Jakarta (Aswajanews.id) – Kementerian Agama (Kemenag) mencabut izin operasional 2 pesantren yang diasuh HW, menyusul terungkapnya kasus pemerkosaan yang dilakukan pria 36 tahun tersebut. Pencabutan izin operasional tersebut membuat dua pesantren yang dipimpin dan dimiliki oleh HW harus tutup.
“Kita telah mengambil langkah administratif, mencabut izin operasional pesantren tersebut,” ujar Direktur Jenderal Pendidikan Islam Kemenag M. Ali Ramdhani. dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Jumat 10 Desember 2021.
Dia mengatakan, kedua pesantren tersebut adalah Pesantren Manarul Huda, dan Pesantren Tahfidz Quran Almadani di Antapani, Kota Bandung.
Dhani mengatakan, Kemenag mendukung langkah hukum yang telah diambil kepolisian dan kini telah bergulir di pengadilan.
Sebagai regulator, kata dia, Kemenag memiliki kuasa adminsitratif untuk membatasi ruang gerak lembaga yang melakukan pelanggaran berat seperti yang terjadi dalam kasus HW.
Sementara itu, Direktur Pendidikan Diniyah dan Pondok Pesantren Kemenag Waryono, mengatakan pihaknya telah melakukan koordinasi dengan Polda Jawa Barat dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jawa Barat sejak kasus ini pertama kali terungkap.
Dia mengatakan, setelah menutup dan menghentikan kegiatan belajar mengajar di lembaga pesantren tersebut. Kemenag langsung memulangkan seluruh santri ke daerah asal masing-masing. Pihak Kemenag juga membantu mereka mendapatkan sekolah lain untuk melanjutkan sekolahnya.
“Dalam hal ini, Kemenag bersinergi dengan madrasah-madrasah di lingkup Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama,” kata dia.
Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Barat menyebut guru sekaligus pemilik pondok pesantren berinisial HW (36), terancam hukuman 20 tahun penjara akibat perbuatannya yang memerkosa 12 santriwati hingga hamil dan melahirkan.
Plt. Asisten Pidana Umum Kejati Jawa Barat Riyono mengatakan HW kini berstatus sebagai terdakwa karena sudah menjalani persidangan. HW terjerat Pasal 81 UU Perlindungan Anak. “Ancamannya 15 tahun, tapi perlu digarisbawahi di situ ada pemberatan karena sebagai tenaga pendidik, jadi ancamannya menjadi 20 tahun,” kata Riyono. (Red)