Kyai Haji Hasyim Asy’ari adalah ulama besar. Pendiri Pondok Pesantren Tebuireng Jombang Jawa Timur dan organisasi Islam terbesar Nahdatul Ulama. Selain memiliki aqidah yang istiqamah beliau juga memahami dan menjunjung tinggi nasionalisme dan kebangsaan.
Ingin bukti? Karena kejumhurannya sebagai ulama, beliau mendapat julukan Hadratusy Syeckh yang berarti maha suatu kehormatan yang luar biasa. Sebagai manusia istiqomah hanya menyembah Allah, K.H. Mohammad Hasyim Asy’ari menolak perintah Jepang untuk melakukan “siekerel” yaitu membungkuk badan ke arah Tokyo dan matahari setiap pukul 07.00 pagi.
Sebagai seorang muslim beliau haqukyaqin bahwa yang berhak disembah dan dihormati hanya ada satu yaitu Allah Ajawazala, bukan manusia seperti kaisar Jepang Hiro Hito. Karena penolakan itu beliau ditangkap dan ditahan Dai Nippon. Dalam tahanan itu kyai mengalami penyiksaan dari tentara Jepang antara lain telapak tangnnya dipukul dengan palu.
Tentang nasionalisme dan rasa kebangsaan yang beliau pegang dan pertahankan salah satunya beliau buktikan yaitu, sebagai Rois Akbar Nahdatul Ulama Hasyim Asy’ari mempelopori “Resolusi Jihad”. Kyai merasa resah ketika menyaksikan datangnya pasukan tentara sekutu yang didomplengi tentara Belanda.
Inggris yang mewakili sekutu bertugas melucuti tentara Jepang yang sudah kalah perang. Sedang Belanda berniat menjajah kembali Indonesia yang sudah memproklamasikan kemerdekaan dua bulan sebelumnya. NU juga kecewa kepada sikap pemerintah yang dinilai “adem ayem” meski tentara sekutu sudah mendarat dan melakukan tekanan tekanan kepada rakyat di Surabaya dan Semarang.
Karena itu NU mengambil sikap dan langkah. Tanggal 21 dan 22 Oktober 1945 sejumlah ulama NU dari Jawa dan Madura berkumpul di markas NU Bubutan Surabaya. Besoknya tanggal 22 Oktober Rois Akbar K.H. Hasyim Asy’ari mendeklarasikan “Resolusi Jihad”.
Inti dari pada Resolusi Jihad itu adalah seruan kepada warga NU dan muslimin lain untuk melakukan jihad melawan penjajah. Hukumnya fardu ain. Yang gugur dalam perang melawan tentara kafir yang merusak kemerdekaan adalah jihad yang in syaa Allah masuk surga.
Di luar dugaan ternyata ternyata seruan ulama NU itu menyentuh dan membakar semangat masarakat. Para pemuda, para santri, dan pasukan Hizbullah dari berbagai pondok pesantren di Jawa Timur Jawa Tengah dan Jawa Barat berbondong bondong datang ke Surabaya dan Semarang.
Perang dahsyat antara tentara sekutu dengan puluhan ribu santri dan pemuda terjadi di Surabaya dan Ambarawa. Puncaknya terjadi 10 November. Perang besar antara senjata modern versus bambu runcing itu dimenangkan para pejuang Indonesia. Bahkan seorang santri bernama Harun berhasil membunuh panglima tentara sekutu brigadir jenderal Mallaby.
Siapa sebenarnya K.H. Hasyim Asy’ari? Beliau lahir di Gedang kabupaten Jombang Jawa Timur pada tanggal 14 Februari 1871. Ayahnya Kiyai Asy’arie dan ibunya Ny.Halimah. Keduanya berdarah biru dari kerajaan Majapahit yaitu prabu Brawijaya V atau dikenal juga dengan nama Lembupeteng.
Dari dua istri Nyai Nafiqoh dan Nyai Musrorah Hasyim dikarunai 17 putra putri. Seorang di antaranya KH Wahid Hasyim yang tak lain adalah ayahanda dari KH Abdurahman Wahid (Gus Dur). Sejak usia 15 tahun Mohammad Hasyim belajar agama dengan berkeliling nyantri di beberapa pondok pesantren.
Pada tahun 1892 beliau berangkat ke Mekah dan bermukim 7 tahun disana. Di tempat kelahiran dan pusat budaya Islam itu beliau memperdalam ilmu tentang Islam dari ulama-ulama besar antara lain Syekh Ahmad Khatib Minangkabau, Syekh Mohammad Mahfudz at Tarmizi, Syekh Ahmad Amin Al Athar dll.
Kembali dari Arab Saudi tahun 1899 beliau mendirikan pondok pesantren Tebuireng di Kabupaten Jombi Jawa Timur. Di Tebuireng pulalah beliau wafat pada tanggal 21 Juli 1947 dan dimakamkan juga di Tebuireng. Karena jasa-jasanya kepada bangsa dan negara tahun 1964 presiden Soekarno memberinya gelar Pahlawan Nasional. *** (H Dedi Asikin, wartawan senior PWI Jabar tinggal di Tasikmalaya)