Dalam beberapa dekade terakhir, banyakbermunculan Lembaga-lembaga Pendidikan islam yang konsen atau fokus pada program hafalan al-quran, sepertipesantren tahfidz, markaz tahfidz, rumah tahfidz, sekolah-sekolah dasar dan menengah yang membukaprogram takhossus tahfidz, dan bahkan ada beberapalembaga tahfidz instan yang menawarkan program tahfidz kilat, mislanya program hafal al-quram dalamtiga bulan. Lembaga-lembaga seperti itu yang menjamurdi berbagai daerah, khususnya di jawa barat menjadipilihan populer bagi orang tua yang menginginkananaknya menjadi hafidz Al-Qur’an. Prestise hafalan 30 juz seringkali dipandang sebagai puncak keberhasilanpendidikan Islam, bahkan menjadi tolok ukur utamadalam menilai keberhasilan lembaga pendidikan tersebut. Namun di balik fenomena ini, muncul sebuah paradoksyang mengkhawatirkan, yaitu banyak santri yang berhasil menghafal Al-Qur’an dengan cepat, tetapi minim dalam kemampuan tafaqquh fiddin, yakni memahami, menghayati, dan mengamalkan isi kandungan Al-Qur’an dalam kehidupan sehari-hari.
Kesenjangan antara hafalan dan pemahaman inibukan hanya menjadi persoalan akademis, tetapi juga berdampak pada ketidaksiapan para hafidz dalammenjadi agen penerang dan pembawa nilai-nilai Al-Qur’an di tengah masyarakat. Al-Qur’an yang semestinyamenjadi pedoman hidup, justru tereduksi menjadisekadar hafalan teks tanpa ruh yang menggerakkan amalsaleh. Menurut pandangan penulis, fenomena lahirnyabanyak Lembaga tahfidz al-quran yang tidak seimbangantara hafalan dan penguatan tafaqquh fiddin atas ilmual-quran disebabkan karena dua faktor utama, yaitumunculnya paradigma atau pola berfikir pragmatis di sebagian Masyarakat, bahwa menghafal al-quran menjadiinstrument utama dalam membentuk kesalihan individu, keluarga, atau komunitas. Cara berfikir tersebut tidaklain terbentuk karena arus informasi keagamaan yang diperoleh sebagian masyarakat dari tayangan pengajianvirtual, media sosial, cuplikan video terkait, kajian-kajianluring yang dilakukan oleh sebagian ustadz influencer yang mengatasnamakan “kajian sunnah”, dan tontonanlomba-lomba tahfidz al-quran di salah satu tv nasional.
Faktor utama kedua adalah respon pasar ataslahirnya paradigma baru tersebut dengan caramemfasilitasi semangat keagamaan mereka melaluiwadah-wadah lembaga pendidikan yang menawarkandan menjanjikan pembinaan tahfidz al-quran sebagaimisi utamanya. Tagline takhosuus tahfidz menjadimarketing utama lembaga-lembaga tahfidz al-quran yang menjamur di berbagai daerah dalam memikat dan menarik peserta didik baru. Hal tersebut seolah-olahingin menajwab kebutuhan masyarakat yang sudahbanyak terpolarisasi pemikiran mereka terkait hafal al-quran bisa membentuk kesalehan dan menjadi “tiketsurga” bagi para orang tuanya. Dua faktor tersebutakhirnya membentuk satu pola prgamatis, yaitu salingmewadahi antara orang tua yang bercita-cita anaknyahafalan al-quran dan pihak penyelenggara pendidikan ala tahfidz yang fokus mengembangkan “bisnis”pendidikan.
