Madrasah Diniyah Takmiliyah Wustho merupakan layanan pendidikan keagamaan Islam untuk peserta didik setingkat MTs/SMP. Layanan pendidikan ini bertujuan untuk memberikan tambahan pengetahuan agama Islam sebagai penyempurna bagi peserta didik tingkat MTs atau SMP.
Sekolah berasrama sebagaimana disebutkan pada Kep Dirjen Pendidikan Islam No 6987 th 2019 tentang Petunjuk Teknis Pengelolaan Asrama pada Pembelajaran berasrama untuk tingkat MTs dapat menyelenggarakan dengan sistem berasrama. Model sekolah berasrama bertujuan untuk lebih meningkatkan kualitas pembelajaran dengan tambahan waktu belajar. Dengan model berasrama maka semua kegiatan peserta didik akan mudah terpantau oleh pihak sekolah. Hal ini seperti halnya dengan pembelajaran di Pesantren.
Lantas apakah sistem school boarding mempengaruhi MDTW? Sejauh pengamatan Penulis, sebenarnya school boarding tidak mempengaruhi layanan pendidikan Wustho. Munculnya istilah school boarding tidak berpengaruh secara langsung terhadap fluktuatif santri MDTW. Hal ini menurut catatan penulis khususnya tentang perkembangan MDW di Brebes. Kemunculan progam school boarding setelah perkembangan MDW di beberapa tempat secara berlahan mengalami penurunan murid, khususnya di Kab Brebes.
Perlu diketahui, saat tahun 80 sampai kita kira memasuki tahun 2000. MDTW di Kab Brebes, khususnya di desa Kedawon dan Padakaton masih eksis dengan murid yang banyak. Tahun 1990 penulis setiap pulang sekolah dari MTs As Salafiyah Sitanggal, pasti berpapasan dengan murid muridnya wutho Kedawon. Pada saat yang sama MDW Padakaton sekaligus Madrasah Ulya menurut informasi memiliki murid ribuan dari wilayah Ketanggungan, Kersana, Bulakamba dan Larangan.
Penurunan angka murid wustho menurut pengamatan penulis, pertama munculnya sekolah gratis dengan program BOS ( Bantuan Operasional Sekolah ) untuk pendidikan dasar SD/MI dan SMP/MTs. Mayoritas murid yang melanjutkan ke MDW pasca MI/SD karena ekonomi orang tua tergolong menengah ke bawah. Dengan masuk pembelajaran sore hari, maka pagi harinya bisa dimanfaatkan untuk mencari nafkah. Untuk masyarakat pedesaan sebagai kuli sawah. Ini dilakukan oleh mayoritas siswa MDW yang hidup di pedesaan.
Kedua, faktor sosial ekonomi masyarakat atau orang tua yang lebih mementingkan ijazah dan pekerjaan. Mereka orang tua berpemahaman dengan sekolah formal maka mendapatkan penghasilan yang lainya melakukan peletakan dengan syarat ijazah. Sementara ijazah MDW tidak memiliki efek terhadap dunia pekerjaan. Pendidikan agama bagi orang tua mereka sudah cukup saat di MI atau SD.
Ketiga, kesejahteraan guru MDW menjadi salah satu faktor yang menjadikan MDW gulung tikar. Faktor ini sebenarnya bukan menjadi hal yang utama. Hal tersebut karena mayoritas guru MDW sebagian memiliki penghasilan dari bertani dan berdagang. Sementara saat itu untuk operasional MDW lebih banyak mengandalkan syahriyah (bulanan siswa) dan sebagian bersumber dari dermawan. Sehingga faktor ini sebenarnya sangat kecil yang menyebabkan MDW gulung tikar.
Sebagai upaya untuk menggugah kembali terhadap kesadaran masyarakat maka perlu peran serta komponen pemerintah dan masyarakat. Peram tersebut sesuai dengan fungsinya masing-masing. Pemerintah memberikan penguatan regulasi untuk MDTW dan masyarakat terlibat aktif untuk mengkampanyekan MDTW. Dua peran ini bersinergi dalam meningkatkan layanan pendidikan MDTW untuk generasi bangsa. (*)