Beranda Klinik Hukum Jenis Hak Atas Tanah dan Sertifikatnya: Apa yang Perlu Kita Pahami?

Jenis Hak Atas Tanah dan Sertifikatnya: Apa yang Perlu Kita Pahami?

64

Banyak masyarakat masih bingung dengan istilah-istilah hukum tanah seperti Hak Milik, HGB, HGU, hingga girik atau letter C. Padahal, memahami perbedaan ini sangat penting agar kita tidak salah langkah dalam menjaga aset keluarga.

Hak Milik adalah hak terkuat dan turun-temurun yang hanya bisa dimiliki oleh Warga Negara Indonesia. Sertifikat Hak Milik menjadi bukti kepemilikan paling kokoh. Dengan sertifikat ini, tanah bisa diwariskan, dijual, bahkan dijadikan jaminan kredit di bank.

Berbeda dengan itu, Hak Guna Bangunan (HGB) adalah hak untuk mendirikan bangunan di atas tanah negara atau tanah milik pihak lain, dengan jangka waktu 30 tahun dan bisa diperpanjang 20 tahun. HGB banyak dipakai dalam perumahan dan apartemen. Pemilik HGB tetap sah secara hukum, tetapi harus ingat bahwa haknya terbatas waktu.

Sementara itu, Hak Guna Usaha (HGU) diperuntukkan bagi usaha pertanian, perkebunan, atau peternakan berskala besar. Jangka waktunya 25–35 tahun dan bisa diperpanjang 25 tahun. Banyak perkebunan sawit, teh, atau tambak di Indonesia berdiri di atas HGU. Walaupun penting untuk pembangunan, HGU sering menimbulkan konflik jika bersinggungan dengan tanah adat atau masyarakat lokal.

Hak Pakai adalah hak untuk menggunakan tanah negara atau tanah milik orang lain untuk tujuan tertentu dalam waktu terbatas. Keistimewaannya, Hak Pakai bisa dimiliki WNI, orang asing, badan hukum Indonesia, bahkan perwakilan asing. Contohnya rumah dinas, rumah ibadah, atau kantor kedutaan.

Ada juga Hak Pengelolaan (HPL), yang bukan untuk perorangan, melainkan untuk instansi pemerintah, pemda, atau BUMN. Melalui HPL, negara bisa tetap menguasai tanah strategis, sementara pengembang atau warga bisa memperoleh HGB atau Hak Pakai di atasnya.

Selain itu, masyarakat sering memegang dokumen lama seperti girik, petok, atau letter C. Dokumen ini bukanlah sertifikat hak, melainkan catatan pajak desa. Girik tidak diakui sebagai bukti kepemilikan penuh. Karena itu, pemegang girik sering kalah jika berhadapan dengan pemegang sertifikat di pengadilan.

Sementara itu, hak ulayat atau tanah adat diakui oleh UUPA dan UUD 1945, sepanjang masih hidup dan sesuai kepentingan nasional. Hak ulayat adalah hak kolektif masyarakat adat atas tanah, seperti tanah nagari di Sumatera Barat atau tanah adat di Papua. Sayangnya, hak ulayat sering berbenturan dengan HGU atau proyek pemerintah karena batasnya tidak selalu jelas.

Sertifikat tanah juga memiliki peran ekonomi melalui Hak Tanggungan. Dengan mekanisme ini, tanah bisa dijadikan jaminan kredit resmi di bank. Hak Tanggungan memberi bank kedudukan istimewa jika debitur gagal membayar, sehingga sertifikat benar-benar berfungsi sebagai modal usaha, bukan sekadar dokumen.

Terakhir, semua hak lama peninggalan Belanda seperti eigendom, erfpacht, maupun dokumen desa seperti girik wajib dikonversi menjadi hak baru (Hak Milik, HGB, HGU, atau Hak Pakai) melalui pendaftaran di BPN. Tanpa konversi, tanah rawan disengketakan dan tidak bisa dimanfaatkan untuk kredit.

Pesan pentingnya sederhana:

  • Sertifikat tanah adalah bukti hak paling kuat.
  • Girik hanya bukti pajak, bukan bukti kepemilikan.
  • Tanah adat tetap diakui, tetapi harus dicatat agar terlindungi.
  • Sertifikat bisa jadi modal usaha lewat Hak Tanggungan.
  • Konversi hak lama ke sertifikat resmi adalah langkah wajib.

Dengan memahami jenis-jenis hak tanah, masyarakat bisa lebih siap menjaga asetnya. Tanah bukan hanya lahan, melainkan identitas keluarga, sumber ekonomi, dan warisan masa depan.

(Bernard Simamora, S.Si., S.IP., S.H., M.H., M.M., Advokat & Konsultan Hukum Perdata Pertanahan)


Eksplorasi konten lain dari aswajanews

Berlangganan untuk dapatkan pos terbaru lewat email.