Gagasan menunda Pemilu 2024 kembali mencuat di ruang publik. Kali ini gagasan penundaan pemilu mendatang dilontarkan oleh dua ketua umum partai politik Muhaimin Iskandar dari Partai Kebangkitan Bangsa dan Zulkifli Hasan dari Partai Amanat Nasional. Mereka berdalih pemilu diundur agar momentum perbaikan ekonomi akibat pandemi tidak hilang dan mengakibatkan sektor ekonomi mengalami penurunan karena terganggu oleh hajatan politik pemilu.
Penetapan Pemilu 2024 pada 14 Februari 2024 sebagaimana dicapai melalui rapat bersama antara Komisi II DPR RI, Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia, Komisi Pemilihan Umum, dan Badan Pengawas Pemilihan Umum seakan dianggap angin lalu oleh para penyokong gagasan penundaan pemilu 2024.
Meskipun demikian dalam sejarah pemilu di Indonesia, penundaan pemilu bukanlah hal baru, namun tentu alasan penundaannya punya dasar konstitusional yang jelas. Pada awalnya setelah UUD 1945 terbentuk, pemilu sudah direncanakan tahun 1946, tapi gagal karena selain Undang-Undangnya masih dalam proses penyusunan, keamanan pada saat itu juga belum stabil. Pemilu pertama baru dapat dilaksanakan pada tahun 1955 dengan landasan konstitusional UUDS 1950. Setelah pemilu 1955, seharusnya ada pemilu 1959, tapi ditunda ke tahun 1960, namun pada tahun 1960 kembali ditunda ke tahun 1962. Lalu tahun 1962 pun harus ditunda lagi ke tahun 1966, namun lagi-lagi pemilu 1966 ditunda ke tahun 1968. Pemilu tahun 1968 pun tertunda, pemilu nanti bisa dilaksanakan pada 1971. Jadi, praktik pemilu lima tahunan itu baru terjadi setelah pemilu 1971.
Mekanisme Konstitusional Penundaan Pemilu 2024
Mekanisme konstitusional penundaan Pemilu 2024 dapat ditempuh dengan dua cara. Pertama, mengamandemen UUD 1945. Kedua, bisa dilakukan dengan mengajukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). Judicial review di MK bisa menafsirkan makna konstitusi tertentu supaya dimaknai sebagai perkembangan zaman. Misalnya saja, orang bisa saja menggunakan uji ketentuan pasal 167 ayat 1 UU No.7/ 2017 untuk mengetahui boleh tidaknya pemilu dilaksanakan tidak lima tahun sekali.
Meskipun terbuka kesempatan untuk memuluskan wacana penundaan Pemilu 2024, untuk mewujudkannya bukanlah perkara yang mudah. Apalagi jika menggunakan mekanisme konstitusional dengan mengamandemen UUD 1945. Pasalnya, menunda Pemilu 2024 maka harus ditentukan pula bagaimana nasib Presiden, Wakil Presiden, dan anggota DPR-DPD yang masa jabatannya habis pada tahun tersebut. Hal itu harus diperjelas dengan menentukan siapa lembaga yang berhak memperpanjang masa jabatan Presiden, Wakil Presiden, dan anggota DPR-DPD. Jika hak untuk memperpanjang jabatan Presiden, Wakil Presiden, dan anggota DPR-DPD diberikan kepada MPR maka pasal dalam UUD 1945 yang mengatur soal lembaga tinggi negara ini juga harus diubah. Sebab, Pasal 3 ayat (2) dan (3) UUD 1945 yang berlaku saat ini hanya memberi kewenangan kepada MPR untuk mengubah dan menetapkan UUD 1945 dan melantik Presiden dan/ atau Wakil Presiden. Apalagi untuk mengubah pasal dan ayat demi penundaan Pemilu 2024 tanpa persetujuan rakyat, pasti akan menimbulkan kegaduhan politik yang dampaknya dapat mempengaruhi kehidupan berbangsa dan bernegara di seluruh pelosok Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selain itu, perlu juga untuk mempertimbangkan dam mewaspadai masuknya penumpang gelap dalam amandemen ke 5 UUD NRI 1945 dengan motif penundaan Pemilu 2024. Penumpang gelap itu adalah wacana presiden “tiga periode”. Akan muncul perdebatan, jika masa jabatan Presiden/ Wakil Presiden diperpanjang selama satu sampai dua tahun itu, artinya sama dengan satu periode. Sehingga Harus dijelaskan bagaimana keadaan negara yang pemimpinnya tidak ada. Presiden Wakil Presiden, DPR, dan DPD tidak lagi berkuasa, masa jabatan berakhir. Hukum harus mengatur bagaimana hukum tata negara mengatur kalau masa jabatannya berakhir.dengan kondisi seperti demikian, Jabatan Presiden dan Wakil Presiden dapat mengalami krisis konstitusional.