Jika membaca dan menelaah ke belakang (sekitartahun 90an ke belakang), bahwa Pendidikan tahfidz al-quran juga sudah banyak berdiri dan dikembangkan oleh para kyai di pondok pesantren dengan program utama al-quran yang memiliki visi melahirkan para penghafal al-quran, maka akan ditemukan perbedaan pola Pendidikan tahfidz al-quran antara pesantren tahfidz zaman dulu dan pesantren tahfidz dewasa ini. Zaman dulu, pesantrentahfidz al-quran tidak tidak hanya fokus melahirkan para hufadz, tapi juga mendidik mereka dengan pendalaman-pendalaman kitab kuning yang intensif dan mengkar, sehingga semangat menghafal al-quran seimbang dengansemangat tafaqquh fiddin di kalangan para hufadz. Pesantren tahfidz al-quran dulu tidak hanya melahirkanpara penghafal al-quran saja, tapi lebih dari itu lahir daripesantren-pesantren tersebut para ahli tafsir dan ahli fikihyang hafal al-quran.
Pesantren-pesantren yang tidak hanya mencetakpara hafidz, tetapi juga melahirkan ulama-ulama yang mendalam pemahaman dan pengamalannya terhadap Al-Qur’an yang didirikan oleh para kyai terdahulu itubanyak sekali. Di Jawa Tengah, misalnya, pondokpesantren Yanbu’ul Qur’an Kudus menjadi salah satupesantren terkemuka yang konsisten melahirkan generasiQur’ani yang menguasai hafalan sekaligus tafaqquhfiddin. Pesantren ini menjadi rujukan nasional dalampengajaran Al-Qur’an yang berimbang antara hafalan, pemahaman, dan akhlak Qur’ani. Di Jawa Timur, pondokpesantren Madrasatul Qur’an Tebuireng, Jombang juga menjadi pusat pembinaan para calon ulama Al-Qur’an yang tidak hanya fokus pada tahfidz, tetapi juga pada pendalaman ilmu tafsir, qira’at, dan fiqih sebagaimanatradisi kuat yang diwariskan oleh KH. Hasyim Asy’ari. Selain itu, ada pondok pesantren Al-Furqan di Lamonganturut memberi kontribusi dalam melahirkan hafidz yang memahami makna dan ajaran Al-Qur’an secara utuh.Sementara itu di Yogyakarta, ada pondok pesantren al-Munawwir Krapyak yang menjadi salah satu lembagayang menonjol dengan pendekatan pendidikan Al-Qur’an yang seimbang antara hafalan, pemahaman, dan pengamalan nilai-nilai keislaman dalam kehidupansehari-hari. Pesantren ini dikenal sebagai pelanjut tradisipesantren di Jawa yang memadukan tahfidz, tafsir, dan kajian kitab kuning.
Begitulah seharusnya system Pendidikan al-quranyang sejatinya diprogramkan oleh para pendiri Lembaga-lembaga Pendidikan islam saat ini, bahwa al-quran bukanhanya dihafalkan saja, tapi juga harus dipahami ilmu-ilmunya. Memahami ilmu-ilmu al-quran menuntut untukmengintegrasikan program pesantren atau Lembaga Pendidikan islam terkait al-quran dengan pembelajarankitab-kitab kuning, sebagai upaya nyata mewujudkantafaqquh fiddin untuk melahirkan generasi yang benar-benar qurani, yaitu generasi yang memahmi ilmu agama dengan mendalam, mengamalkannya dalam kehidupansehari-hari, dan hafal terhadap al-quran. Itulah program al-quran yang sejatinya diajarkan oleh nabi Muhammad saw, dilanjutkan oleh para sahabatnya, dan dijagatradisinya oleh para kyai. Abu musa al-asy’ari, seorangsahabat nabi Muhammad saw menyampaikan sebuahpidato di hadapan kurang lebih tiga ratus para ahli al-quran, yaitu; “al-quran ini bagi kalian bisa menjadiinvestasi menguntungkan, begitu juga bisa menjadisenjata yang membahayakan, maka ikutilah nilai-nilaial-quran, bukan menjadikan al-quran sebagai programuntuk membuat kalian mendapatkan dunia”. ***
Eksplorasi konten lain dari aswajanews
Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.