Kajian

Salah Paham Tentang Tasawuf, Ini Pengertian Tasawuf Menurut Buya Nursamad Kamba

Buya Nursamad Kamba (Pakar Tasawuf UIN Sunan Gunung Djati Bandung)

Tasawuf sering kali dipahami secara keliru oleh sebagian orang. Banyak yang menganggapnya sebagai sekadar teori, rumus-rumus tertentu, atau bahkan aliran pemikiran tertentu yang harus diikuti. Namun, menurut Buya Nursamad Kamba, seorang pakar tasawuf dari UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Tasawuf bukanlah sekadar sebuah buku yang dibaca, atau sebuah teori yang diterapkan, melainkan sebuah pengalaman mendalam yang terkait dengan interaksi seorang hamba dengan Tuhan.
Dalam pandangan Buya Nursamad, tasawuf adalah saripati hidup seorang hamba yang terlibat secara total dalam interaksi dan kemesraannya dengan Tuhan. Dengan demikian, tasawuf bukanlah sesuatu yang hanya bisa dipelajari melalui pembacaan atau pengajaran teori belaka. Ia lebih merupakan pengalaman yang mendalam dan sangat personal, yang melibatkan seluruh aspek kehidupan—baik secara intelektual, psikis, maupun spiritual.
Menurut Buya Nursamad, ada dua perspektif yang berkaitan dengan tasawuf: tasawuf sebagai pengalaman tauhid (kemanunggalan dengan Tuhan) dan tasawuf sebagai ilmu yang menguraikan pengalaman sufistik.
Pertama, Tasawuf sebagai Pengalaman Tauhid atau Kemanunggalan dengan Tuhan
Perspektif pertama ini memandang tasawuf sebagai pengalaman spiritual yang mendalam, di mana seorang hamba merasakan kemanunggalan dengan Tuhan. Dalam pandangan ini, tasawuf adalah bentuk pewahyuan, yakni ketika Allah mengambil alih hamba-Nya dengan segala totalitasnya. Pewahyuan ini bisa terjadi secara intelektual, psikis, maupun spiritual, dan tidak serta-merta menjadikan seseorang menjadi nabi. Kenabian adalah pangkat yang merupakan hak prerogatif Allah, bukan semata-mata akibat dari pengalaman pewahyuan. Sebagai contoh, jika pewahyuan menjadi syarat kenabian, maka ibunda Nabi Musa dan lebah pun harus dianggap nabi, karena mereka juga menerima wahyu dari Allah.
Al-Zuhaili menggambarkan wahyu sebagai ilham atau bisikan makna yang ditanamkan Allah ke dalam hati seorang hamba, baik dalam keadaan sadar maupun melalui mimpi. Dengan demikian, wahyu adalah pengalaman yang sangat pribadi dan subjektif. Oleh karena itu, tasawuf dalam perspektif ini tidak bisa diajarkan atau diperdebatkan, karena sifatnya yang sangat individual dan tidak terikat pada teori.
Kedua, Tasawuf sebagai Ilmu yang Menguraikan Pengalaman Sufistik
Perspektif kedua melihat tasawuf sebagai sebuah ilmu yang menguraikan dan menjelaskan seluk-beluk pengalaman sufistik, seperti taraf-taraf spiritual, prosedur, serta proses-proses yang dialami oleh para praktisi tasawuf. Dalam konteks ini, tasawuf bisa diajarkan, dipelajari, dan bahkan diperdebatkan, karena ia bersifat dinamis dan ilmiah. Tasawuf sebagai ilmu dapat dipahami, diuraikan, dan diajarkan, sementara pengalaman subjektif individu tidak dapat diperdebatkan dengan cara yang sama seperti ilmu pengetahuan pada umumnya.
Misalnya, ketika tokoh sufi seperti al-Hallaj menyatakan, “Allah dalam jubbah ini” atau Ba Yazid mengatakan, “Akulah Sang Mutlak,” pernyataan tersebut merupakan ungkapan pengalaman sufistik yang sangat personal dan tidak dapat diperdebatkan. Perdebatan tentang pengalaman semacam itu akan terasa sia-sia, layaknya perdebatan mengenai pernyataan Qais, “Bulan Purnama adalah Laila.”
Menurut Buya Nursamad, meskipun banyak ilmuwan yang mempelajari tasawuf, mereka sering kali kekurangan pengalaman sufistik yang mendalam. Sebaliknya, ada juga banyak orang yang telah mengalami pengalaman sufistik tetapi tidak menyadarinya atau merasa tidak perlu mengungkapkannya. Idealnya, seseorang yang mengalaminya juga harus mampu menjelaskan dan menguraikan pengalaman tersebut secara ilmiah, sebagaimana terlihat pada diri para tokoh panutan tasawuf. Para sufi besar yang dicatat dalam karya Al-Sulami dan thabaqat-nya, misalnya, adalah contoh dari individu yang tidak hanya mengalaminya, tetapi juga mampu menjelaskan dan mengajarkan pengalaman tersebut kepada generasi berikutnya.
Ketiga, Tasawuf sebagai Tarekat: Perwujudan Praktis
Selain dua perspektif di atas, Buya Nursamad juga menambahkan perspektif lain, yaitu tasawuf sebagai tarekat. Tarekat merupakan perwujudan praktik dari kedua perspektif tersebut. Dalam tarekat, terdapat tasawuf sebagai ilmu yang bisa dipelajari dan diajarkan, serta tasawuf sebagai pengalaman yang harus dialami. Tarekat adalah jalan bagi seseorang untuk mencapai pengalaman langsung dengan Tuhan, melalui berbagai latihan spiritual yang melibatkan disiplin dan penghayatan yang mendalam terhadap ajaran-ajaran Islam seperti niat, ikhlas, tauhid, amanah, jujur, dan ridha.
Ajaran-ajaran ini jelas merupakan warisan kehidupan Rasulullah SAW, yang dijalankan oleh para sufi sebagai implementasi praktis dari nilai-nilai tersebut dalam kehidupan sehari-hari.
Secara keseluruhan, Buya Nursamad Kamba mengajak kita untuk memahami tasawuf bukan hanya sebagai sebuah teori atau aliran pemikiran, tetapi sebagai suatu pengalaman mendalam yang melibatkan seluruh kehidupan seorang hamba dalam berinteraksi dengan Tuhan. Tasawuf sebagai ilmu dan pengalaman berjalan beriringan, dan tarekat menjadi jalan praktis untuk mewujudkan keduanya. Oleh karena itu, pemahaman yang tepat tentang tasawuf sangat penting untuk menghindari kesalahpahaman yang bisa memperburuk pemahaman kita tentang ajaran spiritual dalam Islam. ***