Aktual

Mafia Tanah Beregenerasi: Daur Ulang Warisan Fiktif Demi Merebut Tanah Orang Lain

60

Bandung (AswajaNews.id) – Di balik gemerlap pembangunan dan pesatnya pertumbuhan ekonomi di Bandung, bayang-bayang praktik mafia tanah terus menghantui. Bukan hanya soal kekuasaan atau lembaran sertifikat yang berpindah tangan secara gelap, tetapi juga bagaimana satu kelompok merekayasa sejarah, menyusun cerita palsu, dan memanipulasi dokumen demi satu tujuan: menguasai tanah orang lain.

Salah satu figur sentral dalam skema ini adalah H. Anwar alias Asep Pendi—nama yang dikenal pula sebagai Acep Pendi, Cecep Ependi, bahkan Asep Effendi. Sosok ini telah meninggal dunia pada tahun 2012, namun “warisannya” dalam bentuk sengketa dan klaim palsu masih terus hidup hingga kini. Bahkan, kelompok yang dulu bersamanya, atau yang kini memakai nama-nama baru, diduga masih terus berupaya menggunakan surat waris yang telah dibatalkan untuk mengklaim tanah warisan milik H. Tajib dan H. Bahrum bin H. Tajib.

Narasi Palsu dan Jejak Dokumen yang Dipalsukan

Dalam Penetapan Pengadilan Agama Soreang Nomor 53/Pdt.P/2019/PA.Sor, H. Anwar disebut memiliki ahli waris: ibunya Waliah binti Partadirja, istrinya Nyi Epon Murniati binti Adin Samsudin, serta empat anaknya: Adang Kurnia, Dadan Dahlan, Deden Triadi, dan Dewi Kania.

Masalahnya, dalam berbagai perkara sebelumnya, kelompok ini mengklaim bahwa Waliah adalah istri sah H. Bahrum bin H. Tayib, dan bahwa H. Anwar alias Cecep Ependi adalah anak biologis H. Bahrum. Klaim ini didasarkan pada Penetapan Nikah dari PA Cimahi Nomor 166/Pdt.P/2000/PA.Cmi tertanggal 14 Juni 2000.

Namun kenyataan berkata lain. KUA Kecamatan Ciparay, dalam dua surat resmi tertanggal 23 Januari 2001 dan 12 Mei 2003, secara tegas membantah pernah mencatat atau mengetahui adanya pernikahan tersebut. Dengan kata lain, klaim perkawinan antara Waliah dan H. Bahrum tidak memiliki dasar hukum.

Lebih jauh lagi, SKAW (Surat Keterangan Ahli Waris) yang dipakai untuk mendukung klaim bahwa H. Anwar adalah ahli waris H. Bahrum juga telah dibatalkan secara resmi oleh Kecamatan Bojongsoang—masing-masing pada tanggal 29 November dan 13 Desember 2006.

Mengulang Pola Lama dengan Nama Baru

Yang mengejutkan, meski berbagai bukti pembatalan dan bantahan telah ada, kelompok ini terus menghidupkan kembali klaim tersebut melalui serangkaian perkara hukum, di antaranya:

  • PAW No. 556/Pdt.P/2011/PA.Bdg
  • No. 482/Pdt.G/2013/PN.Bdg – tidak dapat diterima
  • No. 97//2016/PTUN-Bdg – tidak dapat diterima
  • No. 22/Pdt.G/2019/PN.Blb – tidak dapat diterima
  • No. 91/Pdt/2020/PT.Bdg – kalah
  • No. 286/Pdt.G/2022/PT.Blb (Intervensi I) – tidak dapat diterima

Upaya-upaya hukum ini—yang berkali-kali kandas—tidak menghentikan langkah mereka. Dengan mengubah skema dan memunculkan “aktor” baru, mereka mencoba memanipulasi celah-celah hukum dan sistem administrasi.

Fakta yang Tak Terbantahkan

Sementara itu, silsilah yang sah menyatakan bahwa H. Bahrum adalah anak tunggal dari H. Tajib, dan H. Tajib adalah anak tunggal dari H. Hasan. H. Bahrum sendiri meninggal pada tahun 1951 dalam keadaan tidak memiliki keturunan karena mandul, dan istrinya Euis Sopiah—kakak kandung Waliah—tak pernah melahirkan anak dari pernikahan tersebut. Ibu dari H. Bahrum, Ny. Halima, meninggal dunia pada tahun 1970.

Artinya, tidak ada celah untuk mengklaim hak waris atas nama Waliah maupun Cecep Ependi alias H. Anwar.

Penyidikan dan Langkah Hukum yang Pernah Diambil

Pada tahun 2006, Kapo Sutarya, ahli waris sah dari H. Bahrum bin Tajib, melaporkan dugaan pemalsuan ini ke Polda Jabar melalui LP No. LP/247/VIII/2006/Datga Ops. Laporan ini menjadi dasar penyelidikan yang akhirnya berujung pada pembatalan resmi SKAW atas nama H. Anwar dan kelompok Ny. Emi cs.

Sayangnya, sebelum proses hukum tuntas, H. Anwar wafat pada tahun 2012, sementara Ny. Emi meninggal lebih dulu pada 31 Agustus 2011. Berdasarkan ketentuan hukum, penyidikan dihentikan secara resmi pada April 2012.

Kuasa Hukum Bicara: Pemalsuan Dokumen Harus Dihukum Tegas

Bernard Simamora, kuasa hukum Soma dan Kapo Sutarya, menegaskan bahwa upaya hukum lanjutan sangat penting untuk dilakukan terhadap siapa pun yang mencoba menghidupkan kembali klaim warisan yang telah dibatalkan.

“Ini bukan hanya soal tanah,” tegasnya, “tapi soal keadilan, integritas sistem hukum, dan upaya memberantas mafia tanah yang kerap menyusup lewat dokumen-dokumen palsu. Pasal 263 KUHP tentang pemalsuan surat harus diberlakukan secara tegas agar ada efek jera.”

Ia juga menambahkan bahwa langkah serupa telah berhasil diterapkan oleh Polda Jabar pada masa lalu, termasuk memproses secara pidana tokoh-tokoh seperti Ny. Emi, Imas Umroh, Ucu Ukasah, dan Awang, yang terlibat dalam skema serupa.

Ketika hukum dan sejarah dipalsukan demi kepentingan sesaat, maka perlawanan bukan hanya menjadi hak, tetapi kewajiban moral. Dan kisah ini menjadi pengingat bahwa mafia tanah tak hanya hidup dari celah, tapi dari diamnya kita semua.

AswajaNews.id akan terus mengawal perkembangan kasus ini dan memberikan informasi terkini seputar upaya pemberantasan mafia tanah yang merugikan banyak pihak.