Tradisi

Mengenang Al Maghfurlah KH Dimyati Rois bersama Panitia Pembangunan Masjid Jami Baiturohim

Tadi malam (Malam Rabu), 30 Mei 2023 telah diselenggarakan Haul Pertama Al Magfurlah KH Dimyati Rois, Kyai kharimatik kelahiran Brebes. Informasi tersebut kami terima dari seorang teman alumni Lirboyo yang sedang di Kaliwungu dalam rangka mengikuti acara tersebut.

Tentu banyak alumni Lirboyo, Kaliwungu dan Pesantren yang lainnya juga menghadiri Haul KH Dimyati sebagai alumni Lirboyo dan Kyai Khos yang alim dan memahami maksud setiap tamu yang sowan.

Tiga hari setelah wafat Penulis berkesempatan untuk ziarah ke makam Beliau yang saat itu masih banyak orang-orang yang datang takziyah.  Penulis saat ziarah dihari yang ketiga bertemu dengan Menteri Agama, yang akeab disebut dg Gus Men dan Ketua Umum PBNU, Gus Yahya yang terpilih saat Muktamar di Lampung.

Mengenang Beliau tentu banyak tulisan dari berbagai sudut pandang yang bisa melahirkan tidak cukup satu buku. Akan tetapi bisa ratusan buku yang mengupas lebih jauh tentang Al Magfurlahlah yang bisa kita ambil suri tauladannya.

Awal Penulis mengenal Beliau saat penulis masih mondok di Pesantren Lirboyo. Kebetulan berkesempatan mengikuti kegiatan Jamiyah yang diselenggarakan oleh Pondok Pesantren HM di bawah Pengasuh Al Mukarom KH Kafabihi Mahrus. Hampir setiap Beliau ceramah di HM, penulis mengikuti dan mendengarkan ceramahnya sampai selesai.

Setelah penulis di rumah mulai tahun 2000 sampai 2008, penulis dipertemukan kembali, tepatnya menjelang Pemilu. Penulis saat itu menjadi Sekretaris DPC PKNU (partai pecahan PKB pasca konflik internal) diajak oleh Andi Najmi wakil sekjen DPP PKNU dan Wakil SekjenPBNU era Kang Said. Kebetulan Beliau termasuk politisi dan aktivis NU yang disayang oleh Al Magfurlah Mba Dim.

Selang beberapa tahun kemudian kira kira 2011, Penulis bersama dengan rombongan dari Pengurus Masjid Jami Baiturohim Jagalempeni Selatan Kec Wanasari Kab Brebes sowan ke Beliau mohon waktu untuk hadir pada acara Haul dan Halal bi Halal. Namun karena awal syawal sampai pertengahan harus tetap di ndalem karena banyak tamu, akhirnya Beliau tidak bisa menyanggupi untuk rawuh (datang). Namun demikian penulis bersama rombongan bersyukur bisa sowan dan sekaligus ngobrol panjang dari mulai habis taeweh sampai menjelang sahur.

Ada hal yang sangat menarik ketika sowan bersama dengan rombongan Panitia Masjid Jami Baiturohim. Penulis bersama dengan Ki Taja (sesepuh Jakatamu), Akhmad Sujai (Perangkat Desa yang menjadi Bendahara Pembangunan), Seul Amin (pernah nyantri di Lirboyo), Syafrudin (alumni Al Fadlu asal Kedawon) dan Penulis yang menempati di kepanitiaan menjadi Sekretaris.

Dengan bahasa yang merakyat dan penuh kesantunan Beliau menyampaikan beberapa hal tentang kemasyarakatan dan masjid. Tidak ada pembisik sebelumnya, hanya keperluan mohon waktu. Namun karena disuruh ngobrol dulu, kami serombongan akhirnya menikmati obrolan yang sangat bermakna sampai tidak terasa sudah saatnya sahur.

Pembicaraan dari awal sampai akhir semuanya merasa tersambung tanpa ada prolog sebelumnya. Tiba tiba Mbah Dimyati bicara tentang pembangunan masjid, padahal tidak ada satupun yang menyampaikan bahwa kami pengurus masjid. Seakan sudah mengerti bahwa kami adalah panitia pembangunan masjid.

Setelah diam sejenak beliau melanjutkan cerita tentang tugas perangkat desa. Padahal sebelumnya Akhmad Sujai tidak ngomong bahwa dirinya adalah perangkat desa. Begitu juga saya dan teman serombongan yang sowan tidak muncul sepatah katapun tentang perangkat desa.

Kamipun mendengarkan dengan seksama cerita dengan alur yang sarat dengan muatan pesan hikmah dibalik tugas dan sikap menghadapi dan melayani masyarakat. Cerita yang disampaikan merupakan beberapa fakta dilapangan diselingi dengan pesan keagamaan dengan bahasa yang mudah ditangkap oleh kami serombongan.

Saat hening beberapa saat tiba tiba Mbah Dim melontarkan tema yang tidak terduga ternyata sesuai dengan pkiran dan perasaan kami serombongan. Ketika Penulis sedang terlintas ingin bertanya tentang faham “Wihdatul Wujud”, tiba tiba Beliau membacakan suatu ayat yang difahami oleh sebagian mufasir menjadi rujukan faham tersebut.

Pembicaraan yang panjang semua merasa tercerahkan. Seakan akan kami serombongan dari Jagalemleni Kec Wanasari Kab Brebes ibarat orang haus hilang hausnya. Segela kegundahan dan pertanyaan yang terpendam bisa terjawab tanpa sebelumnya menyampaikan. Inilah dalam istilah Jawa ” Weruh Sadurunge Winarah”.

Pertemuan sowan saat Ramadhan tersebut di akhiri doa yang khusu’ oleh Beliau. Sebelumnya kami disuguhi hidangan sahur dengan lauk ikan bandeng. Andai saat itu sudah ada android tentu kami foto bersama sebagai kenangan bersama Beliau.  Terakhir Penulis bertemu dengan Beliau saat Istighotsah Rutin di Tegalglaga. Penulis sempat musafahah dengan Beliau dan putra putra Beliau yang hadir pada malam tersebut. Untuk Beliau Al Fatihah. (*)