Membaca tulisan Reza Pahlevi (Matan Ketua KPUD Brebes) dalam blognya dengan judul “Kyai dan Politik”, Penulis tertarik untuk mendiskusikan lebih jauh tentang peran Kyai dalam berpolitik. Peran ini tentu disamping sebagai warga negara, namun lebih dari itu predikat “Kyai” yang memiliki ketokohan berpengaruh terhadap sikap pilihan politik yang dilakukan oleh umatnya. Fatwa dan ijtihad politiknya bisa menjadi kiblat bagi para pengikutnya. Kyai bisa disebut penguasa kultural yang memiliki kekuatan untuk membimbing masyarakat khususnya dalam bidang keagamaan dan kemasyarakatan. Di bidang politikpun Kyai bagi masyarakat pedesaan masih menjadi rujukan, meskipun mengalami proses yang fluktuatif.
Secara sosiologis Kab Brebes yang mayoritas pedesaan kedudukan Kyai memiliki strata terhormat di tengah masyarakat. Meskipun sebutan Kyai pada level tertentu masih relatif ataupun ada klaster tertentu. Ada kyai tingkat desa, kecamatan dan kabupaten. Tingkatan tersebut bukanlah terikat dengan legal formal terikat dengan ormas dalam hal ini NU, akan tetapi hanya penilaian masyarakat kelompok tertentu atau komunitas dengan skala kecil (tingkat desa) sampai dengan skala besar (tingkat kabupaten).
Peran Kyai pasca orde baru tentu berbeda dengan saat reformasi dengan gelombang euforia dan munculnya multi partai. Bahkan saat sekarangpun berbeda dengan saat awal awal reformasi. Pergeseran tahap demi tahap tentang pengaruh Kyai terhadap politik tidak lepas dari pengaruh perubahan sosial dan budaya yang bergulir secara terus menerus. Tingkat pendidikan masyarakat yang sudah mulai cerdas dalam membedakan tipologi Kyai dalam berpolitik. Gelombang informasi yang diserap oleh masyarakat, sehingga mampu membedakan mana Kyai yang memiliki kompetensi dan moral politik dan mana Kyai yang sekedar hanya menarik suara untuk kepentingan politik.
Saat Kyai dihadapkan dengan politik tentu akan terlihat jelas sikap dan tanggapan terhadap pilihan politik. Stigma politik yang kotor saat zaman orde baru sebenarnya hampir hilang saat gelombang multi partai digemakan saat awal reformasi. Para kyai hampir mayoritas bersatu dalam satu barisan partai yang dibesut oleh Gus Dur. Mekipun ada beberapa Kyai yang masih Istiqomah atau membuat gerbong yang berbeda, akan tetapi hal tersebut tidak berpengaruh secara signifikan terhadap satu kekuatan barisan partai yang dibidani oleh PBNU.
Pasca Gus Dur lengser dari kursi Presiden, dinamika politik Kyai mengalami polarisasi yang berujung kepada turunya marwah Kyai dalam berpolitik. Kyai atau disebut dengan tokoh agama sudah tidak lagi sepenuhnya menjadi rujukan dalam persoalan politik.Urusan agama, ibadah dan hal lainnya terkait dengan ritual keagamaan mungkin masih mengiblat dengan pilihan Kyai, akan tetapi pilihan politik bagi warga masyarakat tidak serta merta ikut Kyai.
Lebih dalam pemahaman tersebut antara lain dilatarbelakangi oleh pemikiran mendiametralkan antara agama dan politik. Kyai sebagai simbol agama tidak boleh dibawah ke arah Politik yang lepas dari ajaran agama. Politik dan urusan negara menjadi kewenangan para politisi, Kyai hanya mengurusi hal hal yang berhubungan dengan ibadah dan akherat. Politik urusan dunia sementara ibadah urusan akherat. Jadi dua hal ini menjadi entitas yang berbeda, laksana air dan minyak sampai kapanpun tidak pernah ketemu.
Namun demikian belakangan dengan tampilnya Kyai dan santri menduduki posisi di parlemen (legislatif) dan pimpinan daerah, mulai tumbuh kembali pemahaman keagamaan yang bersentuhan dengan politik. Meskipun kost politik sangat tinggi, namun hadirnya Kyai dan santri dalam panggung politik sedikit mengembalikan daya tawar Kyai dalam dunia Politik.
Pemilihan umum dan Pilres 2024 terlihat jelas peran dan pengaruh Kyai dalam kontestasi politik yang terpolarisasi. Kyai atau tokoh agama mendapatkan “keberkahan politik” setiap pemilihan. Karena bagi para politisi Kyai masih memiliki pengaruh dalam kekuatan suara dalam pemilu sebagai instrumen demokrasi.
Sebentar lagi Pilkada serentak akan berlangsung, tentu Kyai tingkat lokal akan menjadi salah satu pilar untuk mendongkrak suara. Dalam politik semua ingin menang dengan kekuatan suara. Kyai sebagai panutan umat, menjadi perhitungan oleh para calon kepala daerah yang akan berlaga pada Pilkada bulan Nopember 2024.
Kyai sebagai predikat tokoh agama tentu akan menjaga kesantunan dalam berpolitik. Kyai yang menjadi Politisi dan Kyai yang menjadi penjaga moral agama tentu menyadari betul terhadap nilai nilai kesantunan dalam berpolitik. Oleh karena itu “moral politik” yang didasarkan dari spirit keagamaan akan membawa kemenangan sejati. Kemenangan dalam berpolitik tidak menghalalkan segala macam cara, dengan meninggalkan etika politik.
Akhirnya kita berharap semoga Pilkada bisa berlangsung dengan aman, lancar dan tentram. Kemenangan siapapun menjadi kemenangan rakyat sepenuhnya. Pilkada, Politik dan Kekuasaan hanyalah washilah (cara) untuk mewujudkan kebijakan penguasa untuk menjadikan rakyat sejahtera, adil dan makmur. Sehingga setelah Pilkada semuanya menjadi rakyat yang bersatu membangun dengan guyub rukun dalam memajukan daerah. Kehadiran Kyai dalam Pilkada akan memberikan pencerahan umat, sekaligus menemukan titik kesadaran bahwa kesantunan dalam politik menjadi komitmen bersama. (*)