Di kalangan sahabat dan fuqaha berselisih pendapat dalam masalah pernikahan wanita pezina, Jumhur fuqaha membolehkannya sedangkan fuqaha yang lain ada yang mengharamkan mutlak, ada yang membolehkan dengan syarat bertaubat, silang pendapat ini disebabkan oleh adanya mafhum ayat 3 dalam Surat An Nur ayat 3, Firman Allah Ta’ala :
الزَّانِي لَا يَنْكِحُ إِلَّا زَانِيَةً أَوْ مُشْرِكَةً وَالزَّانِيَةُ لَا يَنْكِحُهَا إِلَّا زَانٍ أَوْ مُشْرِكٌ وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ
Artinya
“Laki-laki yang berzina tidak mengawini melainkan perempuan yang berzina, atau perempuan yang musyrik; dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik, dan yang demikian itu diharamkan atas orang-orang yang mukmin” (QS. An Nur : 3).
Apakah ayat ini sebagai celaan ataukah sebagai pengharaman (tahrim) ? Dan apakah isim isyarat dalam kalimat ayat وَحُرِّمَ ذَلِكَ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ., kembali kepada zina ataukah pernikahan ? Dalam mengartikan ayat diatas adalah sebagai celaan, bukan sebagai pengharaman, jumhur fuqaha beralasan dengan sebuah hadits sebagai berikut:
أن رجلاً قال للنبي في زوجته أنها لا ترد يد لامس. فقال له النبي عليه الصلاة والسلام: «طلقها»، فقال له إني أحبها. فقال له: «فأَمْسِكْها» وقال قوم أيضاً: إن الزنا يفسخ النكاح بناء على هذا الأصل
Artinya
“Sesungguhnya seorang pria mengadu kepada Rasulullah tentang masalah istrinya bahwa ia tidak pernah menolak orang yang menyentuhnya, maka, berkatalah nabi saw., kepadanya ; ceraikanlah ia. Lalu menjawab pria itu kepada Rasulullah saw., Sesungguhnya aku ini masih mencintainya. Maka Rasulullah berkata kepadanya : Maka peganglah dia”
Segolongan fuqaha lagi yakni al Hasan berpendapat, bahwa berdasarkan aturan pokok tersebut, zina dapat menyebabkan fasakhnya perkawinan.[1]
Imam Nawawi menjelaskan tentang perselisihan pendapat dikalangan sahabat;
Pertama haram mutlak menikah dengan wanita pezina, pendapat ini diriwayatkan dari Saidina Ali, Al Barra, dan Aisyah radliyallohu anhum. Pendapat pertama ini sebab melihat mafhum Firman Allah SWT dalam Surat An Nur ayat 3 dan sebuah hadits martsab bin martsab al ganawi
Kedua haram jika belum bertaubat, pendapat ini diriwayatkan oleh Ibnu Mas’ud, Jabir bin Abdullah, Qatadah, Ibnu Musayyab dan Sa’id bin Jabir yakni, penegasan haram menikah dengan wanita pezina. Jika belum bertaubat sebagaimana dalam sebuah Hadits Sabda Rasulullah saw : (Artinya) tidak menjadi haram suatu yang haram apabila sudah menjadi halal,”[2]
Ketiga diperbolehkan menikah dengan perempuan pezina, pendapat ini diriwayatkan dari Abu Bakar, Umar dan Ibnu Abbas radliyallohu anhum. Pendapat ini adalah pendapat Mayoritas Fuqaha (empat mazhab).
Namun diantara fuqaha yang membolehkan menikah berselisih tentang pensyaratan pernikahannya wanita pezina :
Pertama WAJIB IDDAH
Pendapat ini dikutif dari Imam Hasan Bashry, An Nakhai, Imam Malik, Imam Ahmad Ats Tsaury dan Ishaq bin Rahawaih. Hal ini mengambil keumuman firman Allah Azza wa Jalla QS. Ath Thalaq ayat 4. Dan hadits Abu Sa’id al Khudry tentang tawanan Authas, Hadits Ruwaifi bin Tsabit dan Hadits Abu Darda’.
