Profil

Kyai Mubasyir Mundzir, Ulama Karismatik dan Punya Karomah

K.H. Mubasyir Mundzir atau yang masa mudanya lebih akrab disapa dengan ‘Gus Ib’ karena nama beliau yang asal adalah Ibnu Mundzir, putra KH. M. Imam Bachri, pendiri dan pengasuh pondok pesantren Mangun Sari Nganjuk.

K.H. Mubasyir Mundzir adalah pendiri Pondok Pesantren Tahfidzul Qur’an Ma’unah Sari yang beralamat di Jalan KH. Agus Salim No 8, Bandar Kidul, Kediri, Jawa Timur (Tahun 1967). Sebagai seorang kyai kharismatik kelahiran Yogyakarta itu, beliau sangat disegani oleh masyarakat tentunya beliau mempunyai karomah.

Pada tahun 1973, KH. M. Mubasyir Mundzir melepaskan masa lajangnya dengan menikahi Nyai Hj. Zuhriyyah, putri KH Munawwir. Setelah menikah, pesantren yang diasuh olehnya mulai membuka Program Pengajian Al-qur’an Bil-Ghoib (hafalan).

Pesantren ini diharapkan mampu mencetak generasi-generasi penghafal Al-Qur-an,yang berjiwa dan berakhlaq Qur’ani atau dengan kata lain, insan hafidz al-Qur-an, lafdhan wa ma’nan wa ‘amalan.

Pesantren yang terletak di barat Masjid Agung Kota Kediri dengan dipisah sungai Brantas ini pada awal berdirinya lebih mengkhususkan diri pada bidang tasawuf, terutama dalam mengistiqamahkan salat jamaah dan wirid serta dzikir. Adapun pengajian kitab-kitab salaf, Mbah Mundzir memilih untuk menyerahkannya kepada beberapa tenaga ahli yang berasal dari para santri yang sudah pernah mondok di pesantren lain yang berbasis kitab kuning.

Seiring dengan berjalannya sang waktu, Pesantren Ma’unah Sari pun terus berkembang, baik dari segi jumlah santri, program pengajian, dan juga lingkungan pendidikan yang semakin representatif. Namun begitu, khusus untuk Pengajian al-Qur’an bil-Ghaib, masih terbatas pada kalangan santri putri, dibawah asuhan Ibu Nyai Hj. Zuhriyyah Mundzir.

K.H. Mubasyir Mundzir wafat pada tahun 1989. Jenazah beliau dimakamkan di belakang masjid Pesantren Ma’unah Sari.

Sebelum wafat, karena beliau tidak dikaruniai putra, beliau telah memberikan wasiat yang berkaitan dengan regenerasi Pengasuh Pesantren. Dan sesuai dengan wasiat beliau, yang disaksikan oleh Ulama-ulama sepuh, tongkat estafet Pengasuh diamanatkan kepada KH. R. Abdul Hamid Abdul Qadir yang saat itu dikenal dengan sebutan Gus Hamid. Beliau adalah putra dari KH R Abdul Kadir Munawwir, Krapyak, kakak dari Ibu Nyai Hj.Zuhriyyah.

Berikut Karomah K.H. Mubasyir Mundzir :

  1. Si Kecil Yang Perkasa

Masa kecil Kyai Mundzir perilakunya seperti anak-anak pada umumnya, walau kadang memperlihatkan pola tingkah yang tidak lumrah atau nyeleneh, yang dunia pesantren bisa di istilahkan dengan kata Khoriqul Adah. Alkisah pada suatu ketika Kyai Mundzir memainkan gentong/mengangkat-angkat gentong dengan santainya, tentu hal ini mengundang keheranan dan rasa takjub bagi siapapun yang melihatnya. Rasa takjub dan heran itupun semakin menjadi tatkala gentong tersebut penuh dengan air yang bagi oran dewasa pun umumnya belum tentu bisa mengangkat gentong tersebut. namun ternyata Kyai Mundzir yang masih anak-anak itu bukan sekedar mengangkat, malah beliau memainkannya dengan santai laksana seorang “pendekar atau jagoan kungfu” yang sedang memperlihatkan keahliannya.

  1. Bisa Terbang

Polah tingkah laku yang nyeleneh terjadi sampai Kyai Mundzir tumbuh dewasa. Dikisahkan oleh seorang teman akrab beliau yang saat nyantri di Pondok Pesantren Semelo Perak Jombang. Kyai Mundzir seorang santri yang gemar ziarah ke makam para Wali. Sebagai seorang santri yang dekat/akrab si kang santri itu sering diajak untuk menemaninya.

