Pada satu kesempatan mengikuti mata kuliah Pendidikan Multikultural, penulis berkesempatan untuk mendiskusikan MDT (Madrasah Diniyah Takmiliyah) yang menjadi pilar sistem pendidikan nasional. Kebetulan Dosen pengampu mata kuliah tersebut pernah menjadi guru Madin selama kurang lebih empat tahun, sehingga banyak memahami dan mengalami proses penyelenggaraan MDT yang mayoritas ada di kampung kampung.
Satu hal yang menjadi catatan penulis dalam diskusi tersebut adalah tentang kondisi pengelolaan MDT yang membutuhkan sentuhan tangan tangan profesional. Selama ini dibeberapa tempat pengelolaan MDT masih terkesan tradisional dengan proses pembelajaran yang belum profesional. Stigma ini menjadi hambatan besar untuk kemajuan lembaga pendidikan MDT yang memiliki sejarah panjang dalam kancah pendidikan Islam di Indonesia.
Penilaian Sang Dosen terhadap Madin kemungkinan berdasarkan pengalaman di MDT dimana Beliau mengajar puluhan tahun yang lampau. Itupun hampir sama saat penulis mendapatkan amanat menjadi pengelola MDT yang sudah 6 tahun gulung tikar. Dengan berbekal dari Pondok Pesantren Lirboyo, penulis membuka kembali MDT Sirojut Tholibin yang sudah 6 tahun tutup.
Terlepas dari stigma di atas searah dengan perhatian pemerintah dalam hal ini Kementerian agama dengan beberapa program peningkatan mutu, pembelajaran, ada beberapa Madin yang sudah mengalami metamorfosis. Lebih dari itu faktor kepemimpinan yang memilki latar belakang pendidikan formal juga sedikit mengubah paradigma lama dengan sebutan tradisional.
Beberapa program Kementerian Agama semenjak munculnya nomenklatur direktorat pendidikan Diniyah dan Pesantren memberikan angin segar untuk perkembangan MDT. Meskipun progam yang digulirkan untuk MDT belum menyentuh secara masif kepada seluruh MDT, namun setidaknya banyak MDT yang menangkap kesempatan ini menjadi peluang untuk berbenah dalam mengelola MDT menjadi lebih baik.
Hadirnya Forum Komunikasi Diniyah Takmiliyah yang mewadahi Madrasah Diniyah juga berpengaruh terhadap pergerakan dalam peningkatan mutu pendidikan MDT. Pergerakan yang dilakukan forum tersebut bisa melakukan komunikasi yang produktif dengan pemerintah setempat. Dengan komunikasi tersebut akhirnya dapat melaksanakan kegiatan kegiatan yang bermanfaat untuk kemajuan Madrasah Diniyah.
Meskipun tidak semua FKDT bisa melakukan gerakan yang sama, akan tetapi struktural yang terbangun dari mulai tingkat pusat sampai dengan kecamatan menjadi mitra Kemenag. Dengan kemitraan tersebut, FKDT bisa membantu Kemenag dalam upaya peningkatan mutu pendidikan Madin. Hal ini sudah banyak dilakukan oleh beberapa FKDT di Kab/Kota di Indonesia.
Persoalan MDT yang kompleks berkait dengan lemahnya mutu pembelajaran, manejemen yang kurang tertata, pendidik yang kurang profesional dan lainnya, menjadi perhatian kita bersama. Sinergitas Kemenag Kabupaten/Kota, Pemkab/kota bersama dengan FKDT sangat dibutuhkan untuk mengatasi problematika MDT.
Oleh karena itu, dengan semangat tanggung jawab bersama dalam mewujudkan kecerdasan bangsa Indonesia menjadi sebuah keharusan. Penguatan rekognisi Pemerintah terhadap MDT merupakan energi untuk peningkatan mutu pendidikan Madin. Penyadaran masyarakat terhadap pentingnya pendidikan MDT juga menjadi ikhtiar yang sangat penting. Disinilah Pemerintah hadir dan masyarakat menemukan titik kesadaran untuk para generasi kedepan.
Akhirnya kita berharap semoga MDT dengan jumlah ribuan di Indonesia dapat melakukan pembenahan dan meningkatkan mutu pendidikan. Meskipun butuh waktu yang cukup, namun setidaknya langkah yang telah dilakukan oleh Kemenag menjadi bagian perhatian yang serius terhadap pendidikan MDT. (*)