Warga NU sebagai bagian dari warga negara Republik Indonesia memiliki hak yang sama dalam berpolitik. Hal tersebut sesuai dengan amanat Undang-undang sebagai kekuatan hukum negara yang melindungi hak warga negara termasuk waras NU atau yang disebut nahdliyin.
Sebagai Ormas keagamaan atau yang saat sekarang disebut perkumpulan, NU secara organisatoris mengedepankan politik kebangsaan yang dilandasi dengan moralitas etika berpolitik. Inilah sebagaimana yang termaktub dalam Pedoman berpolitik bagi warga NU.
Politik kebangsaan yang diperankan oleh NU tentu tidak sekedar ramai saat pemilu, namun pemilu menjadi bagian dari tahapan mewujudkan politik kebangsaan. Oleh karena itu landasan moralitas dalam berpolitik pedoman warga nahdliyin bukan hanyandalam melaksasaatuj hak politiknya dalam hal ini pemilu namun juga berlanjut saat mengawal kebijakan politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Akan tetapi banyak orang menterjemahkan Pedoman berpolitik bagi warga NU hanya berlaku pada saat Pemilu atau pesta demokrasi lima tahunan. Selebihnya pasca pemilu tentang kebijakan negara diserahkan kepada para pejabat dan wakil rakyat yang pdenganuuu
Padahal berpolitik itu bukan terpaku kepentingan sesaat atau yang disebut dg pragmatisme atau oportunisme. Proses pengawalan kebijakan politik dibutuhkan peran serta konstituen yang berkontribusi dalam pdenganuu
Dalam sistem demokrasi dengan asas dari rakyat, oleh rakyat dan untk rakyat, pemilihan umum merupakan salah satu mekanisme kehidupan berdemokrasi. Dengan dalih dari rakyat, maka keputusan demokrasi diukur sesuatu denganu banyaknya dukungan suara. Sementara masyarakat kita dalam taraf ekonomi masih tergolong rendah, sehingga transaksi politik menjadi kekuatan utama.
Disinilah yang sering terjadi transaksi politik sesaat untuk meraih sebuah kemenangan dalam kontestasi demokrasi. Sementara pengetahuan tentang transaksi politik sebagian besar masih terpaku pada nilai matrial, tidak mempertimbangkan kualifikasi pemimpin yang akan kita pilih. Hal ini salah satunya dipengaruhi oleh tingkat SDM dan pendidikan masyarakat yang masih rendah.
Brebes sebagai kabupaten yang memiliki warga NU terbesar tentu bisa menjadi kekuatan politik dalam Pemilu 2024. Untuk menuju kekuatan tersebut dibutuhkan pengetahuan dan kesepahaman yang tidak terjerembab dalam transaksi politik perorangan yang diperankan oleh tokoh atau figur tertentu. Kekuatan bersama dalam konteks sebagai warga negara yang memiliki hak berpolitik lebih diarahkan kepada nilai nilai kepentingan kebangsaan.
Tafsir politik kebangsaan pada satu sisi menjadi nilai tawar yang tinggi, namun disisi yang lain akan berakibat pecahnya kekuatan NU. Adagium ada dimana mana dan tidak kemana mana menjadikan warga nahdliyin bisa menjadi seperti buih di tengah lautan. Kita harus berusaha bagaimana agar buih menjadi permadani, sehingga bisa bermanfaat dan masalahat untuk rakyat.
Untuk menuju kepada cita cita tersebut dibutuhkan kecerdasan dan persatuan serta komitmen bersama dalam berpegang teguh pada nilai nilai kesantunan berpolitik. Cerdas dengan memahami pilihan yang tidak terkontaminasi dengan kepentingan subyektivitas atau kelompok tertentu.
Persatuan dalam bingkai ukhuwah nahdliyin akan menjadi kekuatan mewujudkan NU dalam bargaining untuk lima tahun kedepan. Tanpa. Persatuan tentu kekuatan politik nahdliyyin akan dimanfaatkan oleh pihak pihak tertentu demi kepentingan pragmatis.
Sikap komitmen menjadi energi batin yang secara kolektif akan menjelma dalam menjaga kebersamaan dalam gerbong kebangsaan. Ini sangat penting, agar tokoh NU tidak mudah tergoda oleh rayuan politik yang berujung bisa memecah belah umat.
Sikap nahdliyin yang terbelah sebelum Konferensi NU Cabang kemarin hendaknya menjadi pelajaran yang berharga. Pendiri NU (KH Hasyim Asy’ari) dalam Qonun Asasi memerintahkan seluruh warga NU agar bersatu dan melarang perpecahan. Oleh karena itu untuk menghadapi pemilu 2024, nahdliyin Brebes diharapkan bersatu dalam satu kekuatan untuk mewujudkan nahdliyin bermartabat.
Kita bisa berkaca dengan nahdliyin di Kab Tegal Pasca Ki Entus menempati kursi Bupati berdampingan dengan Ketua Muslimat NU (Hj Umi). Tentu bukan hal yang mustahil kekuatan politik nahdliyin Brebes bisa seperti Kab Tegal. Sifat politik yang dinamis akan sangat mungkin mengubah hegemoni politik Brebes yang selama ini berjalan. Namun demikian peran para politisi berbasis nahdliyin untuk mendominasi harokah siyasi sangat dibutuhkan dalam rentang waktu menjelang Pemilu 2024.
Pengalaman nahdliyin Brebes saat Ketua PC NU Brebes maju dalam kontestasi Pilkada tahun 2012 menjadi start awal untuk mengukur kekuatan nahdliyin Brebes. Kendatipun pada Pikada berikutnya (tahun 2017) representasi nahdliyin tidak terwakili, namun demikian kekuatan suara nahdliyin bisa diperhitungkan dalam mendominasi kemenangan Pilkada.
Oleh karena itu menghadapi Pemilu 2024 (Legislatif dan Bupati/Wakil Bupati) di Kab Brebes sudah saatnya nahdliyin Brebes menemukan kesadaran dalam berpolitik. Nilai kesadaran yang terbangun demi kemaslahatan Kab Brebes. Disinilah saatnya nahdliyin bergerak dengan berpedoman pada nilai nilai moral politik nahdliyin. (*)