Beranda Nasional Ekonomi, Bisnis dan UMKM Tuntutan Netralitas “Oknum” TNI dalam Sengketa Horisontal Pertanahan Masyarakat Sipil

Tuntutan Netralitas “Oknum” TNI dalam Sengketa Horisontal Pertanahan Masyarakat Sipil

0

Dalam sistem demokrasi yang menjunjung tinggi supremasi hukum, netralitas aparat negara menjadi syarat mutlak dalam menjaga keadilan dan kepercayaan publik. Namun, di tengah maraknya sengketa horisontal pertanahan yang melibatkan sesama warga masyarakat sipil, muncul fenomena mengkhawatirkan: dugaan keterlibatan sejumlah oknum anggota TNI aktif dalam konflik yang sepenuhnya berada di luar ranah tugas dan kewenangan militer. Fenomena ini bukan hanya mengaburkan garis batas antara kekuasaan negara dan ruang sipil, tetapi juga mencoreng prinsip netralitas yang selama ini menjadi kebanggaan TNI sebagai institusi.

Sengketa tanah antarwarga—baik karena tumpang tindih alas hak, sengketa waris, atau konflik klaim adat—adalah ranah hukum perdata yang penyelesaiannya diatur oleh pengadilan dan peraturan sipil. Namun sejumlah laporan di lapangan menyebutkan, ada pihak-pihak yang mengklaim didampingi atau dibela oleh anggota TNI aktif, bukan dalam kerangka pengamanan negara, melainkan untuk memperkuat posisi dalam konflik sipil. Keterlibatan tersebut, meski kerap dibungkus dengan dalih “bantuan pribadi”, tetap tidak dapat dibenarkan secara etika dan hukum militer.

Yang menjadi sorotan publik bukan institusi TNI secara keseluruhan, melainkan perilaku segelintir oknum yang menyalahgunakan status dan pengaruhnya untuk kepentingan pribadi, keluarga, atau kelompok. Ketika seorang anggota militer aktif hadir di tengah sengketa tanah antarwarga sipil—apalagi dengan membawa atribut atau kekuasaan simbolik TNI—maka netralitas institusi pun ikut dipertaruhkan. Masyarakat sipil yang terlibat dalam sengketa tersebut dapat merasa terintimidasi, atau bahkan kehilangan keyakinan terhadap proses hukum yang seharusnya berimbang dan adil.

Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI telah secara tegas mengatur bahwa TNI bersifat netral dan tidak boleh terlibat dalam kegiatan politik praktis maupun konflik sipil. Fungsi TNI adalah menjaga kedaulatan negara, bukan menjadi pihak dalam perkara perdata. Maka ketika seorang oknum TNI melangkahi garis ini, tidak hanya melanggar aturan internal, tetapi juga menciptakan preseden buruk yang dapat merusak reputasi institusi yang telah dibangun melalui disiplin, pengorbanan, dan integritas.

Dalih bahwa tindakan tersebut dilakukan sebagai pribadi atau karena relasi kekeluargaan tidak serta-merta dapat diterima. Bagi masyarakat, seragam TNI bukan sekadar pakaian dinas—ia adalah simbol kekuasaan negara. Sehingga setiap langkah atau kehadiran seorang prajurit, apalagi dalam konteks konflik, akan selalu ditafsirkan sebagai sikap resmi institusi. Di sinilah pentingnya ketegasan institusi TNI untuk mengambil jarak dari ulah oknum-oknum yang mencederai netralitasnya.

Netralitas bukan hanya prinsip formal, tetapi juga amanat moral. Ketika seorang anggota TNI menjadi bagian dari konflik sipil, terlebih dalam sengketa tanah yang sangat sensitif secara sosial, maka ketidakseimbangan kekuasaan bisa menciptakan ketidakadilan. Pihak lawan sengketa akan merasa menghadapi tembok besar kekuasaan yang sulit ditembus. Dalam kondisi demikian, supremasi hukum sipil pun terancam.

Itulah sebabnya, kontrol internal di tubuh TNI harus diperkuat. Setiap indikasi keterlibatan oknum dalam perkara sipil harus ditindak secara disipliner dan terbuka. Perlu ada mekanisme aduan publik terhadap keterlibatan aparat aktif dalam konflik sipil, sekaligus kanal responsif dari institusi untuk memberikan klarifikasi dan sanksi bila diperlukan. Langkah ini penting untuk membedakan dengan jelas antara tindakan individu menyimpang dan sikap resmi institusi yang tetap menjunjung netralitas.

Peran media dan masyarakat sipil juga krusial dalam menjaga agar pelanggaran-pelanggaran semacam ini tidak menjadi hal lumrah. TNI, sebagai institusi yang dipercaya dan dihormati rakyat, tidak boleh dibiarkan dicatut atau diseret ke dalam kepentingan kelompok. Dalam konteks konflik horisontal pertanahan, kehadiran TNI hanya sah jika terkait keamanan nasional atau penugasan resmi—bukan pendampingan satu pihak dalam konflik keluarga atau warisan.

Sebagai institusi yang tegak di atas Sapta Marga dan Sumpah Prajurit, TNI harus menjaga kehormatan dengan tidak membiarkan atribut dan kewenangannya dipakai oleh oknum dalam konflik sipil. Netralitas TNI adalah jaminan bagi rakyat bahwa negara tetap berdiri di atas semua golongan, bukan sebagai alat satu pihak melawan yang lain. Dalam sengketa pertanahan masyarakat sipil, hanya satu jalur penyelesaian yang sah: supremasi hukum sipil.

Dan di tengah badai sengketa tanah yang semakin kompleks, rakyat membutuhkan keyakinan bahwa TNI tetap berada di tempatnya—kokoh, netral, dan setia pada konstitusi.

Redaksi menerima hak jawab dan klarifikasi dari pihak terkait demi objektivitas pemberitaan. (Redaksi Aswajanews.id)


Eksplorasi konten lain dari aswajanews

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.