Kedua TIDAK ADA IDDAH
Pendapat ini dikutif dari Imam Syafi’I dan Imam Hanafi akan tetapi ada perbedaan diantara keduanya yaitu :
- Menurut Imam Syafi’I pengantin pria boleh menikah dengan perempuan pezina dan boleh berjima’ dengannya setelah akad nikah baik sedang hamil atau belum, baik pengantin pria itu yang menzinahinya atau selainnya. Dan, setelah melahirkan tidak ada pernikahan ulang.
- Menurut Imam Hanafi pengantin pria yang menzinahi perempuan baik hamil atau belum, sah akad nikahnya dan boleh berjima, akan tetapi khusus bagi pengantin pria yang bukan menzinahinya, sah melakukan akad nikah tetapi tidak boleh berjima’ sampai istibra’., Apabila belum tampak janin dalam rahim maka menunggu hingga tiga kali haid. sama dengan iddah thalak. Adapun bagi yang sudah tampak janin dalam rahim maka ber istibra hingga melahirkan. Dan tidak ada pernikahan ulang.
Fiqih Indonesia (Kompilasi Hukum Islam Inpres No. 1 tahun 1991)
Pendapat keempat ini sesuai yang dipegang hasil konsesus ijma Ulama di Indonesia dan pegangan para Penghulu Nikah dan Hakim di Pengadilan Agama sebagai Fiqih Islam Produk Ulama Indonesia. Kompilasi Hukum Islam BAB VIII, KAWIN HAMIL Pasal 53 :
- Seorang wanita hamil di luar nikah, dapat dikawinkan dengan pria yang menghamilinya.
- Perkawinan dengan wanita hamil yang disebut pada ayat (1) dapat dilangsungkan tanpa menunggu lebih dahulu kelahiran anaknya.
- Dengan dilangsungkannya perkawinan pada saat wanita hamil, tidak diperlukan perkawinan ulang setelah anak yang dikandung lahir.
Dalam suatu situasi dan kondisi yang berkembang di masyarakat sebagai perwujudan metode Khuruj Minal Khilaf ada pengecualian dalam hal Catin pria yang bukan pezina haram menikah dengan : catin wanita pezina yang terkena HIV/AIDS/penyakit kelamin, terkecuali dengan yang menghamilinya.
Sumber Rujukan
- Hasyiyah banani, Juz. 1/298, Manahilul Irfan, juz.1/396, Syarah Jalalul mahali, Ushul Fiqih Hasyiyah banani, Juz. 1/298
- Falsafah Hukum Islam, M Hasbi Ash Shiddieqy, hal. 373
- Bidayatul Mujtahid, juz. 2/5
واختلفوا في زواج الزانية، فأجاز هذا الجمهور، ومنعها قوم وسبب اختلافهم: اختلافهم في مفهوم قوله تعالى: { والزانيةُ لا يَنْكِحُهَا إلا زانٍ أَوْ مُشْرِكٌ، وحُرِّمَ ذلكَ على المؤمنينَ } هل خرج مَخْرَجَ الذمِّ أو مخرج التحريم؟ وهل الإشارة في قوله: { وحُرِّمَ ذلكَ على المؤمنينَ } إلى الزنا أو إلى النكاح؟ وإنما صار الجمهور لحمل الآية على الذم لا على التحريم لما جاء في الحديث «أن رجلاً قال للنبي في زوجته أنها لا ترد يد لامس. فقال له النبي عليه الصلاة والسلام: «طلقها»، فقال له إني أحبها. فقال له: «فأَمْسِكْها» وقال قوم أيضاً: إن الزنا
يفسخ النكاح بناء على هذا الأصل. وبه قال الحسن : وأما زواج المُلاعِنة من زوجها الملاعِنِ فسنذكرها في كتاب اللعان.
