untuk melihat bahwa di balik semua itu, kita sama-sama manusia yang mendambakan kebaikan, pengertian, dan tempat yang aman untuk bertumbuh.
Konsekuensi spiritual dari ucapan damai dan tindakan kasih sangatlah dalam. Mereka yang hidup dengan kasih akan merasakan kedamaian batin, kejernihan hati, dan koneksi yang lebih tulus dengan sesama dan alam. Damai dan kasih melampaui batas-batas formal agama—ia berbicara dalam bahasa nurani yang bisa dirasakan oleh siapa pun yang mau membuka hati. Dalam setiap tradisi luhur, mereka yang hidup dalam kasih dan menebar damai dipandang sebagai orang-orang bijak, guru kehidupan, bahkan cahaya bagi dunia yang gelap.
Kini, dunia tidak kekurangan kata-kata, tetapi kekurangan ketulusan. Tidak kekurangan suara, tapi kekurangan keheningan yang menyembuhkan. Ucapan damai yang lahir dari hati yang mengenakan kasih, sekecil apa pun, adalah api yang mampu menghangatkan, menyatukan, dan menghidupkan harapan. Di saat seperti inilah, kita semua—apa pun latar kepercayaan dan keyakinan—dipanggil untuk menjadi duta-duta damai yang hadir bukan dengan kekuatan, tapi dengan kasih. Karena pada akhirnya, dunia akan berubah bukan oleh kekuasaan, melainkan oleh hati yang lembut namun teguh dalam kasih.
Bandung, 29 Mei 2025
Oleh Bernard Simamora, S.Si., S.IP., S.H., M.H., M.M.