Rupanya masih banyak yang belum paham ihwal Walk-Out (WO) dalam suatu sidang di parlemen. Seperti yang baru-baru ini (Jumat 26 November 2021) dilakukan oleh 3 Anggota Legislatif (ALeg) dari Partai Solidaritas Indonesia (PSI) di DPRD Kota Bandung. Ketiganya adalah Christian Julianto, Erick Darmajaya dan Yoel Yosaphat. Dalam sidang paripurna DPRD Kota Bandung mereka melakukan WO, kenapa?
Intinya adalah soal postur anggaran (APBD) yang tidak memihak rakyat. Namun sebelumnya mendalaminya, ada baiknya kita mengenal dulu anatomi DPRD Kota Bandung (periode 2019-2024) yang berisi 50 kursi. Begini komposisinya: PKS (13 kursi; 26%), Gerindra (8 kursi; 16%), PDIP (7 kursi; 14%), Golkar (6 kursi; 12%), Nasdem (5 kursi; 10%), Demokrat (5 kursi; 10%), PSI (3 kursi; 6%), PKB (2 kursi; 4%), PPP (1 kursi; 2%). Adapun Pemerintah Kota (PemKot) Bandung (periode 2018-2023) dipimpin seorang Walikota yang saat ini dijabat oleh H. Oded Mohamad Danial,S.A.P (Mang Oded) dari Partai PKS.
Sebelum menjabat Walikota, Mang Oded adalah Wakil Walikotanya H. Ridwan Kamil di periode 2013-2018. Ia juga pernah jadi Ketua Majelis Pertimbangan Wilayah DPW PKS Jawa Barat, 2015-2020. Sedangkan Wakil Walikotanya adalah H. Yana Mulyana, S.E. (Kang Yana). Latar belakangnya pengusaha. Ia pendiri Radio Rase FM, pernah jadi Ketua DPD REI Jawa Barat, Ketua HIPMI Jawa Barat, Sekretaris Dewan Pertimbangan Kadin Jawa Barat, juga Ketua PSSI Kota Bandung dan Ketua Generasi Muda FKPPI.
Kembali ke peta parlemen (DPRD) Kota Bandung. Jadi “kekuatan” ketiga ALeg PSI itu hanya 6% melawan 94% ALeg lainnya. Sehingga kalau pun mesti voting, jelaslah suara rakyat akan kalah.
Kenapa disebut suara rakyat? Sederhana, karena PSI memprotes postur APBD yang sama sekali tidak berpihak kepada rakyat. Berikut penjelasannya. Dalam RAPBD 2022 Kota Bandung, dikatakan bahwa anggaran belanja modalnya hanya Rp 626 miliar. Ini artinya cuma 9,41%, dimana angka idealnya adalah sekitar 30-40% dari APBD.
Kalau disoroti lebih khusus lagi soal belanja modal untuk jalan, jaringan, dan irigasi, bahkan hanya Rp 112,9 miliar atau 1,69% dari total APBD. Sementara itu, di sektor yang tidak penting seperti tunjangan perumahan pejabat malah naik sebesar Rp 20 juta! Termasuk soal anggaran belanja pegawai yang sudah sangat besar dan terus naik dari tahun ke tahun. Pendeknya, APBD (uang rakyat) habis untuk belanja pegawai saja. Dampaknya untuk masyarakat? Nihil!
Sudah terlihat ketidak berpihakannya bukan? Dimana persoalan besar Kota Bandung seperti banjir, transportasi umum, dan penanganan sampah jadinya tidak tersentuh dalam kebijakan Walikota selama ini.
Kenapa sampai akhirnya ketiga ALeg PSI itu WO dari sidang paripurna adalah juga lantaran kejadian ini bukan yang pertama kali. Dicatat bahwa ALeg PSI itu sudah mengikuti pembahasan dan penyusunan APBD dari sejak mereka dilantik Agustus 2019 lalu. Sejak itu mereka tidak menemukan adanya visi kota yang jelas dari pihak eksekutif (Walikota).
Arah pembangunan Kota Bandung tidak jelas, ini seperti kota auto-pilot. Tidak terasa ada pembangunan yang signifikan, malah makin semrawut dan tidak terurus. Taman-taman dan infrastruktur fisik yang dulu sempat dibanggakan warga Bandung, sekarang kondisinya menurun, alias tidak terawat. Belum lagi kita bicara soal inovasi dan gebrakan demi mengatasi disparitas (kesenjangan) sosial serta pemulihan ekonomi.