- Majmu Syarah Muhadzab, Juz.17/383
فعن علي بن أبي طالب : «انها حرمت عليه أبداً، ولا يتزوجها بحال».وعن ابن عباس : «أوله سفاح وآخره نكاح، وأوله حرام وآخره حلال».وعن ابن مسعود : «هما زانيان» وفي رواية: «إذا تابا وأصلحا، له أن يتزوجها».وعن عائشة : «لا يزالان زانيــــين ما اجتمعا».ومنهم من قال: «يحلّ له أن يتزوجها».وعن أبي بكر رضي الله عنه: «لم يحرّم عليه نكاحها» وقال: «ما من توبة أفضل من أن يتزوَّجها».وعن ابن عباس : «أوله حرام وآخره حلال».وعن جابر بن عبد الله ، وقتادة ، وابن المسيب ، وسعيد بن جبير : «لا بأس إذا تابا وأصلحا وكرها ما كان».وعن عمر : في غلام فجر بالجارية وظهر بها حمل، فجلدهما الحدَّ وحرص أن يجمع بينهما.وعن عبد الله بن عمر : وقد ظهر بأمةٍ حمل، واتّهم بها الغلام، فجلده وزوَّجه بها.وقال أحمد وإسحاق : إن تابا من الزنا حلّ له أن يتزوّجهافعن علي بن أبي طالب : «انها حرمت عليه أبداً، ولا يتزوجها بحال»
Dari Saidina Ali bin Abi Thalib : bahwasanya diharamkan selamanya dan menikah dengan wanita pezina. Dari Ibnu Abbas : awalnya pelacur dan diakhiri dengan nikah, awalnya haram dan diakhiri kehalalan. Dari Ibnu Mas’ud : mereka berzina (dalam suatu riwayat), namun, jika mereka bertaubat dan memperbaiki akhlaknya sah menikahinya. Dari Aisah ra : mereka senantiasa berzina, maka jangan dikumpulkan (dinikahkan) apabila melakukan persetubuhan (sehingga orang-orang disekitarnya mengatakan : halal menikah dengan wanita pezina. Dari Abu Bakar ra : tidak diharamkan menikah dengan wanita pezina, (beliau mengatakan lagi) perbuatan taubat lebih utama daripada seseorang g menikah dengan wanita pezina.Dari Jabir bin Abdullah, Qatadah, Ibnu Musayyab dan Sa’id bin Jabir : tidak mengapa bagi pria dan wanita pezina menikah jika mereka bertaubat dan memperbaiki akhlaknya tetapi makruh perbuatan tersebut. Dari Umar : jika tampak kelahiran bayi, maka, jilid mereka berdua kemudian asingkan dan nikahkan diantara mereka.Dari Abdullah bin umar : jika sudah tampak kehamilan dan kelahiran bayi, maka rajamlah lalu nikahkan mereka.Berkata Ahmad dan Ishaq : jika mereka bertaubat dari zina maka halal menikah. Dari Jabir bin Abdullah dan Qatadah, Ibnu Musayyab,dan Said Jabir. Tidak mengapa jika mereka bertaubat dan melakukan perbaikan. Namun tercela jika menikah.
- Tafsir Thabari, juz18/55, Tafsir Ibnu Kasir, juz. 6/7 , Tafsir Qutubi, 12/167, Tamhid, ibnu abdil bar, qurthubi, juz 15/13, Sunan Turmudzi juz7/176, Sunan Abu Daud juz. 9/19, Sunan Baihaqi juz.10.383
حدثنا مـحمد بن عبد الأعلـى، قال: ثنا الـمعتـمر، عن أبـيه، قال: ثنـي الـحضرميّ، عن القاسم بن مـحمد، عن عبد الله بن عمرو: أن رجلاً من الـمسلـمين استأذن نبـيّ الله فـي امرأة يقال لها أمّ مهزول، كانت تسافح الرجل وتشترط له أن تنفق علـيه، وأنه استأذن فـيها نبـيّ الله صلى الله عليه وسلّم وذكر له أمرها، قال: فقرأ نبـيّ الله صلى الله عليه وسلّم: الزَّانِـيَةُ لا يَنْكِحُها إلاَّ زَانٍ أوْ مُشْرِكٌ أو قال: فأنزلت الزانـية.
