Mengikuti dan menyimak diskusi WAG NU Kultural sangat menarik. Hal tersebut karena tidak kering dari tema diskusi aktual dengan peserta dari komunitas pemikir yang berbobot. Sehingga menjadi inspirasi penulis untuk membuat narasi yang bisa menjadi bahan diskusi lebih lanjut.
Istilah NU Kultural disematkan kepada kelompok orang-orang NU ( jamak nahdliyin) yang tidak menempati pada posisi struktural atau pengurus NU. Mereka bergerak pada barisan kultural yang tidak mengatasnamakan NU secara organisasi. Dengan demikian apa yang dilakukan tidak terikat dengan keputusan atau nomenklatur NU.
Sebagai media diskusi diluar struktural NU tentu bebas berekspresi dengan sekian varian pemikiran. Beberapa hari ini diskusi mengerucut kepada Bupati dan Wakil Bupati Brebes. Tema ini sangat menarik karena saat ini disebut dengan tahun politik sementara Bupati dan Wakil Bupati adalah jabatan Politik.
Terlepas NU sebagai Ormas yg tidak memiliki tiket untuk maju sebagai calon Bupati atau Wakil Bupati, namun NU memiliki warga nahdliyin yang memiliki hak berpolitik. Oleh karena itu warga NU secara kolektif bisa melakukan bargaining dengan partai politik yang memiliki tiket untuk Pilkada di Brebes. Hal ini membutuhkan ikhtiar bersama untuk bergerak dalam satu barisan yang sama sebagai bentuk kekuatan politik nahdliyin.
Untuk mewujudkan kekuatan politik nahdliyin bisa belajar ke beberapa daerah yang memiliki Kepala Daerah dari representasi NU. Sebutlah tetangga sebelah Kabupaten Tegal dengan tampilnya Ki Entus (Alm) merubah peta kekuatan politik secara masif. Legislatif dan Eksekutif dipegang oleh figur NU dengan dukungan secara mayoritas.
Pertanyaannya apakah Brebes bisa seperti Kabupaten Tegal? Untuk menjawab pertanyaan ini tentu yang paling pas dengan dengan pendekatan bahasa politik, bahwa dunia politik penuh dengan kemungkinan. Dalam kamus teologi menjadi Bupati dan Wakil Bupati adalah perkara “Mumkinat”. Perkara yang “mumkin” (bisa ya atau tidak) secara logika tauhid bukan hal yanh mustahil (tidak bisa terjadi). Oleh karena itu ikhtiar sebagai bagian dari takdir akan sangat memiliki makna bila disandingkan dengan langkah kongkrit.
“Kemungkinan” dalam logika politik bisa diukur dengan berbagai indikator kemenangan dan kekalahan dalam kontestasi. Indikator bisa ditemukan pada saat sebelum kontestasi yang biasanya dilakukan oleh lembaga surve atau pengamat politik yang memiliki perhitungan politik berdasarkan perolehan suara sebelumnya dengan melihat perkembangan politik terkini.
Perkembangan politik tentu didalamnya terkait dengan prilaku politik pemilih dalam menentukan pilihan. Disamping itu tokoh atau figur yang menjadi panutan bagi masyarakat awam juga memiliki pengaruh terhadap perolehan suara. Dua hal tersebut sangat dimungkinkan mengalami dinamika yang bisa mengerucut pada saru barisan kekuatan kultural NU menuju politik yang bermartabat dengan penuh kesantunan.
Secara geografis Brebes terbelah menjadi Brebes selatan dan Brebes utara. Brebes selatan memilki wilayah dataran tinggi atau pegunungan. Sementara Brebes utara berada pada dataran rendah atau yang disebut dengan wilayah Pantura. Kondisi geografis dan psikologis masyarakati Brebes selatan dan Brebes utara berpengaruh terhadap prilaku pemilih.
Menurut salah satu pengamat, dalam persoalan pemilihan Brebes Selatan mudah untuk dikondisikan,sementara wilayah pantura agak susah untuk dikondisikan dalam satu barisan kekuatan politik. Kecenderungan tersebut tentu bukan tanpa alasan,karena sudah terbukti dalam beberapa pemilihan. Namun demikian hal tersebut tidak menjadi penghalang yang utama untuk mewujudkan kekuatan kultural NU dalam memasuki willayah kekuasaan politik tingkat kabupaten.
Untuk menuju wilayah kekuasaan politik pasti melalui jalur partai politik. Oleh karena NU Kultural bukan Partai Politik, maka figur atau tokoh NU Kultural yang bisa diperhitungkan secara politis bisa menjadi magnet bagi pengurus partai untuk meninangnya. Satu satunya Partai yang secara historis dan idiologis dekat dengan NU kultural adalah PKB.
Untuk bisa ” dipinang ” maka ada proses komunikasi politik dengan mengukur kekuatan peta politik. Disinilah membutuhkan piranti kecerdasan politik. Oleh karena itu dalam berpolitik tidak cukup hanya dengan cerdas intelektual, namun kecerdasan politik menjadi poros utama dalam memasuki wilayah kekuasan sebagai puncak tujuan berpolitik.
Kita harus yakin, bahwa perubahan dengan kekuatan jamaah kultural NU akan bisa terwujud ketika menemukan kesadaran bersama dalam berpolitik. Kesadaran kolektif itulah yang akan menggerus ego sektoral masing masing kelompok. Sehingga kedepan tidak muncul gerakan yang melepaskan diri dari barisan NU Kultural.
Ijtihad politik secara kolektif dengan membangun pemahaman yang sama akan menjadi ruh dan spirit dalam pergerakan mencapai kekuasaan politik. Nalar politik yang kita kembangkan dengan menjunjung etika politik berpadu dalam menempuh kekuasan untuk kepentingan bangsa dan negara. (*)