Mengacu pada data BPS 2020, jumlah penduduk miskin bertambah 15.000 orang, diikuti tingkat kedalaman kemiskinan juga naik dari 0,53 menjadi 0,61 di tahun 2020. Nah! Sekarang kita bisa memahami, mengapa ketiga ALeg PSI itu tidak dapat menyetujui RAPBD 2022 yang sudah disusun. Lantaran postur dan komposisi anggaran sama sekali tidak menunjukkan transformasi. Apalagi soal transparansi anggaran, masih jauh panggang dari api! PemKot Bandung nyatanya gagal membawa perubahan. Hanya stagnasi dan bahkan kemunduran yang ada.
Lalu, apakah dengan WO ini ketiga ALeg PSI itu bisa membawa perubahan? Nah ini dia. Kita sudah tahu bahwa “kekuatan” ketiga ALeg PSI itu hanya 6%, dan mereka mesti “melawan” kekuatan 94% (PKS, Gerindra, PDIP, Golkar, Nasdem, Demokrat, PKB dan PPP) di parlemen Kota Bandung.
Kecil memang, tapi itulah sejatinya wakil rakyat yang mewakili suara rakyat, mewakili kepentingan rakyat. Berani menyuarakan dengan lantang, walau di tengah sunyinya padang gurun.
Mekanisme WO dalam hukum ketatanegaraan Indonesia merupakan bagian dari fenomena demokrasi. Itu dilakukan anggota parlemen manakala terjadi perbedaan pendapat dalam persidangan yang tidak mencapai kesepakatan. WO adalah salah satu mekanisme mempertahankan pendapat.
Idenya bahwa WO ini seyogianya bisa mempengaruhi kuorum yang diperlukan dalam pengambilan keputusan sidang. Walaupun, anggota parlemen yang melakukan WO memang tidak dapat mempengaruhi hasil keputusan sidang manakala ternyata kuorum tetap mencukupi. Hal lain yang mesti kita sadari adalah bahwa proses sampai terjadinya WO oleh ketiga ALeg PSI itu tentu bukan perjalanan yang pendek. Bukan seketika itu di sidang paripurna, tapi sudah melewati proses perdebatan (adu argumentasi) serta mungkin lobbying yang cukup memakan waktu, tenaga dan pikiran.
WO itu terjadi sebagai upaya terakhir ALeg PSI untuk membela kepentingan rakyat dengan mempertahankan pendapatnya. Ini adalah signal yang kuat. Signal kepada seluruh rakyat yang diwakilinya, juga kepada seluruh rakyat Indonesia yang peduli terhadap nasib bangsa ini.
Kasus WO di parlemen Kota Bandung adalah pelajaran penting dalam proses pendidikan politik bangsa ini. Pelajaran tentang betapa kita tidak boleh acuh dan tidak peduli dengan proses politik dalam memilih wakil-wakil rakyat (pileg). Juga pelajaran penting tentang transparansi anggaran.
Apakah Pemerintah Kota Bandung sudah transparan dalam pengelolaan uang rakyat? Misalnya, sudahkah mereka mengunggah keseluruhan proses penganggaran ke situs resmi PemKot? Diunggah sejak KUA-PPAS (Kebijakan Umum APBD – Prioritas dan Plafon Anggaran Sementara), secara rinci sampai satuan harga ketiga (satuan barang). Dan akhirnya juga sampai ke realisasi penggunaannya.
Kita masih ingat pesan dari Kofi Annan (mantan Sekjen PBB) yang bilang, “If corruption is a disease, transparency is a central part of its treatment.” Akhirnya, upaya WO ketiga ALeg PSI yang cuma 6% di DPRD Kota Bandung itu mungkin saja tenggelam oleh ulah 94% ALeg lainnya.
Tapi paling tidak, suara rakyat yang parau serta volumenya kecil itu telah mendapat amplifikasi yang cukup.
Tinggallah kita semua, apakah bisa belajar dari kejadian ini? Untuk tidak lagi mengulanginya. Dulu pernah ada yang bilang (entah siapa), “Dumb politicians are not the problem. The problem are the dumb people that keep voting for them.” (28/11/2021) *Andre Vincent Wenas, Pemerhati Ekonomi-Politik.