Beranda Nasional Hukum Surat Sekcam Ujungberung Menghidupkan Kohir Mati

Surat Sekcam Ujungberung Menghidupkan Kohir Mati

42
Kemunculan Kohir C 407 secara mendadak—dan diikuti oleh tindakan administratif Jana Surjana yang menyerahkan “berkas temuannya” kepada kelurahan—menghidupkan dokumen yang secara hukum dianggap mati, tidak sah, dan bahkan belum pernah dikenal sebelumnya.

Bandung, Laporan Investigatif – Sebuah surat administratif tertanggal 28 Nopember 2024 yang diterbitkan Drs. Jana Surjana, M.Si., Sekretaris Kecamatan Ujungberung, kini menjadi sorotan publik setelah diduga menjadi pintu masuk kebangkitan kembali dokumen pertanahan yang selama ini tidak diakui secara hukum: Kohir C 407 Persil D 251 atas nama Toyib bin Hasan. Surat tersebut bertanggal 28 November 2024, hanya tiga bulan menjelang pensiun Jana Surjana, dan ditujukan kepada pihak eksternal yang mengklaim sebagai ahli waris Toyib bin Hasan.

Isi surat menyatakan bahwa dalam proses peralihan ruang penyimpanan arsip pertanahan pada bulan November 2024, pihak kecamatan “menemukan” berkas Kohir C 407 dan karena objek tanah berada di wilayah Kelurahan Cigending, berkas tersebut akan diserahkan kepada kelurahan setempat melalui berita acara resmi. Sepintas, surat itu terdengar seperti bagian dari rutinitas birokrasi. Namun, sejumlah kejanggalan mengubah surat itu menjadi alat yang diduga kuat menjadi bagian dari skenario perampasan tanah sah milik warga.

Surat Biasa atau Manuver Terencana?
Dokumen Kohir C 407 yang disebut dalam surat itu bukan hanya tidak memiliki riwayat pencatatan resmi, tetapi juga tidak pernah tercantum dalam sistem administrasi pertanahan sejak zaman kolonial maupun pasca reformasi. Tanah yang disengketakan telah secara sah dan terus-menerus tercatat atas nama H. Bahroem bin H. Tajib dalam Kohir C 397, lengkap dengan dokumen pendukung dari Kelurahan dan Kecamatan.

Kemunculan Kohir C 407 secara mendadak, dan diikuti oleh tindakan administratif Jana Surjana yang menyerahkan “berkas temuannya” kepada kelurahan, menghidupkan dokumen yang secara hukum dianggap mati, tidak sah, dan bahkan belum pernah dikenal sebelumnya. Tidak hanya itu, surat tersebut juga tidak ditembuskan kepada Camat Ujungberung, Abriwansyah Fitri, AP, S.Sos., M.AP., yang merupakan atasan struktural Jana.

Langkah ini dinilai oleh banyak pihak sebagai bentuk pelampauan wewenang, dan lebih dari itu, merupakan bentuk penyelundupan legitimasi yang dapat digunakan pihak pengklaim untuk mengajukan klaim hukum atas tanah yang telah memiliki status kepemilikan tetap.

Jelang Pensiun, Motif “Bonus” Menguat
Beberapa kalangan menilai bahwa waktu penerbitan surat—hanya tiga bulan sebelum pensiun Jana Surjana—bukanlah kebetulan. Dalam sejumlah kasus agraria di berbagai daerah, fenomena pejabat yang mengeluarkan surat bernuansa transaksional menjelang masa pensiun kerap dikaitkan dengan “bonus pensiun”, istilah yang merujuk pada kompensasi informal dari pihak luar untuk memperlancar agenda mereka.

Biasanya dalam kasus seperti ini, surat administratif menjadi pembuka jalan untuk legalisasi bertahap. Sekali saja surat keluar dari institusi resmi, mafia tanah tinggal memoles dokumen pelengkapnya,” ujar seorang sumber di lingkaran birokrasi kecamatan yang meminta identitasnya dirahasiakan.

Kuasa hukum dari pihak ahli waris sah, Bernard Simamora, S.Si., S.IP., S.H., M.H., M.M., menyebut tindakan Jana sebagai pelanggaran serius terhadap asas administrasi pemerintahan. “Surat itu adalah instrumen kebohongan. Ia menghidupkan kembali dokumen palsu dan memberikan celah bagi mafia tanah untuk masuk ke sistem hukum,” ujar Bernard. Ia menambahkan bahwa timnya sedang mempersiapkan laporan resmi atas dugaan penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran administrasi berat, serta investigasi menyeluruh terhadap seluruh korespondensi internal yang berkaitan dengan Kohir C 407.

Lebih lanjut, Bernard juga menyatakan bahwa pihaknya akan mendesak Inspektorat Kota Bandung dan aparat penegak hukum untuk melakukan audit dan pemeriksaan terhadap seluruh tindakan Drs. Jana Surjana, M.Si. selama periode akhir masa jabatannya.

Menggugat Sistem Pengawasan Birokrasi

Kasus ini membuka kembali borok lama dalam tata kelola pertanahan di tingkat kecamatan. Ketiadaan sistem pengawasan internal yang memadai membuka ruang bagi pejabat, bahkan di level sekretaris kecamatan, untuk mengeluarkan surat yang memiliki konsekuensi hukum besar. Ketika seorang sekretaris kecamatan dapat menerbitkan surat pertanahan kepada masyarakat tanpa tembusan kepada camat, dan tanpa verifikasi dokumen oleh instansi pertanahan, maka sistem tersebut tidak hanya rentan, tetapi sudah bocor dari dalam.

Apa yang dilakukan Drs. Jana Surjana, M.Si.—jika terbukti dilakukan di luar prosedur dan melibatkan kolaborasi dengan pihak-pihak pengklaim tanah fiktif—bukan hanya persoalan disiplin birokrasi. Ini adalah cermin dari bagaimana sistem administratif dapat dimanipulasi, bahkan oleh satu tangan, untuk menghidupkan kembali dokumen-dokumen gelap demi kepentingan yang belum tentu berwajah tunggal.

PelitaIndo.News akan terus menginvestigasi kasus ini, termasuk menelusuri aliran dokumen, komunikasi internal, dan potensi keterlibatan aktor-aktor lain dalam pusaran ini. Sebab dalam kasus seperti ini, satu surat bisa menjadi pembuka jalan bagi hilangnya satu hak tanah yang sah.

(Tim Investigasi PelitaIndo.News)