
Bandung, AswajaNews.Id | Tim kuasa hukum Muhammad Arifin, pengusaha kerudung pemilik brand “Jena Fala”, menyatakan keberatan keras atas pelaporan pidana terhadap klien mereka dalam perkara dugaan penggelapan dalam jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 374 KUHP. Laporan tersebut teregistrasi dengan nomor LP/B/130/III/2024/SPKT/POLDA JAWA BARAT. Namun menurut tim hukum, laporan ini cacat secara yuridis karena tidak satu pun unsur pidananya terpenuhi.
Dalam keterangan resmi pada Kamis, 26 Juni 2025, Kantor Hukum BSDR & Rekan menyatakan bahwa Arifin telah secara sah mengundurkan diri dari CV Jess Tex Indonesia sejak 1 Februari 2024 melalui akta jual beli saham. Sejak tanggal tersebut, ia tidak lagi memiliki jabatan ataupun kedudukan hukum dalam perusahaan. Bahkan, CV Jess Tex Indonesia disebut tidak pernah dijalankan sebagai entitas usaha riil, melainkan hanya terdaftar secara administratif dalam akta notaris.
“Klien kami tidak lagi menjabat saat transaksi yang dipersoalkan terjadi. Tidak mungkin unsur ‘jabatan’ dapat dipaksakan dalam situasi tersebut. Terlebih, CV Jess Tex secara faktual tidak pernah beroperasi,” tegas Bernard Simamora, S.Si., S.IP., S.H., M.H., M.M., kuasa hukum Arifin.
Menurut Bernard, dana yang dipersoalkan bukan merupakan objek tindak pidana, melainkan bagian dari transaksi bisnis biasa antara usaha Jena Fala dengan mitra produksi. Seluruh pembayaran dilakukan secara terbuka, tercatat, dan sebagian besar telah dilunasi. Sisanya berkaitan dengan koreksi retur dan komisi yang justru belum dibayarkan oleh pihak pelapor kepada kliennya.
“Tidak ada niat jahat, tidak ada penguasaan secara diam-diam, dan tidak ada kerugian nyata yang dibuktikan. Yang terjadi hanyalah perselisihan dagang biasa yang semestinya diselesaikan secara perdata, bukan dipidanakan,” katanya.
Tim hukum juga menyoroti kejanggalan laporan yang dibuat oleh Rika Zakaria, staf dari pihak pelapor. Mereka mempertanyakan siapa yang sebenarnya memberi perintah atau menyusun laporan tersebut. “Jika laporan ini atas perintah struktural, maka aktor intelektualnya juga wajib diperiksa,” ujar Bernard.
Dalam konteks ini, dua nama yang disebut sangat relevan adalah Anggun Selpi Yulianawati, Wakil Presiden Direktur CV Jess Tex Indonesia, dan Mansur Jansen Lumenta, Komisaris sekaligus pemilik pabrik Jovin dan pemegang saham mayoritas CV Jess Tex. Anggun bahkan mengaku secara terbuka sebagai pelapor dalam percakapan internal perusahaan, sedangkan Mansur disebut sebagai pengendali keuangan dan alur kebijakan dalam seluruh kerja sama bisnis yang berlangsung.
“Pemeriksaan hanya terhadap staf administratif tidak cukup. Kami mendesak agar penyidik Polda Jawa Barat juga memeriksa Anggun Selpi dan Mansur Jansen, karena mereka bukan sekadar tokoh bayangan, mereka adalah pengendali struktur,” tegas Bernard.
Mardi Malau, anggota tim hukum, menyebut bahwa pelaporan ini muncul tak lama setelah Arifin menyatakan keluar dari kerja sama usaha dan memilih jalur independen. “Kami melihat ini bukan bentuk penegakan hukum yang murni, melainkan tekanan dan bentuk kriminalisasi terhadap langkah usaha yang sah.”
Senada, Banelaus Naipospos, S.H., M.H., menyatakan bahwa perkara ini merupakan murni sengketa bisnis dan tidak layak dibawa ke ranah pidana. Ia menekankan pentingnya prinsip ultimum remedium dalam hukum pidana — bahwa pidana adalah jalan terakhir, bukan alat pertama.
“Selama masih tersedia jalur musyawarah, audit bersama, atau gugatan perdata, maka pidana tidak semestinya digunakan. Jika tetap dipaksakan, ini adalah bentuk penyalahgunaan hukum,” tegasnya.
Atas dasar itu, tim kuasa hukum saat ini tengah menyiapkan laporan balik dan gugatan perdata terhadap pelapor serta pihak-pihak yang diduga sebagai inisiator laporan, atas dugaan pengaduan palsu, pencemaran nama baik, serta penyebaran informasi bohong melalui media daring WartaJabar.online dan media komunikasi elektronik lainnya.
Langkah hukum ini didasarkan pada:
- Pasal 317 KUHP (Pengaduan Palsu).
- Pasal 310 dan 311 KUHP (Pencemaran Nama Baik dan Fitnah).
- Pasal 220 KUHP (Laporan Palsu).
- Pasal 27 ayat (3) UU ITE (Distribusi Informasi Elektronik yang Merugikan Reputasi).
“Kami tidak akan tinggal diam. Jika laporan ini dibuat tanpa dasar hukum yang sah, lalu digunakan untuk membentuk opini menyesatkan di ruang publik, maka semua pihak yang terlibat harus dimintai pertanggungjawaban. Hukum tidak boleh dijadikan alat untuk membalas dendam bisnis,” tutup Bernard Simamora. (Anas)
Eksplorasi konten lain dari aswajanews
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.