Suatu ketika si kang santri diajak ziarah ke Pesarean Mojo Agung, Jombang. seperti biasanya perjalanan itu dilakukan dengan jalan kaki. tapi ada yang beda pada perjalanan kali ini, karena sebelum berangkat Kyai Mundzir berpesan kepada si kang santri tersebut agar tidak tolah-toleh dan selalu melihat punggung beliau dalam perjalanannya.

Setelah beberapa saat dalam perjalanan, si kang santri itu merasa seakan-akan melewati suatu kawasan yang banyak ditumbuhi rerumputan yang tinggi dan lembat, si kang santri itupun penasaran, tumbuhan apakah yang kiranya kadang menyambar di tubuhnya itu ? Saking penasarannya si kang santri itu dalam perjalanannya sambil memetik beberapa helai daun atau rumput, dan dia sempat memasukkan daun itu kedalam saku bajunya. dan perjalananpun akhirnya sampai, setelah keperluan ziarah dan lainnya selesai, Kyai Mundzir lalu mengajak pulang seperti biasanya.

Setelah sampai di kamar si kang santri itu segera mengambil daun yang ada di saku bajunya untuk di lihat, namun alangkah terkejutnya si kang santri itu, karena ternyata bukan rumput yang dia temukan dalam sakunya melainkan daun kelapa yang masih muda. dan si kang santri itupun melamun sambil bergumam “lha iki mau la’ diajak gus Mundzir lewat duwure wit kelapa“.

  1. Memanggil Pucuk Pohon Bambu 

Di suatu daerah Jombang, saat Kyai Mundzir sedang melaksanakan Riyadloh dan sebagaimana biasanya, hari itupun di isi dengan terus menerus shalat, kebetulan di tempat itu ada santri yang bisa dibilang santri nakal, dan dia tahu bagaimana disiplinnya Kyai Mundzir menjaga kebersihan.

Di saat beliau sedang menunaikan shalat, santri nakal itu sengaja berniat untuk ngerjai/njarag. dengan cara pakaian beliau yang dijemur di depan mushola sebagai lap. Hal itu ternyata diketahui oleh beliau, karena itu setelah selesai shalat beliau langsung mencuci dan menjemur pakaiannya untuk kemudian shalat lagi, namun saking nakalnya si santri tersebut mengulangi perbuatannya untuk ngerjain Kyai Mundzir.

Saat itulah, setelah shalat Kyai Mundzir mencuci pakaian tersebut, namun kali ini beliau menjemur pakaiannya dengan cara yang nyeleneh. Bagaimana tidak nyeleneh, usai mencuci pakaian beliau melambaikan tangannya ke pohon bambu yang berada di depan mushola seakan-akan memanggilnya dan anehnya lagi bambu itu seolah paham dan pohon itu tiba-tiba menunduk dan selanjutnya berdiri tegak kembali, setelah jemuran pakaian beliau dititipkan pada pucuknya.

  1. Mengetahui Barang Yang Tidak Halal

Pada saat-saat berdirinya pondok pesantren dan jumlah santrinya masih sedikit, hubungan antara pengasuh dan santri sangat dekat dan akrab. Terlebih lagi antar hubungan santri, sehingga yang namanya masak bersama adalah suatu kebiasaan yang paling di gemari tidak jauh beda dengan kondisi Ma’unah Sari tempo dulu, suatu ketika dalam acara masak bersama, Kyai Mundzir di aturi untuk kerso makan bersama, masakan “karya” bersama yang di komandani kang Sarwan, saat itu dilengkapi dengan lauk ikan lele, sungguh sebuah menu yang cukup istimewa bagi santri tempo dulu. Pada saat makan bersama itu, tampak para santri menikmati masakan itu dengan nikmatnya. Namun lain halnya dengan apa yang dirasakan Kyai Mundzir, karena beliau merasakan ikan lele tersebut sangat pahit sekali. Kemudian Kyai Mundzir bertanya kepada santri : “Kok rasanya begini, kenapa ?. Pasti ada yang gak beres !” Dawuh Kyai Mundzir. Setelah di usut ternyata ikan lele yang di makan tadi berasal dari kubangan yang airnya mengalir dari rumah tetangga dan kemungkinan ikan subhat itu berasal darisana pula. Subhanallah.