Dan dalam hadits Amr bin Syuaib dab ayahnya dari kakeknya Abdullah bin Amr bin Ash beliau berkata : Sesungguhnya Martsab bin Abi Martsab al Ghanawy membawa tawanan perang dari Mekkah dan di Mekkah ada seorang perempuan pelacur disebut dengan nama Anaq dan ia adalah teman Martsab. Ia berkata : Maka saya datang kepada Nabi saw., lalu saya berkata : Wahai Rasulullah, saya nikahi Anaq ? Martsab berkata : Maka beliau diam, maka turunlah ayat dan perempuan yang berzina tidak dikawini melainkan oleh laki-laki yang berzina atau laki-laki musyrik:, kemudian beliau memanggilku lalu mebacakannya padaku dan beliau bersabda : jangan kamu nikahi dia”,
- Majmu Syarah Muhadzab, Juz. 17/242
وروت عائشة رضي الله عنها: أن النبي صلى الله عليه وسلّم سُئِل عن رجلٍ زَنى بامرأةٍ فأرادَ أن يتزوَّجها أو ابنتها فقال: «لا يحرم الحرامُ الحلالَ إنما يحرم ما كانَ بنكاح»
hadits yang datang dari Aisyah ra : bahwasanya Nabi saw., ditanya tentang laki-laki berzina dengan perempuan terus bermaksud ingin menikahinya serta anak putrinya perempuan tersebut. Menjawab Rasulullah saw : tidak menjadi haram suatu yang haram apabila sudah menjadi halal,
Kifayatul Akhyar juz.1/563, Hasyiyah Bujairami alal khatib, Nihayatul Muhtaj ala Syarhil Minhaz juz. 7/126, Raudlatul Tholibin wa Umdatul Muftin, Juz. 7/360< majmu Syarah Muhadza, juz.16.242 ;
لو نكح شخص امرأة حاملاً من الزنا صح نكاحه بلا خلاف
Jika seseorang menikah dengan perempuan pezina dalam keadaan hamil, maka, sah nikahnya tanpa ada perbedaan pendapat.
:قال المصنّف رحمه الله: (وإن زَنى بامرأةٍ لم يحرَّم عليه نكاحُها لقوله تعالى: {وأُحل لكم ما وراء ذلكم}
Berkata Imam Nawawi ra : jika seseorang berzina dengan perempuan maka tidak menjadi haram menikahinya. Sebab teks ayat : {وأُحل لكم ما وراء ذلكم}
- Majmu Syarah Muhadzab, Juz.16/242
(فرع) إذا زنت المرأة لم يجب عليها العدة، سواء كانت حائلا أو حاملا، فإن كانت حائلا جاز للزاني ولغيره عقد النكاح عليها وإن حملت من الزنا فيكره.نكاحها قبل وضع الحمل، وهو أحد الروايتين عن أبى حنيفه رضى الله عنه وذهب ربيعه ومالك والثوري وأحمد وإسحاق رضى الله عنهم إلى أن الزانيه يلزمها العدة كالموطوءة بشبهه، فإن كانت حائلا اعتدت ثلاثه أقراء، وإن كانت حاملااعتدت بوضع الحمل، ولا يصح نكاحها قبل وضع الحمل.قال مالك رضى الله عنه: إذا تزوج امرأة ولم يعلم أنها زانيه ثم علم أنها حامل من زنا فإنه يفارقها، فإن كان قد وطئها لزمه مهر المثل.وقال ربيعه: يفارقها ولا مهر عليه.وذهب ابن سيرين وأبو يوسف رضى الله عنهما إلى أنها ان كانت حائلا فلا عدة عليها، وإن كانت حاملا لم يصح عقد النكاح عليها حتى تضع وهى الرواية الاخرى عن أبى حنيفه.دليلنا قوله تعالى (وأحل لكم ما وراء ذلكم) وقوله صلى الله عليه وسلم (لا يحرم الحرام الحلال) والعقد على الزانيه كان حلالا قبل الزنا وقبل الحمل فلا يحرمه الزنا.وروى أن رجلا كان له ابن تزوج امرأة لها ابنة ففجر الغلام بالصبيه، فسألهما عمر رضى الله عنه فأقرا فجلدهما وحرص أن يجمع بينهما بالنكاح فأبى الغلام ولم ير عمر رضى الله عنه انقضاء العدة، ولم ينكر عليه أحد، فدل على أنه اجماع ولانه وطئ لا يلحق به النسب، أو حمل لا يلحق بأحد فلم يمنع صحة النكاح كما لو لم يوجد.