Negara Darurat (State of emergency) Jika Pemilu 2024 Ditunda
Menurut penulis, akan sangat berbahaya nantinya jika Presiden dan Wakil Presiden mengalami krisis konstitusional. Segala perintah dan kebijakan yang diambil akan rawan mendapatkan gugatan karena jabatan Presiden yang tidak mempunyai legitimasi hukum secara konstitusional. Selain itu, penulis berpendapat, ada hal yang paling mendasar dan sangat penting yang perlu kita renungi bersama, ketika nantinya pelaksanaan pemilu 2024 ditunda tanpa alasan konstitusional yang jelas. Ini akan menimbulkan kegaduhan bahkan kerusuhan di berbagai daerah sehingga negara dalam keadaan darurat. Sementara jabatan Presiden dan Wakil Presiden berakhir, maka terjadi kekosongan jabatan Presiden dan Wakil Presiden.
Kejadian ini sama sekali belum diatur dalam konstitusi yang diatur dalam UUD 1945 Pasal 8 ayat 2, yaitu tentang kekosongan Wakil Presiden. Begitupun dengan pasal 8 ayat 3 UUD 1945 hanya mengatur kekosongan jabatan jika Presiden dan Wakil Presiden mangkat, berhenti, diberhentikan, atau tidak dapat melakukan kewajibannya secara bersamaan, maka yang dapat melaksanakan tugas kepresidenan adalah Menteri Luar negeri, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pertahanan secara bersama-sama. Namun, ketika Presiden dan Wakil Presiden mengalami kekosongan jabatan karena masa jabatannya berakhir otomatis masa kerja kementerian-kementerian juga dianggap telah berakhir karena yang mengangkatnya adalah Presiden yang jabatannya juga telah berakhir. Ini sama sekali belum diatur dalam konstitusi. Jangan sampai kekosongan hukum tersebut mengakibatkan kudeta konstitusional atau kudeta yang diperintahkan oleh undang-undang. Maka pemerintahan dapat diambil alih oleh militer dalam hal ini Panglima TNI, KSAD, KSAU, KSAL dan pimpinan militer aktif lainya, sama seperti kejadian di Mesir beberapa tahun lalu. Kondisi tersebut bisa saja nantinya mengancam NKRI akibat kerusuhan yang terus terjadi di daerah-daerah. Menurut penulis, sekarang ini sebaiknya pemerintah segera mencari solusi, bagaimana caranya agar kudeta konstitusional tersebut tidak terjadi dan bagaimana caranya Pemilu 2024 dapat terlaksana dengan demokratis dan konstitusional. Sehingga legitimasi hasilnya dapat diterima oleh semua pihak tanpa harus menunggu timbulnya gejolak di masyarakat yang dapat mengakibatkan negara dalam keadaan darurat. Tentunya, kita berharap kejadian yang tersebut di atas tidaklah terjadi sehingga ini dapat memicu semangat para pihak untuk mewujudkan proses Pemilu 2024 yang jujur, adil, bebas, dan rahasia, serta dapat menciptakan pemilu yang demokratis dan bermartabat. Demi tercapainya keadilan hukum dan kesejahteraan masyarakat. ***