  1. Mengetahui Apa yang dikerjakan Santrinya

Lain lagi dengan cerita pada masa awal berdirinya pondok pesantren Ma’unah Sari. Kegiatan yang di tekankan bukanlah mengaji kitab atau pelajaran-pelajaran yang bersifat teori, akan tetapi amalan-amalan shalat sunnah dan wiridan. Sementara itu aturan pondok pun belum tersusun secara rapi, pokoknya “opo dawuhe yai”  itulah aturannya. Sehingga keluyuran malam termasuk agenda harian para santri awal, salah satunya adalah seorang santri berasal dari Nganjuk . Si santri ini, saat itulah tergolong santri yang “sedengan” selain senang dengan keluyuran malam terkadang juga masih di tambah dengan acara njaraki anak perempuan atau melakukan hal-hal lain khas anak muda dalam tournya yang terkadang tidak cocok dengan etika santri, istilahnya sembrono dan biasanya setelah larut malam rombongan santri ndableg itu melakukan agenda hariannya dan seperti biasanya sampai larut malam . Anehnya, ketika mereka kembali ke pondok dengan diam-diam, Kyai Mundzir sudah mapak di samping masjid seakan-akan sudah tahu apa yang di lakukan para santri ndableg. sambil terus memperhatikan santri-santrinya yang habis keluyuran itu, Kyai Mundzir dawuh “Ayo kang podo wudhu!” kang santripun menjawab “Enggih yai” dengan rasa takut dan heran kepada Kyai nya itu. Kemudian dengan bijaksananya, beliau memrintahkan santrinya yang terkenal dengan sebutan baduwine Bandar Kidul beserta rombongannya itu untuk shalat sunnah dan membaca istighfar sampai ribuan kali, bahkan terkadang tiada batasan, hingga nanti kalau di suruh berhenti barulah selesai hukuman tersebut.

  1. Tahu Kalau Seorang Berhadats

Pada saat peringatan Khaul K.H. R.Fatah Mangun Sari Tulung Agung, pernah terjadi peristiwa menarik yang bisa kita jadikan sebagai pelajaran. Ceritanya pada saat prosesi acara sedang berlangsung, saat itu hadirin sedang membaca diba’ bersam-sama, sedangkan Kyai Mundzir berada di makamnya Mbah Fatah. Namun ketika pembacaan diba’ baru berjalan separo beliau mendatangi majlis tersebut sambil dawuh “wis,wis mandeg ndisik ojo di terusne”. setelah jama’ah berhenti beliau kembali lagi ke pesarean. Hadirin saling bertanya, ada apa kok Kyai Mundzir sampai menyuruh pembacaan diba’ dihentikan ?. Akhirnya ada seorang kyai yang mengusulkan agar semua jama’ah yang ikut majlis diba’an itu mengambil wudhu dan memulai diba’an dari awal lagi dengan niat sungguh-sungguh dan ikhlas. setelah usul itu dilaksanakan, kira-kira pembacaan diba’ baru sampai pertengahan beliau mendatangi majelis itu lagi sambil dawuh “lha, yo ngono, sing apik, sing tenanan”.

Suatu ketika lurah pondok yang bernama Ibnu Alwan mengumandangkan Adzan. tiba-tiba beliau mendatanginya seraya menegur “sampean adzan durung wudhu yah ?” spontan Ibnu Alwan terkejut dan gugup sambil menjawab “mpun pak yai” lalu beliau berkata “sampean arusah goroh” ketika Kyai Mundzir berkata seperti itu Ibnu Alwan pun merasa malu, karena kenyataannya memang belum berwudhu.

Ada cerita lain, suatu ketika ada seorang pekerja yang sedang mengecat masjid Ma’unah Sari, tiba-tiba beliau mendatanginya, lalu mengusir dan menggantinya dengan orang lain. Usut punya usut, ketika mengecat si pekerja tersebut ternyata dala keadaan hadats besar dan belum mandi jinabat (Junub). Entah dengan bagaimana beliau mengetahuinya.

  1. Tahu Jodoh Seseorang

Peristiwa ini terjadi pada 2 orang keponakan beliau yag dijadikan sebagai putra beliau, yakni H. Agus Thoha Yasin dan Agus Kawakib. Tatkala beliau masih muda belia, dan tentu saja belum menikah, beliau mengemukakan kepada salah seorang family perempuan beliau, yakni Ibu Nyai Rahmah Dahlan yang pada saat itu masih muda (gadis)  bahwa kelak beliau akan berbesanan dengan Ibu Nyai Rahmah. Dan hal itu memang menjadi kenyataan, setelah bertahun-tahun kemudian, putri Ibu Nyai Rahmah tersebut yang bernama ning Khoiriyyah akhirnya menikah dengan putra angkat beliau yaitu Agus Kawakib.

Demikian pula dengan H. Agus Thoha Yasin. Lama sebelum gus Thoha Yasin menikah, beliau telah mengungkapkan bahwa jodoh gus Thoha ada di Yogyakarta. Ucapan beliau lalu di pertegas oleh K.H Mufid Mas’ud, pengasuh pondok pesantren Sunan Pandanaran yang juga kakak ipar Ibu Nyai Zuhriyah, bahwa jodoh Agus Thoha kiranya adalah putri K.H Nawawi Abdul Aziz, pengasuh pondok pesantren An-Nur Ngrukem Yogyakarta, dan itupun ternyata terbukti. (Berbagai Sumber)