- Ibid, 16/242
:قال المصنّف رحمه الله: (وإن زَنى بامرأةٍ لم يحرَّم عليه نكاحُها لقوله تعالى: {وأُحل لكم ما وراء ذلكم} وروت عائشة رضي الله عنها: أن النبي صلى الله عليه وسلّم سُئِل عن رجلٍ زَنى بامرأةٍ فأرادَ أن يتزوَّجها أو ابنتها فقال: «لا يحرم الحرامُ الحلالَ إنما يحرم ما كانَ بنكاح»ولا تحرَّمُ بالزنا أمُها ولا ابنتها، ولا تحرمُ هي على ابنه ولا على أبيه للآيةِ والخبرِ، ولأنه معنى لا تصيرُ المرأةُ فراشاً فلم يتعلَّقّ به تحريمُ المصاهرةِ كالمباشرة بغير شهوة.وإن لاطَ بغلامٍ لم تحرَّمْ عليه أُمه وابنتُهُ للآية والخبر، وإن زنا بامرأةٍ فأتت منه بابنةٍ، فقد قال الشافعي رحمه الله: أكرهُ أن يتزوَّجَها، فإن تزوَّجَها لم
أفسخْ.فمن أصحابنا من قال: إنما كَرِهَ خوفاً من أن تكونَ منه، فعلى هذا إن علمَ قطعاً أنها منه بأن أخبره النبي صلى الله عليه وسلّم في زمانهِ لم تَحِلَّ له.ومنهم من قال: إنما كرِهَ ليخرُجَ من الخلاف لأن أبا حنيفة يحرِّمُها. فعلى هذا لو تحقَّقَ أنها منه لم تحرّم وهو الصحيح لأنها ولادةٌ لا يتعلَّقُ بها ثبوتُ النسبِ فلم يتعلَّقْ بها التحريم كالولادة لما دونَ ستةِ أشهرٍ من وقت الزنا. واختلفَ أصحابُنا في المنفية باللعان:فمنهم من قال: يجوزُ للملاعنِ نكاحُها لأنها منفيةٌ عنه، فهي كالبنتِ من الزِّنا.ومنهم من قال: لا يجوزُ للملاعنِ نكاحُها لأنها غيرُ منفيةٍ عنه قطعاً، ولهذا لو أقرَّ بها ثبتَ النسبُ).الشرح:حديث عائشة: أن النبي صلى الله عليه وسلّم سُئِل عن رجلٍ زنى بامرأةٍ فأراد أن يتزوجها أو ابنتها فقال: «لا يُحرِّمُ الحرامُ الحلالَ» أخرجه ابن ماجه والبيهقي من حديث ابن عمر، وفي إسناده: عبد الله بن عمر وهو ضعيف.وأخرجه البيهقي في السنن الكبرى وقال: تفرد به عثمان بن عبد الرحمن الوقاصي وهو ضعيف، قاله يحيــــى بن معين، والصحيح: عن ابن شهاب الزهري، عن علي مرسلاً وموقوفاً عنه. وأخرجه الدارقطني من حديث ابن عمر، وعائشة.كره الأصحاب للعفيف أن يتزوج زانية، وكذلك للعفيفة أن تتزوج زانياً للحديث المتقدم في الفصول الماضية: «فعليكَ بذاتِ الدِّين تربَتْ يداك»
Berkata Imam Nawawi ra. Apabila seseorang berzina dengan perempuan maka, tidak menyebabkan haram ketika menikahinya sesuai firman Allah Ta’ala{وأُحل لكم ما وراء ذلكم} : “Dihalalkan padamu selain itu” hadits riwayat Aisyah ra : bahwasanya Nabi saw., ditanya tentang laki-laki berzina dengan perempuan terus bermaksud ingin menikahinya serta anak putrinya perempuan tersebut. Menjawab Rasulullah saw : tidak menjadi haram suatu yang haram apabila sudah menjadi halal, bahwasanya yang diharamkan itu perkara yang terjadi dalam pernikahan. Tidak menyebabkan haram disebabkan zina kepada ibu juga anak putrinya (wanita pezina tersebut). Juga sebaliknya karena sesuai ayat