Pendidikan

MDT dalam Persimpangan Regulasi Nasional

Oleh : Akhmad Sururi (Wakil Sekjen DPP FKDT)

MDT (Madrasah Diniyah Takmiliyah) merupakan irisan pendidikan keagamaan yang menjadi bagian dari sistem  pendidikan nasional.  Sejarah panjang MDT di Indonesia dalam perkembangan pendidikan Islam tidak bisa terlupakan oleh siapapun. MDT (dulu disebut dengan sekolah Arab di Pulau Jawa) tidak bisa terpisahkan dari masuknya Islam di Nusantara. Lebih dari itu para Ulama yang menyebarkan agama Islam mengajarkan aqidh, syariah dan akhlak melalui Madin yang saat itu bisa di masjid, surau dan di rumah rumah.

MDT hadir untuk memberikan pemahaman keagamaan sebagai elemen yang sangat penting untuk meningkatkan keimanan, ketaqwaan dan akhlak mulia. Oleh karena itu MDT menjadi lembaga yang paling strategis dalam mewujudkan tujuan pendidikan nasional. Tanpa. Kehadiran MDT generasi anak bangsa secara moral akan rapuh. Degradasi akhlak bisa merambah dimana mana.

Namun demikian seiring dengan kebijakan pemerintah, eksistensi MDT mengalami metamorfosis yang panjang sampai pada akhirnya hari ini tertinggal jauh dengan lembaga pendidikan formal. Padahal dirunut sejarah berdirinya, sebelum lahir MI/SD, MTs/SMP, MA/SMA/SMK dan perguruan tinggi, Madin sudah berdiri membekali anak bangsa dengan ilmu agama Islam. Bekal ilmu agama Islam itulah yang menjadi bangsa ini memiliki rasa keberagaman yang kuat, sehingga menjadikan masyarakat hidup tentram.

Orientasi terhadap tafaquh fiddin (memahami agama) menjadi fokus utama dalam pembelajaran di MDT. Sehingga pada awalnya tentang ijazah atau sertifikat lulusan tidak dibutuhkan. Santri Madin tempo dulu setelah lulus hanya ditandai dengan pengajian imtihan. Berbeda saat sekarang semua lulusan MDT berijazah. Bahkan beberapa daerah memberlakukan ijazah Madin sebagai salah satu lampiran dalam PPDB setingkat SMP/MTs.

Ada beberapa lembaga pendidikan formal setingkat MI atau MTs pada awalnya (era tahun 60 an) adalah lembaga pendidikan MDT. Pasca munculnya MWB (Madrasah Wajib Belajar) beberapa Madrasah Diniyah berganti kelamin menyesuaikan dengan peraturan yang diterbitkan oleh Kementerian Agama. Pasca MWB (Madrasah Wajib Belajar) kemudian muncul SKB Tiga Menteri yang menjadi madrasah dengan sekolah umum.

Saat itulah Madrasah Diniyah memisahkan diri dari lembaga pendidikan MWB yang mengajarkan pendidikan agama Islam dan pendidikan umum. Madrasah Diniyah berjalan secara mandiri dengan kurikulum berbasis pesantren. Pengajar pada pendidikan Madin mayoritas lulusan Pesantren, sehingga mapel yang diajarkan hampir semuanya mengadopsi dari kurikulum Pesantren.

Perjalanan Madrasah Diniyah (Madin) tumbuh berkembang di tengah masyarakat selama rentang puluhan tahun tidak memiliki regulasi secara formal.  Meskipun proses pendirian Madrasah Diniyah dan binaan dibawah Kemenag RI (dulu Depag), namun regulasi pendidikan nasional belum menyentuh pendidikan Madrasah Diniyah. Masyarakat penyelenggara pendidikan Madin tidak banyak melakukan pergerakan ataupun ikhtiar untuk membawa Madin dalam lintasan regulasi.

Pasca reformasi bergulir, muncul UU Sisdiknas No 20 tahun 2003, pendidikan Diniyah hadir dalam pasal 30 tentang Pendidikan Keagamaan. Ayat 1 sampai dengan 5 memperjelas tentang pendidikan keagamaan termasuk didalamnya MDT yang disebut dengan pendidikan Diniyah Takmiliyah. Oleh karena itu MDT sudah menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional yang memiliki kekuatan hukum legal standing dalam Undang-undang.

Sebagai tindak lanjut UU Sisdiknas tersebut , Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah No 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Peraturan Pemerintah tersebut sebagai turunan dari UU Sisdiknas yang menjabarkan tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan yang didalamnya terdapat Pendidikan Pesantren. Tujuan dan fungsi pendidikan keagamaan dijelaskan secara khusus sebagai pilar dari tujuan dan fungsi sistem pendidikan nasional.

Sebagai keberlanjutan dari pelaksanaan PP tersebut, Kementerian Agama menerbitkan PMA Nomor 13 tahun 2014 tentang Pendidikan Keagamaan Islam. Penjabaran dalam PMA tersebut lebih banyak mengatur tentang Pesantren dan Pendidikan Diniyah Formal. Sementara untuk Madrasah Diniyah Takmiliyah di atur dalam pasal 45 sampai dengan 49. Pada pasal 49 sebenarnya sangat krusial karena terkait dengan pengakuan lulusan MDT. Akan tetapi sampai hari ini belum ada ketentuan yang jelas terkait dengan hal tersebut.

PP 55 tahun 2007 dan PMA No 13 tahun 2014 menjadi payung hukum pendidikan keagamaan yang didalamnya Pesantren, Madrasah Diniyah dan LPQ. Ketiga lembaga tersebut menjadi satu paket  dalam regulasi yang mengatur tentang Pendidikan Keagamaan Islam. Secara implementatif Kemenag dalam hal ini Dirjen Pendis telah menerbitkan buku pedoman MDT yang merujuk kepada regulasi tersebut di atas.

Terbitnya UU Pesantren sebagai payung hukum dengan kedudukan sejajar dengan UU Sisdiknas, maka Pesantren tidak lagi satu paket dengan MDT dalam PP 55 tahun 2007 dan turunannya (PMA No 13 tahun 2014). Pesantren sudah memiliki payung hukum tersendiri dengan beberapa turunannya yang sudah disahkan. Regulasi tentang Pesantren bergerak sangat cepat karena secara politis mendapatkan dukungan dari wakil rakyat di parlemen.

Lain halnya dengan MDT yang hanya terbatas pada PP dan PMA. Kedua landasan yuridis inilah yang    dijadikan dasar dalam pengambilan kebijakan oleh Pejabat Kemenag. Pemerintah Daerah yang menerbitkan Perda juga bersandar pada regulasi tersebut. Meskipun ada beberapa daerah yang sudah menerbitkan Perda sebelum PMA tentang Pendidikan Keagamaan Islam disahkan oleh Pemerintah.

Hari ini regulasi MDT ditingkat nasional masih di persimpangan jalan karena menunggu revisi PP No 55 th 2007. Tentu kita semua berharap agar regulasi nasional untuk MDT terus melaju menuju dalam pusaran kebijakan Pemerintah. Sehingga MDT bisa bergerak secara masif untuk bersama mewujudkan tujuan pendidikan nasional. (*)

www.youtube.com/@anas-aswaja