Beranda Kajian Refleksi Setengah Serius atas Penelitian Mahasiswa Ma’had Aly

Refleksi Setengah Serius atas Penelitian Mahasiswa Ma’had Aly

352
Oleh: Arif Fahrijal (Himasal Muda Brebes)

Mari kita akui satu hal dengan jujur: berharap banyak dari tulisan mahasiswa Ma’had Aly itu seperti berharap ayam bisa berenang gaya kupu-kupu. Bukan karena ayamnya bodoh, tapi memang tidak pernah diajarkan berenang.

Begitu pula mahasiswa kita. Mereka cerdas, rajin, bahkan hafal Alfiyah hingga baris-baris yang kita pun tidak tahu ada. Tapi begitu disuruh menulis hasil penelitian? Mereka lebih gugup daripada saat ditanya “Apa fā‘il dari fi‘l ini?” oleh dosen Nahwu yang baru sarapan kopi pahit.

Tentu, tidak sepenuhnya salah mereka. Sistem pendidikan kita pun belum memberi pupuk yang layak. Fasilitas? Masih numpang warnet. Referensi? Kitab kuning, Qur’an, dan satu-satunya buku metodologi penelitian yang dipinjam sejak semester dua dan belum dikembalikan. Pengajaran menulis ilmiah? Sekilas lewat saat dosen sedang butuh selingan dari rutinitas ngaji.

Di Ma’had Aly memang diajari menulis—menulis pegon, menyalin teks klasik dengan tinta tebal yang suka bleber. Tapi menulis argumen? Menyusun gagasan? Itu soal lain. Membedakan kalimat argumentatif dengan informatif saja, kadang seruwet memilah āmil dalam bāb tanāzu‘. Lebih pusing daripada menghafal bait-bait Alfiyah yang barisnya mirip semua.

Padahal, dalam dunia ilmiah, kalimat argumentatif itu penting: menyampaikan gagasan, membela pendapat, atau membantah pandangan lain dengan logika. Tapi yang sering ditemukan justru paragraf panjang yang naratif, deskriptif, ngalor-ngidul, tanpa posisi. Seperti proposal nikah yang belum tahu calon pasangannya.

Akhirnya, mahasiswa menulis seperti mereka berdakwah di mimbar: panjang, penuh kutipan, dan kadang tanpa simpulan. Tapi mereka tetap percaya diri. Sebab ukuran keberhasilan bukan nilai A atau publikasi jurnal, tapi “yang penting niatnya lillah”. Indikatornya? Di langit, katanya.

Tentu kita bisa tertawa. Tapi mari juga bercermin. Jika kita ingin mereka menulis seperti sarjana, maka beri mereka ekosistem sarjana: bimbingan yang sabar, pembinaan yang konsisten, fasilitas yang memadai (bahkan jika perlu, kreditkan laptop), dan yang paling penting—pengakuan bahwa menulis adalah bagian dari jihad intelektual.

Maka jika tulisan mereka masih amburadul, jangan buru-buru mencibir. Bisa jadi, mereka sedang menulis dengan tinta tak kasat mata—yang hanya bisa dibaca oleh malaikat, bukan oleh dosen pembimbing.***


Eksplorasi konten lain dari aswajanews

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.