dan hadits tadi. Maksudnya perempuan tidak disebut satu ranjang yang belum ada keterikatan muhrim, perbesanan, seperti berpelukan tanpa syahwat. Jika melahirkan seorang anak bayi maka tidak menyebabkan haram baginya menikah dengan ibu serta anak putrinya sesuai ayat dan hadits tadi. Namun jika ada yang berzina dengan perempuan lalu (dalam berselang lama) perempuan tersebut datang dengan membawa bukti anak putrinya (hasil hubungannya dengan pria tersebut), Imam Syafi’I berpendapat : makruh menikah dengan wanita tersebut namun, jika tetap menikah tidak menjadi fasakh. Golongan ashab berkata : bahwasanya kemakruhan dengan diliputi rasa ketakutan, maka atas inilah, jika mengetahui penolakan bahwasanya anak putri wanita tersebut darinya, disebabkan karena hadits Nabi saw pada jamanya maka tidak halal baginya. Dan dari golongan fuqaha yang lain berkata : bahwa yang dimaksud makruh agar keluar dari perbedaan pendapat. Sebab sesungguhnya Abu Hanifah mengharamkannya.
Atas inilah jika membenarkan bahwa bayi yang lahir itu akibat darinya maka tidak diharamkan menikahinya inilah pendapat yang shahih. Karena anak yang dilahirkan wanita tersebut tidak ada keterikatan dalam nasab dan belum terikat dalam ikatan muhrim, sebagaimana melahirkan anak yang kurang dari enam bulam dari waktu perzinaan. Fuqaha sebagian mengatakan boleh menikah dengan anak perempuan karena li’an dengan alasan terputus hubungan. Sebagaimana halnya hubungan dari hasil zina. Sebagian lagi haram karena bukan hubungan yang terputus . dan inilah jika mengulang maka tetaplah nasab.
Uraian hadits Aisyah : bahwa nabi saw., ditanya tentang seseorang berzina dengan perempuan kemudian mengadu pada beliau seraya ingin menikahinya atau menikah dengan anak putrinya. Tidak menjadi haram suatu yang haram apabila sudah menjadi halal. Hadits riwayat, Ibnu Majah, Baihaqi dari Ibnu Umar dalam sanadnya : Abdullah bun Umar : Hadits ini dhaif. Seperti petikan yang dikeluarkan oleh Imam Baihaqi dalam Kitab Sunan Baihaqi Al Kubra. Berkata : Usman bin Abdurrahman al Waqashi mengatakan dhaif . namun Yahya bin Mu’in hadits ini shahih. Dari Syihab Az Zuhri, dari Ali Hadits Mursal Mauquf. Petikan hadits Darul Quthni riwayat Ibnu Umar dan Aisyah. Sebagian Ashab ada yang menghukumi makruh menikah laki-laki baik dengan wanita pezina, begitu juga sebaliknya, karena sesuai dengan petikan hadits : Peganglah olehmu agama, karena ia akan menyelamatkanmu. …………………………..