Selama ini narasi besar tentang pesantren sering kali menampilkan hanya bertumpu pada kehadiran khasmatik pada sosok kiai, pengasuh, dan para santri putra sebagai tokoh utama. Namun di balik itu semua, ada kekuatan sosial yang tidak kalah penting yakni perempuan pesantren. Mereka adalah para santriwati, ustadzah, ibu nyai, dan kader organisasi perempuan berbasis pesantren yang diam-diam menggerakkan roda perubahan sosial pada level akar rumput. Peran mereka sering tidak tercatat, tetapi dampaknya terasa nyata dalam kehidupan masyarakat.
Perempuan pesantren bukan hanya “penjaga dapur pesantren” seperti sebuah stereotip yang lama melekat. Mereka telah menjelma menjadi penjaga nilai dan penggerak perubahan sosial. Dengan bekal ilmu agama, karakter kesabaran, dan kedekatan emosional dengan masyarakat, perempuan pesantren mampu menghadirkan model kontribusi sosial yang lebih lembut, komunikatif, dan membumi. Mereka tidak berteriak lantang di ruang publik, tetapi bekerja sunyi dengan kesungguhan yang tak terbantahkan.
Di berbagai daerah, gerakan perempuan pesantren mengambil bentuk yang sangat beragam. Ada yang menginisiasi kelas literasi untuk anak-anak kampung, menghidupkan kembali budaya membaca di tengah gempuran gawai. Ada pula yang terjun dalam pendampingan perempuan korban kekerasan, menghadirkan ruang aman bagi mereka yang selama ini terbungkam oleh kultur patriarki. Bahkan di desa-desa pinggir kota, santriwati menjadi pelopor program kesehatan reproduksi remaja, menjelaskan isu yang sering dianggap tabu dengan pendekatan agama yang menenangkan.
Di bidang ekonomi, perempuan pesantren juga tidak tinggal diam. Mereka mendampingi ibu-ibu rumah tangga membuat usaha rumahan, mengajarkan pemasaran digital, hingga mengelola koperasi perempuan. Banyak yang mengubah dapur pesantren menjadi ruang produksi UMKM, menyulap keterbatasan menjadi sumber pendapatan yang memberdayakan. Gerakan ini bukan hanya meningkatkan ekonomi keluarga, tetapi juga menumbuhkan rasa percaya diri pada perempuan akar rumput.
Yang menarik, gerakan kontribusi sosial yang mereka lakukan bukan gerakan massif dengan kampanye besar-besaran. Justru kekuatannya terletak pada kedekatan emosional dan relasi sosial yang intim. Perempuan pesantren hadir sebagai teman bicara, tempat bertanya, sekaligus teladan. Mereka tidak hanya memberikan jawaban, tetapi juga menghadirkan kehangatan nilai keagamaan yang memulihkan. Dalam konteks masyarakat yang tengah mengalami disrupsi teknologi, polarisasi, dan kecemasan sosial, peran ini menjadi sangat penting.
Lebih jauh, perempuan pesantren juga menjadi benteng moral bagi generasi muda.
Di media sosial, mereka memproduksi konten edukasi yang humanis, mengkampanyekan literasi digital, bahkan meng-counter narasi radikal dan kekerasan berbasis agama. Dakwah mereka tidak kaku, tetapi lentur dan menenangkan. Mereka adalah wajah Islam yang ramah, cerdas, dan merangkul wajah yang sangat dibutuhkan Indonesia hari ini.
Pada titik ini, kita harus mengakui bahwa perempuan pesantren bukan lagi “aktor pendukung”. Mereka adalah aktor utama dalam pembangunan sosial berbasis komunitas. Gerakan yang mereka jalankan membuktikan bahwa perubahan besar dapat dimulai dari langkah-langkah kecil, dari ruang-ruang sunyi, dari tangan-tangan yang bekerja dengan ketulusan.
Jika negeri ini ingin membangun masyarakat yang kuat, inklusif, dan berkeadilan, maka kita tidak bisa lagi meminggirkan kontribusi perempuan pesantren. Justru dari merekalah kita belajar bahwa kekuatan sosial tidak selalu datang dari panggung besar, tetapi juga dari gerakan sederhana yang dilakukan dengan hati yang tulus.
Terakhir yang ingin saya sampaikan, Gerakan sosial perempuan pesantren bekerja melalui pendekatan yang lembut dan membumi, sehingga mudah diterima oleh masyarakat akar rumput. Mereka tidak mengubah masyarakat dengan retorika lantang, melainkan melalui tindakan-tindakan kecil yang konsisten dan penuh ketulusan. Inilah yang menjadikan kontribusinya begitu kuat dan berkelanjutan.
Pada era modern yang penuh tantangan mulai dari disrupsi digital hingga krisis moral kehadiran perempuan pesantren menjadi penyangga nilai dan stabilitas sosial. Mereka bukan lagi figur pendukung, tetapi aktor utama dalam menciptakan masyarakat yang inklusif, berdaya, dan berkeadaban. Oleh karena itu, pemberdayaan dan penguatan kapasitas perempuan pesantren bukan hanya sebuah kebutuhan, tetapi strategi penting dalam membangun masa depan sosial yang lebih adil dan humanis.
Dengan segala gerakan nyata yang mereka lakukan, perempuan pesantren telah membuktikan bahwa perubahan besar sering lahir dari ruang-ruang kecil dan tangan-tangan sederhana. Mereka adalah simbol harapan, kekuatan moral, dan energi perubahan yang patut dihargai serta didukung sepenuhnya. ***
Eksplorasi konten lain dari aswajanews
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.





























