Saat reformasi bergulir pada tahun 1998, banyak sekali perubahan terjadi pada hampir semua aspek kehidupan, termasuk dalam dunia pendidikan nasional. Salah satu wujudnya adalah terbitnya UU Sisdiknas No 20 tahun 2003 yang mengatur semua jalur pendidikan di Indonesia, termasuk pendidikan keagamaan. Pendidikan Keagamaan menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional.
Sebagai tindak lanjut dari Pendidikan Keagamaan yang termasuk dalam UU Sisdiknas, Pemerintah menerbitkan PP No 55 th 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Inilah yang menjadi payung hukum nasional untuk MDT dan pendidikan keagamaan lainnya, termasuk Pondok Pesantren dan Lembaga Pendidikan Qur’an. Meskipun belakangan Pesantren memisahkan diri dengan terbitnya UU No 19 tahun 2018 tentang Pesantren.
Sebagai negara hukum, maka segala hal yang terkait dengan kebijakan pemerintah tidak lepas dari produk hukum yang disebut dengan Undang-undang dan turunannya. UU sebagai produk hukum merupakan produk politik karena dihasilkan melalui proses politik di parlemen. Oleh karena itu pendidikan keagamaan yang menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional juga dihasilkan melalui proses politik. Disinilah politik tidak bisa dipisahkan dari pendidikan karena ibarat dua sisi mata uang.
Namun sayangnya selama ini politik dipandang sebagai sudut yang diametral dengan pendidikan. Politik menjadi stigma “kotor” dengan etika menghalalkan segala macam cara. Sementara dunia pendidikan sarat dengan nilai etika normatif dan jauh dari stigma kotor. Dunia pendidikan bersandingan dengan peradaban dan kesantunan, sementara dunia politik bersentuhan dengan siasat kebohongan. Padahal politik sesungguhnya bertumpu kepada kebijakan pemerintah (pemimpin) untuk kemaslahatan dan kebaikan rakyat. Disisi ini maka “siyasah Al mardliyah” menjadi idealisme politik untuk menerapkan konsep kemaslahatan terhadap kepentingan umat, termasuk pendidikan keagamaan.
Politik dan Pendidikan menjadi satu paket dalam membangun peradaban bangsa. Politik sebagai proses sementara pendidikan menjadi sarana membangun peradaban. Oleh karena itu sesungguhnya politik itu menjadi panglima untuk mewujudkan cita cita bangsa dengan melahirkan beberapa produk hukum (Undang Undang). MDT menjadi pilar pendidikan keagamaan Islam yang bergerak dan berproses membangun peradaban. Oleh karena itu penguatan pendidikan melalui regulasi menjadi sangat penting.
PP 55 th 2007 menjadi produk hukum sebagai turunan dari UU Sisdiknas No 20 tahun 2003. Penulis pernah diajak diskusi berkait dengan revisi PP tersebut sehubungan dengan Pondok Pesantren sudah memiliki landasan hukum tersendiri (UU Pesantren). Dalam diskusi tersebut revisi PP 55 akan diarahkan kepada MDT, LPQ dan Majlis Ta’lim. Namun demikian sampai hari ini proses hasil revisi tidak kunjung selesai. Meskipun demikian Keputusan Dirjen yang berhubungan dengan MDT masih berlandaskan kepada PP tersebut.
Masa dalam penantian revisi PP No 55 th 2007, MDT terus melaju dan bergerak dengan berbagai inovasi dalam pembelajaran. Inovasi tersebut seyampang dengan perkembangan teknologi informasi yang menuntut MDT lebih banyak berbenah dan menyiapkan SDM yang profesional dibidang IT. Kemenag RI dalam hal ini Subdit MDT terus proaktif menyelenggarakan program pemberdayaan MDT yang berfokus kepada Pembelajaran. (*)